Malik dan Tini duduk di antara ratusan penonton area tribun. Gaung sorakan penonton memantul-mantul di dinding gelanggang olahraga. Lapangan yang luas dipetak-petakkan menjadi lima arena pertandingan pencak silat tingkat SD.
Sepuluh pesilat cilik keluar dari ruang ganti. Dua-dua berjalan grogi menuju lapangan masing-masing, hingga akhirnya saling berhadapan, beradu jotos, bertukar tendangan, dan saling membanting. Beberapa saat kemudian, semua perhatian penonton terfokus ke arena tengah.
Di lapangan itu, seorang pesilat junior menangis tersedu-sedu. Isaknya menggema mengalahkan teriakan penonton. Jeritannya membahana hingga ke langit-langit. Cegukannya meng-”hik, hik, hik” dan terdengar dari tempatnya bertanding hingga ke barisan belakang penonton.
Namun demikian, pertandingan terus berlanjut. Wasit tidak memberikan time out, atau melakukan pemotongan poin. Menangis bukanlah pelanggaran dalam pertandingan pencak silat cabang tarung putra atau tarung putri. Bukan pula pelanggaran dalam segala pertandingan yang dilombakan di olimpiade musim panas, musim dingin, atau musim gugur kalau ada. Selain itu, menangis pastinya sah-sah saja dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan air mata berlinang dan ingus meler, anak itu berdiri, seolah ingin benar-benar menampakkan tekad untuk menuntaskan pertandingan hingga bendera skor diangkat dewan juri setinggi-tingginya.
Meski kakinya gemetar, dia hanya mundur untuk mengelak dari serangan lawan. “Hik, hik, hik!” cegukannya terdengar lagi saat dia mengukuhkan kuda-kuda pascaelakan. “Hueee!” tangisnya membahana saat dia melontarkan tonjokan serangan balik. Serangan mengena tepat sasaran. Benturan itu membuatnya semakin menangis.
Lawannya sama sekali tak terganggu dengan tangisan, isakan, apalagi cegukan. Meski sama-sama tingkat SD, dia menunjukkan wajah tegar seolah telah melalui tekanan mental macam ini ratusan kali.
Pembawaannya pun tenang dan dingin seperti es di alaska pada puncak Ice Age. Ketika terhantam, dia membalas dua atau tiga kali lipat lebih gencar demi menjaga keunggulan poin. Sama sekali tak terlihat dia ingin mengurangi kadar keseriusan meski lawan sudah menjerit sekalipun.
Petarung yang menangis itu berada di sudut merah dan bernama Sufyan sementara si tenang berada di sudut biru dan bernama Agus. Di sudut masing-masing, para pelatih menganalisis jalannya pertandingan. Ketika babak berakhir dan petarung kembali ke sudut masing-masing, pelatih memberikan banyak saran untuk meningkatkan performa petarung. Setidaknya, itulah yang terjadi di sudut biru. Karena, pelatih di sudut merah justru sibuk mengusap air mata dan ingus petarungnya.
Pertandingan babak kedua dimulai, penonton mulai terpecah-belah. Ada yang memberikan empati tinggi kepada Sufyan. Sebagian penonton lainnya terang-terangan mendukung Agus. Ada pula penonton yang meminta jajaran pelatih di sudut merah untuk melempar handuk, tanda sang pelatih meminta wasit menyudahi pertandingan dan memberi kemenangan kepada lawan.
Akan tetapi, pertandingan berlangsung sesuai ketentuan. Bel terakhir berdentang. Wasit mengumpulkan kedua petarung di tengah lapangan. Setelah panitia memberi aba-aba, dewan juri yang terhormat mengangkat bendera biru.
Saat inilah situasi menjadi terbalik. Agus menangis karena gembira sementara Sufyan tertawa karena dia berhasil menuntaskan tekadnya. Bukan. Bukan untuk menang, melainkan tekadnya untuk tetap bertanding sampai titik darah penghabisan. Inilah titik darah penghabisannya. Sufyan memberi selamat dengan riang kepada lawannya yang kini masih menangis bahagia.
Penonton berdiri dan bertepuk tangan untuk petarung-petarung cilik yang baru saja memperlihatkan pertandingan berkualitas. Tak ada itu teknik-teknik rumit. Ingat, petarungnya masih kecil. Fisik mereka belum matang untuk melakukan serangan tingkat tinggi. Tak ada pula trik-trik culas untuk mengulur waktu seperti yang biasa dilakukan di sejumlah pertandingan senior.
Semua yang tertampakkan nyata di arena tengah gelanggang olahraga ini pada sore yang terik ini hanyalah tekad. Tak lain dan tak bukan adalah tekad. Semangat dan teknik bersatu padu menjadi tekad yang bulat.
Dan, hal itu yang membuat Malik tertunduk malu. Tanpa melihat pertandingan selanjutnya, dia memutuskan untuk pulang. “Mau ke mana? Tunggu dulu! Kembali!” panggil Tini. Malik tak memperdulikannya.
Sambil tergopoh-gopoh menuju motor, Malik semakin merasa malu lantaran mendengar si anak bernama Sufyan berkata riang kepada ibunya , “Aku boleh ikut pertandingan lagi nanti, ya, Ma!”
Ibunya tertegun dengan wajah penuh kekhawatiran. Dengan bijak, sang ayah menengahi, “Iya, nanti, ya. Kalau ada waktu dan kesempatan, silakan saja.”
Malik mempercepat langkah. Ingin rasanya dia segera menjauh dari pemandangan ini. Semua semangat yang meluap-luap di gelanggang olahraga ini hanyalah sementara. Mungkin, malah semangat palsu, menurut Malik.
Tini akhirnya berhasil mengejar Malik. Dia memegang lengan Malik, menahan lajunya. “Kenapa lari?”
“Muak,” jawab Malik pendek tanpa melihat mata lawan bicaranya.
“Apa yang membuatmu muak?” tanya Tini, “Anak yang bertanding mati-matian itu?”
Malik diam saja.
“Jawab!” perintah Tini.
Malik menyeringai. “Lihat saja lima atau enam tahun lagi,” ujarnya, “ketika para pesilat junior ini beranjak dewasa dan mulai mengenal aktivitas lain yang melibatkan tempat dan aktivitas hiburan, pastilah semangat ini redup tergantikan oleh keinginan untuk bersenang-senang.”
Tini memotong, “Karena kamu lupa dengan semangat itu, bukan berarti anak-anak ini akan lupa ingatan juga sepertimu, Bodoh!”
Masih keras kepala, Malik menyanggah lagi. “Kalaupun memang semangat itu terus ada sampai anak-anak ini dewasa, suatu saat mereka akan cedera. Dan, sebagian cedera mereka mungkin tak akan sembuh.”
“Kamu bicara apa, sih!?” hardik Tini.
“Bicara kenyataan, Tin!” balas Malik, “Ada cedera yang tak pernah sembuh.”
“Semua cedera pasti sembuh!” sanggah Tini.
“Begitu? Katakan itu pada Michael Owen!”
Tini kini naik pitam. “Baik! Michael Owen mungkin tak pernah sembuh dari cederanya. Tetapi setidaknya, dia masih bekerja di bidang sepak bola, bukan?”
“Tidak,” jawab Malik, “dia menjadi peternak kuda balap. Dia hanya sesekali tampil di televisi untuk memberi komentar tentang sepakbola!”
“Ya,” kata Tini, “dan, itu juga bisa kamu lakukan meski kamu tak bisa bertanding lagi.”
Malik terkekeh menyindir. “Kau menyarankan aku jadi peternak kuda balap dan sesekali tampil di televisi sebagai komentator pertandingan pencak silat? Ngawur kau, Tin! Aku tak punya uang untuk beli kuda balap dan siapalah aku tiba-tiba menjadi komentator!?”
Tini diam saja.
Malik terlihat belum mau diam. Dia berjalan mondar-mandir sebelum akhirnya membentak-bentak lagi. “Kalau saat itu aku tidak dicurangi hingga cedera, mungkin aku bisa menang-menang lagi pada kompetisi selanjutnya, hingga aku terkenal di Indonesia, dan setelah itu aku bisa menjadi komentator pencak silat! Setelah itu, aku mau beli kuda atau kambing sebanyak-banyaknya juga bisa!”
“Itu semua sudah lewat,” kata Tini, “kamu harus belajar menerimanya.”
“Kurasa, Michael Owen pun tak sanggup menerima masa lalu apalagi kenyataan bahwa dia keluar dari dunia sepakbola karena cedera. Kurasa, itulah sebabnya dia melarikan diri ke dunia kuda balap.”
“Tetapi, kau bukan Michael Owen, Malik….” kata Tini berusaha membujuk.