Realitas Tak Seindah Kata Mutiara: Kumpulan Cerpen

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #4

Beliau Sudah Berkehendak

Bila Beliau sudah berkehendak, tiada daya dan upaya di alam semesta yang dapat menentang-Nya. Contohlah kejadian yang menimpaku akhir pekan lalu. Peristiwa itu meluluh-lantakkan semua rencana yang kusiapkan berbulan-bulan, termasuk rencana cadangannya.

Biarkan kumulai ceritanya dari awal pekan, saat aku merasa itulah kali terakhir aku harus mati-matian mengirit uang makan. Alasanku hanya satu. Aku menabung supaya bisa membeli laptop baru. Tujuan utamaku jelas untuk bekerja, supaya aku lebih lihai memproses data-data grafis, apalagi me-render data video.

Setelah sedikit makan selama lima hari dan meyakinkan diri bahwa uang tabunganku memang cukup, tibalah waktu yang kutunggu, tibalah akhir pekan itu. Saat pagi menjelang, aku sudah mandi, siap berangkat. Mobil pun sudah kupanaskan, siap kuinjak pedal gasnya.

Saat aku duduk di bangku kemudi, email kerjaku berdenting. Pesan masuk dari klien yang ingin supaya revisi video dan poster iklannya segera selesai. Bibirku jelas berdecak-decak kesal, seperti cecak mau kawin yang ribut memanggil-manggil kekasihnya. Keluarlah aku dari mobil, kembali menghadap komputer bututku.

Butuh waktu berjam-jam, untuk menyelesaikan tugasku. Aku ingat, aku mengirim file revisi saat azan magrib berkumandang. Lalu, aku bergegas berangkat ke pusat perbelanjaan piranti komputer setelah beribadah.

Perjalanan berlangsung menyenangkan. Keluar kompleks kontrakan, biasanya aku berjibaku di lampu merah. Namun, kali itu, lampunya hijau. Lancar jaya. Pedal gas kutekan hingga aku mendekat ke gerbang tol. Biasanya, aku harus mengantre. Kali itu, suasana lengang. Aman terkendali.

Beliau Gusti yang Agung seolah sepenuh hati merestui jalanku membeli piranti baru. Hanya butuh satu jam untuk tiba di pusat perbelanjaan piranti komputer. Aku punya banyak waktu untuk memilih, menawar, membayar, lalu mengobrol dengan Pak Cik yang punya toko, sebelum tokonya tutup.

Karena parkiran outdoor penuh, kuparkir saja mobilku di rubanah yang terang. Setelah itu, kuhampiri toko Pak Cik. Saat aku dekati tokonya, aku tersadar satu hal. Dompetku tertinggal di mobil. Ya sudah. Aku balik badan kembali ke mobil. Tenang saja. Waktu masih panjang. Lagi pula, Pak Cik sepertinya sedang sibuk melayani bocah yang bingung memilih prosesor komputer.

Kuturuni eskalator, kulalui lorong-lorong membelah emperan toko. Tibalah aku di rubanah, berjalan sedikit, sampailah aku di hadapan mobilku. Kutekan tombol buka pada kunci elektrik. Tak ada respon. Kutekan lagi, mobilku masih bergeming.

“He? Apa baterai kunci elektrikku habis?” pikirku saat itu. Sepertinya tidak. Lampu indikatornya menyala. Lagi pula, batu baterainya baru kuganti beberapa pekan lalu. Mustahil dayanya habis dalam waktu singkat.

Apatah yang terjadi?

Aku mulai panik. Aku bisa saja membuka pintu mobil secara manual akan tetapi aku takut tindakan ceroboh itu membunyikan alarm. Kalau ternyata kunci elektrik ini memang rusak atau penerima sinyal mobilku yang rusak, maka alarm mobil pasti menyala terus.

Mungkin, ada cara mematikan alarm mobil tanpa harus menggunakan kunci elektriknya. Namun demikian, aku ini hanya pekerja serabutan lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain, bukan lulusan STM atau teknik elektro. Tak pahamlah aku soal kelistrikan.

Setelah terdiam lama, aku nekat. Kucolokkan kunci mobil ke dalam lubang kunci di pintu. Keringat dingin menetes di dahi. Aku menelan ludah. Kuputar kunci. Klek. Kunci terbuka tanpa membunyikan alarm. Aku lega.

Tanpa tunda, dengan satu gerakan jumawa, kubuka pintu itu dengan yakin. Tiba-tiba saja, seperti dapat wangsit, aku ingin memanaskan mobil. Maka, aku duduk di bangku kemudi dan kumasukkan kunci ke dalam lubangnya. Lalu, kuputar kunci itu. Tak terjadi apa-apa. Kuputar lagi, hening.

Mobilku tak bisa distarter. Aku panik. Sembarangan saja, kubuka kap mesin. Kulihat-lihat mesinnya. Sepertinya, tak ada satu perangkat yang hilang. Kenapa starter mobilku tak berfungsi? Aku tak tahu!

Paniklah aku. Kali ini, rasanya bukan keringat dingin saja yang mengalir deras. Air mata pun akan mengalir kalau tak kutahan. Ditengah usaha membendung lelehan air mata, aku melihat sosok berbaju hitam di sudut ruangan. Ah, itu satpam. Kupanggil dia dengan harapan dia buka lulusan FSRD, melainkan lulusan STM, teknik mesin, atau punya lebih banyak pemahaman tentang mesin mobil daripada yang kumiliki.

Setelah kuceritakan masalahku, dia langsung berkata aki mobilku bermasalah. Dia mengelap debu yang menumpuk di atas akiku, lalu berkata, “Lihat ini, Mas. Lampu indikatornya mati. Aki ini kehabisan daya. Mas tidak sadar?”

Mana aku tahu akiku kehabisan daya. Aku saja baru tahu kalau benda yang dia lap itu adalah lampu indikator daya. Kupikir itu hanya aksen saja, atau entah apalahlah, aku tak tahu. Satpam itu kemudian berkata, “Bengkel mobil yang ada di rubanah ini sudah tutup beberapa jam lalu. Kalau mau, mobilnya didorong saja.”

“Mobil saya ini automatic, Pak. Tak akan menyala meski sudah didorong,” kataku putus asa. Informasi itu aku tahu. Aku pernah mencobanya dan gagal. Tak seperti mobil tua ayahku yang bisa menyala ketika didorong karena itu mobil transmisi manual.

“Kalau begitu, Mas harus beli aki di luar. Biar saya dan kawan yang jaga mobil Mas,” kata satpam baik itu.

Kupikir, itu ide brilian. Hanya saja, Pak Satpam tak tahu, AKU SAMA SEKALI ALPA SOAL HAL-HAL TEKNIKAL SEPERTI INI. AKU PUN TAK TAHU JUMLAH DAYA YANG MOBILKU BUTUHKAN UNTUK MENYALA. Brengsek! Solusinya sudah di depan mata tetapi aku kurang kapabilitas untuk mengeksekusinya.

Untuk menjaga gengsi di hadapan satpam, aku pura-pura saja naik ke lantai dasar, seolah aku akan beli aki. Padahal, aku hanya berjalan-jalan di lorong pedagang. Aku kehabisan akal. Aku bingung. Pada saat itu, aku melakukan satu-satunya hal yang aku tahu harus kulakukan saat aku buntu. Aku membuka mesin pencarian di ponselku. Kuketik kata kunci, “Cara membeli aki mobil matic.”

Keluarlah ribuan link. Link paling atas berupa iklan dari salah satu layanan panggil mekanik. Daripada aku buang waktu, kubuka link itu. Muncullah nomor telepon hotline. Kutelepon nomor itu dan kuminta operatornya supaya mekanik membawakanku aki.

Sebelum operator mencatat pesanan, dia mengingatkan, mobilku butuh aki upgrade seharga satu juta rupiah. Brengsek. Aku yakin aku sedang ditipu dengan kata-kata upgrade. Akan tetapi, aku tak tahu aku ditipu di bagian mana. Harga pasaran aki pun aku tak tahu. Tak bisalah aku menawar-nawar harga atau melindungi diri.

Aku berbaik sangka saja bahwa operator ini memang menawarkan solusi. Daripada sekarang aku sok tahu membeli “aki non-upgrade” lalu mobilku tetap mati, lebih baik kuterima saja penawarannya. Dia bilang, aku membuat keputusan tepat. Dasar pedagang. Dia pun mencatat rincian lokasiku. “Mekanik kami segera membawakan aki untuk Anda,” ujar sang operator.

Sesegera-segeranya jasa panggil mekanik, tak ada yang bisa melawan ganasnya tektek-bengek administrasi perkantoran dan kemacetan Jakarta. Butuh waktu sekitar satu jam supaya pesananku dikirim operator hotline hingga mekanik memprosesnya di cabang terdekat. Butuh satu jam lagi supaya mekanik itu tiba di toko piranti elektronik. Lalu, butuh satu jam lagi bagiku untuk melapor ke satpam di sini dan di situ supaya mekanik yang kupanggil diberi akses masuk ke parkiran mobil.

Baru aku tahu bahwa proses mengganti akinya sendiri hanya berlangsung beberapa menit. Mungkin, ini berkat mekanik andal yang dikirim operator jasa panggil mekanik. Atau, memang mengganti aki sebenarnya hanya perkara mudah, ya? Entahlah!

Satu hal yang pasti, mobilku kembali menyala setelah aki baru terpasang. Kumatikan. Kustarter. Menyala. Kumatikan lagi. Kustarter lagi. Menyala lagi. Aku yakin mobilku sudah benar. Maka, kukirim satu juta rupiah ke nomor rekening yang diberikan mekanik. Lalu, kuberikan dia 20.000 rupiah atas kerja baiknya. 

Satpam minta jatah. Maka, kuberi juga 20.000 rupiah. Dia minta tambah. Kutambahlah 10.000 rupiah. Hahhh…. Ludes uang tabunganku untuk urusan tak jelas ini. Kandas cita-citaku membeli laptop baru. Aku pulang dengan tangan hampa.

Beliau, Gusti yang Agung, memang begitu. Kalau sudah berkehendak, tak satupun logika, daya, dan upaya di alam semesta bisa menolak-Nya. Bayangkan! Berapa, sih, kemungkinan aki tekor saat kau ingin berbelanja? Satu banding seratus? Mungkin malah satu banding enam puluh juta empat belas! Tak tahulah aku. Aku hanya lulusan FSRD.

Tibalah kita di sini, hari ini. Aku masih meratapi kandasnya tabunganku karena alasan yang, bisa kubilang, tak beralasan. Kekesalan ini sungguh membakarku dari dalam. Pekerjaanku hari ini tak selesai. Besoklah kuselesaikan. Aku ingin menenangkan diri dahulu.

Kutelepon ayahku untuk memberikan kabar, bahwa aku masih bertahan hidup lewat kontrak-kontrak kerja singkat yang berdatangan melalui internet. Aku sama sekali tak berniat cerita tentang aki. Aku yakin beliau akan marah dan menuduhku abai terhadap mobilku. Walau memang itu yang terjadi, tetap saja, aku sebal dituduh.

Saat aku sedang cerita panjang lebar, tahu-tahu aku menyangkutpautkan soal aki. Mulut bacarku pun seenaknya menceritakan mogoknya mobilku. Sesuai dugaan, ayah mengomel. Dia mengingatkanku tentang mogoknya mobilnya beberapa tahun lalu.

“Waktu itu mobil sudah mogok karena aki, kenapa sekarang mogok lagi!? Lupa atau sengaja dilupa-lupakan kau itu?” hardik Ayah. Setelah puas memarahiku karena tak telaten merawat mobil, dia berpesan supaya aku selalu ingat mematikan segala lampu, AC, dan wiper sebelum mematikan mobil.

Sebelum mengakhiri pembicaraan, Ayah bercerita tentang adikku. “Abdullah sebentar lagi lulus S1. Katanya, dia mau melanjutkan ke kampus Al-Azhar di Mesir sana. Mau jadi ahli tafsir dan mengajar agama seperti Ayah, katanya,” pamer ayahku.

Aku mengiyakan saja dan mengucapkan selamat. Sudah biasa aku mendengar Ayah membangga-banggakan Abdullah lantaran ingin menekuni bidang agama seperti Ayah. Aku yakin, Ayah pasti berharap Abdullah pun mahir mengutak-atik mobil.

Biarlah. Aku hanya lulusan S1 FSRD yang tak pernah membayangkan diriku berkecimpung dalam bidang pendidikan keagamaan, apalagi mengutak-atik mobil. Maka, aku hanya bisa menitip salam untuk Abdullah dan mendoakannya sukses. Lalu, aku menutup telepon.

Lihat selengkapnya