Realitas Tak Seindah Kata Mutiara: Kumpulan Cerpen

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #5

Di Tengah Khao San Road

“Hujan masih air, dan kau masih milik orang lain….”

Puitis juga lirik lagu indie yang kudengar di YouTube malam ini. Petikan gitarnya itu, loh. Duhai! Menambah syahdu suasana lagu. Ditambah lagi, si penyanyi punya cara unik membuat suaranya sengau, sehingga terdengar semakin lirih.

Musik akustik mendayu ini sungguh enak didengar, terutama karena kepalaku yang sedang pening akibat flu berat hanya sanggup mencerna musik-musik santai. Akan tetapi, dengarlah liriknya! “Hujan masih air, dan kau masih milik orang lain!” Nelangsa betul, seperti lagu-lagu dangdut favorit si Alles kawanku itu!

Kumatikan sajalah musik ini biar aku tak terbawa suasana, biar ingatanku tak melayang kembali ke beberapa hari lalu, ketika aku bertemu Phita untuk kali kedua. 

Namanya unik bukan? Nama lengkapnya lebih unik lagi. Phitsamai Ratanapon. Perempuan itu juga punya kebiasaan unik. Tiap bertemu orang baru, dia selalu mengenalkan diri dengan nama Saeng, nama panggilan pemberian ayahnya.

Tak usah bingung. Orang-orang Thailand memang seperti itu. Nama pada akta kelahiran mereka begitu panjang, megah, dan berbelit-belit, kemudian mereka diberikan nama panggilan yang singkat dan mudah diingat oleh ayah mereka.

Aku, orang Indonesia yang kikuk tentu lain. Saat berkenalan dalam suasana formal macam di gereja, aku memberitahukan nama panjangku, Fabian Fadir. Bila suasana santai seperti di kantor, kuberitahukan saja nama depanku.

Kantor inilah yang memberiku kesempatan supaya perempuan berparas elok itu mengetahui keberadaanku di dunia yang fana ini. Saat itu, aku salah menuliskan jam buka sebuah lokasi wisata di website kantor.

Kesalahan itu cukup krusial untukku, karena pertama, jabatanku di kantor adalah ahli bahasa. Kedua, kantorku bergerak dalam bidang tour and travel. Seorang ahli bahasa gagal menuliskan fakta tentang lokasi wisata. Kesimpulannya, aku gagal menjalankan tugas.

Seandainya, kesalahanku disadari oleh Alles yang menyebalkan itu atau Gita si grammar nazi itu, pasti aku didamprat habis. Mungkin, malah diadukan ke kepala tim. Namun demikian, Tuhan punya skenario lain. Phitsamai Ratanapon yang menyadari kesalahanku.

Dalam Bahasa Inggris yang sempurna, dia menghubungiku lewat sebuah aplikasi chat khusus kerja. Kuingat betul kalimat pertamanya, “Hi, I’m Saeng.”

Lalu, dia melanjutkan chat-nya dengan menyebutkan kesalahanku. Dalam Bahasa Inggris yang belepotan, aku meminta maaf lalu mengoreksi pekerjaanku sendiri. 

Kubuka chat darinya. Lalu, aku lapor bahwa aku sudah mengoreksi kesalahanku. Kemudian, singkat saja, aku menyadari satu hal. Pada bagian biodata, dia menuliskan Phitsamai Ratanapon sebagai nama asli. Namun, dia memperkenalkan diri sebagai Saeng. Dengan polos, kutanyakan saja kenapa seperti itu.

Tak pernah kupikir selanjutnya bahwa pertanyaan itu menjadi awal dari obrolan panjang yang sambung-menyambung dari hari, ke pekan, ke bulan. Tinggal tunggu beberapa bulan lagi hingga obrolan ini menahun.

Aku juga harus berterima kasih kepada Tuhan yang telah membuat hati petinggi kantorku menjadi baik, sehingga aku beserta tim disediakan tiket dan akomodasi jalan-jalan ke Phuket, Thailand, tak lama setelah chat pertama itu. Perempuan itu tentu saja ikut dan kami akhirnya bertemu muka.

Tak bisa kututupi kecanggunganku saat mengulurkan tangan, lalu memperkenalkan nama panjangku layaknya saat itu aku sedang mempersiapkan acara Penerimaan Sakramen Krisma di Gereja. “Hi, I’m Fabian Fadir.” 

Perempuan itu terkekeh dan berkata, “Why so serious, silly? Let’s go, have some fun!”

Agenda liburan itu padat luar biasa. Ibarat kemeja kesempitan, tak ada lagi ruang bernapas. Hanya saja, dia seolah punya waktu untuk berbincang denganku. Dia menceritakan kembali dengan lebih rinci alasan dia dipanggil Saeng. Lalu, memperkenalkan rekan-rekan satu timnya. Aku pun menyelap-nyelip di tengah impitan waktu untuk berbincang dengannya.

Sepulang dari Phuket, kami semakin punya bahan obrolan. Perbincangan terus berlanjut hingga akhirnya kami memiliki nama panggilan khusus. Aku memanggilnya Phita dan dia memanggilku Vader. Katanya, namaku Fadir mirip nama tokoh favoritnya, Darth Vader.

Tuhan bermurah hati lagi. Tiba-tiba, divisi bahasa di kantorku mengadakan sebuah restrukturisasi. Pekerjaan bertambah dan tanggung jawab meningkat. Seluruh tim ahli bahasa diundang ke Bangkok selama tiga hari untuk rapat membicarakan restrukturisasi ini. Di situ, aku bertemu Phita untuk kali kedua.

Ya, rapat itu sungguh informatif, penting, dan mind-blowing. Akan tetapi, hal yang paling kuingat dari tiga hari itu adalah satu malam istimewa bersama Phita. Kami jalan-jalan ke Khao San Road, pusat hiburan malam di tengah jalan di Bangkok.

Lihat selengkapnya