Realitas Tak Seindah Kata Mutiara: Kumpulan Cerpen

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #3

Emperan Ruko Bintang Empat

Seorang berkemeja lusuh menghentikan motor tepat di depan kontrakan Prita. Spanduk terbentang dari genteng bangunan bercat hijau itu, bertuliskan, “Menerima pembayaran dalam bentuk….” Sisa spanduk berisi sejumlah logo bank, dompet digital, serta uang elektronik yang diterima usaha kecil Prita.

Sang tamu memencet bel. Sejenak kemudian, Prita keluar lalu bertanya sopan mengenai maksud dan tujuan sang tamu. Prita berharap sang tamu menjawab dengan lugas, bahwa dia merupakan utusan saudagar dim sum yang ingin bekerja sama dengan Prita, bahwa sang saudagar ingin supaya dim sum buatan Prita dijual di ratusan toko milik sang saudagar.

Akan tetapi, sang tamu terlihat ragu. Nyatalah dalam benak Prita bahwa sang tamu bukanlah utusan saudagar mana pun. Prita menduga kuat bahwa tamu ini hanya calon pedagang dim sum kekurangan modal yang berharap bisa membeli dim sum murah langsung dari produsen.

Akhirnya, tamu itu pun bercerita bahwa dia sudah lama ingin membuka usaha. Namun, baru berani memulainya sekarang. Dia tak bisa memasak dim sum, jadi harus mencari produsen atau distributornya.

“Saya bertanya kepada pedagang di emperan Ruko Bintang Empat. Kata mereka, Mbak ini pernah berjualan dim sum lalu berhenti berjualan karena ingin menjadi pemasok dim sum. Lalu, saya diberikan alamat dan kontak Mbak,” kata sang tamu.

“Kalau begitu, kenapa tidak telepon saja? Kita bisa berdiskusi lewat telepon, bukan?” tanya Prita dingin.

Sang tamu diam sejenak lalu akhirnya berkata, “Anu…. Maaf, saya sungkan.”

Prita menghela napas. Wajahnya berubah masam. Satu hal yang dia pelajari selama lima tahun berjualan di emperan ruko adalah pedagang tak boleh sungkan. Pedagang yang sungkan mustahil berhasil berjualan.

Terang sudah pertemuan ini bisa berakhir dengan dua skenario. Pertama, sang tamu akan merasa kurang sreg dengan harga dim sum buatan Prita. Lalu, dia akan mengaku hanya sekadar tanya-tanya. Kemudian, dia pamit tanpa membeli apa pun.. Kalau kata pedagang daring zaman sekarang, hit and run. Hanya tanya, lalu kabur.

Kedua, sang tamu bisa saja bersedia membayar harga yang diinginkan Prita. Akan tetapi, dia hanya sanggup membeli di bawah jumlah minimum porsi yang ditentukan Prita. Kalau sudah begini, susah. Mustahil berdagang tanpa modal.

Prita menghela napas. Dia kecewa karena pria yang berdiri canggung di depan kontrakannya ini hanya buang waktu saja. Dengan cepat, Prita bilang, “Saya jual satu porsi isi empat, seharga tujuh ribu rupiah. Kalau beli di atas seratus porsi, harganya bisa enam ribu rupiah,” kata Prita, “minimal beli lima puluh porsi.”

Sang tamu tertegun. Dia berusaha menawar, “Tidak bisakah....”

Namun, belum sang tamu selesai menawar, Prita sudah memotong. “Harganya sudah pas, Mas. Tak bisa turun,” ujar Prita dingin dan ketus. “Minimum pembeliannya juga tak bisa diubah. Kalau tidak, saya hanya dapat capeknya saja.”

“Begitu ya?” ujar sang tamu menimang-nimang.

“Begitu, Mas,” kata Prita, “kalau mau, saya bisa langsung sediakan dim sumnya sekarang. Saya selalu ready stock.”

Tamu itu diam cukup lama. Tampaknya, dia benar-benar menghitung secara terperinci di dalam kepalanya. Wajah Prita semakin masam. Tak mau dia buang waktu lebih lama lagi. Maka, dia berpaling membelakangi tamunya. Prita bilang, “Kalau sudah selesai mikir, panggil lagi, ya, Mas. Saya masuk dahulu karena masih ada kerjaan.”

Tanpa menunggu jawaban, Prita masuk dan menutup pintu kontrakan, membiarkan tamu yang tak dipersilakan masuk itu berdiri termenung di luar. Kekecewaan terpampang gamblang di wajahnya.

Kembalilah Prita dalam permanguannya di meja makan yang disulap menjadi meja administratif. Ponsel tergeletak di sebelah laptop yang menampilkan catatan berisi nomor-nomor telepon para pedagang dim sum. Semua kontak itu Prita kumpulkan sendiri setelah dia berkeliling kota, mencari calon-calon klien.

Sudah dua puluh lima baris nomor telepon dihubungi, tetapi tak satu pun yang menanggapi positif. Sebagian dari mereka berkata, “Kami sudah memiliki pemasok tetap. Tidak butuh pemasok lain.”

Sebagian lain merasa tersinggung dengan harga yang ditawarkan Prita. “Harganya mahal sekali. Kalau setinggi itu, gimana cara jualannya. Pembeli juga ogah. Jangan begitu lah, Mbak!” ujar mereka dilanjutkan dengan sebuah kuliah mengenai cara mematok harga.

Walaupun demikian, Prita tetap teguh pada pendiriannya. Dim sum Prita dibuat dari bahan-bahan berkualitas. Tepungnya disimpan di dalam freezer kedap udara supaya tak dihinggapi satu makhluk setitik pun. Ayam dan daging dibeli langsung dari tukang potong, bukan dari pasar. Ikan dan udangnya pun segar. Dibeli saat masih hidup, lalu diolah hidup-hidup di dapur Prita oleh tangan terampilnya.

Membayangkan usaha kerasnya belum berbuah hasil, Prita menghela napas, mengeluarkan seluruh kekesalannya bersamaan dengan keluarnya karbon dioksida dan hidrogen dioksida.

“Baiklah! Sekarang baris dua puluh enam,” gumam Prita setelah menemukan kembali semangatnya. Panggilan Prita tidak tersambung meski sudah belasan kali dicoba. Sepertinya, tukang dim sum di perempatan minimarket dekat kontrakannya sengaja memberikan nomor yang salah.

Maka, Prita mencoret dua kali nomor itu sebelum melanjutkan ke baris-baris berikutnya. Sampai akhirnya, setelah sepekan terus mencoba, tibalah dia di baris terakhir, baris 658. 

Berdasarkan statistik, seharusnya sudah ada setidaknya 6 orang yang menyambut penawaran Prita supaya Prita bisa berproduksi bulan depan. Hanya saja, kenyataan memang pahit. Sudah sejauh ini, dagangan masih belum laku.

Saking kesalnya, Prita ingin menjungkalkan meja. Akan tetapi, tidak jadi karena itu bisa membuatnya makin rugi. Prita pun beralih ke dapur, membuka kotak pendingin yang khusus dibelinya untuk usaha memasok dim sum. Isinya masih penuh, masih 1.424 porsi alias 5.696 butir dim sum, mulai dari jenis shiumai, ceker, hingga hakkau.

Saat kali pertama kotak pendingin itu penuh, isinya 6.000 butir dim sum. Namun, Prita memakannya sedikit demi sedikit karena hanya dari situ dia bisa makan. Semua tabungannya ludes terpakai membeli kotak pendingin, membuat 6.000 butir dim sum, dan berkeliling kota untuk mengumpulkan ratusan nomor telepon calon klien.

Untuk makan malam kali ini, Prita mengambil satu porsi. Rasa dim sumnya masih seenak saat kali pertama dia coba. Rasa kenyang setelah memakannya pun bertahan lama. Itu tanda dim sum buatan Prita memang dim sum berkualitas premium. Cocok dipatok dengan harga 7.000. Dia sudah benar dari segi produksi. Namun demikian, ada yang salah dari segi pemasaran. 

Lihat selengkapnya