Pamanku pernah mendengar cerita rakyat suku pedalaman asal belantara Amerika Latin. Pada masanya, area itu bernama Yukatek. Lokasinya berada di belahan timur negara yang kini bernama Meksiko. Cerita itu sungguh janggal di telinga paman, namun begitu melekat bagi kawan yang berkisah kepadanya.
Janganlah bayangkan kawan pamanku itu primitif atau kuno. Dia berbaju serapi pamanku berpakaian. Jangan pula anggap kawan pamanku itu miskin. Pamankulah yang hidup susah sehingga kawannya harus mempekerjakan paman di peternakan miliknya, peternakan sapi pesusu.
Kakek canggah dan nenek moyang kawan pamanku itu orang hutan asli. Seperti pada umumnya, pakaian mereka relatif terbuka. Para pria hanya mengenakan selembar kulit kijang, rusa, atau tapir untuk menutupi alat kelamin. Para wanita pun demikian. Hanya saja, sebagian dari mereka masih mengenakan berjuntai-juntai kalung manik yang menghalangi pandangan langsung ke area payudara.
Semua anggota suku itu hidup dengan cara berburu dan meramu. Tak ada itu ternak-ternakkan atau tani-tanian hingga Bangsa Spanyol tiba di Amerika Latin. Bangsa Maya, yang merupakan peradaban besar sekaligus tetangga berbahaya suku kawan pamanku itu, lain lagi. Mereka berpakaian dan bertani.
“Mendengar deskripsi itu, langsung kubayangkan suku kawanku itu layaknya suku di pedalaman Papua sana, Tong!” kata Paman. Aku dipanggil Tong karena namaku Atong. Badanku yang besar, berat, dan berdaya tampung banyak seperti tong minyak mentah yang tumpah di laut (dan kasusnya kutuntut baru-baru ini) tak ada hubungannya dengan nama panggilanku.
Sekali waktu (supaya dramatis saja kugunakan “sekali waktu” padahal aku ingat betul saat itu adalah 12 Januari 2019, usiaku tujuh tahun), paman mengisahkan cerita rakyat tersebut. Karena masih kuingat rincian kisahnya, kuceritakan saja layaknya paman bernarasi. Begini:
“Berkumpullah mengelilingi api unggun ini,” ajak paman berpura-pura menjadi sesepuh yang memanggil seluruh anggota suku. “Akan kukisahkan sebuah hikayat layaknya ayahku menceritakannya kepadaku. Atau, seperti yang didengar ayahku dari ayahnya. Dan, begitu terus dari orang pertama yang berburu di hutan ini, mengalami langsung hikayat ini lalu menceritakan kepada anaknya.
Pada zaman yang tak terhitung lagi masanya, ratusan suku di seberang sungai besar diserbu oleh negeri yang terbuat dari batu. Hutan-hutan ditebangi. Orang-orang dewasa dipasung lalu diculik dan dipaksa menjadi persembahan kepada dewa. Anak-anak ditelantarkan, dibiarkan begitu saja ke dalam pelukan nasib.
Saat semua orang dewasa dibawa pergi, setiap anak berkumpul dan hidup bahu-membahu. Satu per satu, mereka wafat karena tak sanggup bertahan tanpa bimbingan. Hingga akhirnya, tersisa satu anak. Dia menangis dan menangis. Hutan telah mengkhianatinya, maka dia melarikan diri dari hutan tempat dia diajari berburu oleh ayah. Hingga, tibalah dia di hutan yang kini kita tinggali.
Pada saat itu, dia kembali menangis membayangkan orang-orang yang kini meninggalkannya. Selama enam kali purnama tangisnya tak berhenti. Para hewan begitu iba mendengar tangis yang menyayat-nyayat. Pada purnama ketujuh, semua hewan sepakat untuk menghibur anak itu.
Burung hantu bertanya kepada si anak, ‘Wahai, Anak. Kenapa engkau bersedih?’
‘Aku sedih karena tak punya apa-apa,’ jawab anak itu.
Burung hering yang teliti bertanya, ‘Apa yang membuatmu tak punya apa-apa sehingga engkau bersedih?’
‘Mataku sungguh lemah. Aku tak bisa melihat jelas pasukan jahat dari negeri batu mengendap-endap di balik hutan, sehingga aku gagal memperingatkan para penjaga akan kehadiran mereka,’ jawab si anak.
‘Kalau begitu, kuberikan penglihatan tajamku kepadamu supaya engkau berhenti bersedih,’ kata Burung hering.
Maka, penglihatan anak itu menjadi setajam burung pemakan bangkai yang sungguh teliti membedakan berbagai jenis makhluk dari ketinggian. Akan tetapi, anak itu masih terus menangis dan menangis.
Kini, giliran rusa yang bertanya, ‘Duhai, kenapa masih menangis?’
‘Aku takut tak bisa melarikan diri lagi dari pasukan jahat negeri batu meski aku mampu melihat mereka dari jauh,’ kata anak itu.
Rusa mengais-ngais tanah karena iba. Lalu, dia menawarkan satu-satunya hal yang berhasil menyelamatkannya dari buruan hewan lain. ‘Terimalah kecekatanku supaya engkau bisa menghindari pasukan jahat yang memburumu,’ kata rusa.
Para hewan pikir, si Anak sudah senang. Mereka berjalan ke bagian hutan masing-masing. Beberapa langkah kemudian, terdengar isakan si anak. Para hewan balik badan dan melihat anak itu kembali menangis.
‘Ada apa lagi, Anak?’ tanya jaguar hitam kini.
‘Aku hanya sendiri sementara para pemburuku begitu banyak. Aku pasti lelah kalau terus berlari sementara mereka datang tanpa henti,” kata dia.
‘Berhentilah berlari bila kau memang harus. Pancalkan kaki dan teguhkan hati. Ini, kuberikan kekuatan yang begitu kuagung-agungkan supaya engkau bisa melawan,’ kata jaguar hitam.
Setelah menerima kekuatan jaguar hitam, anak itu bisa dengan mudahnya naik turun pohon, bahkan mengangkat batang yang dua kali lipat lebih besar dari badannya. Setelah kerja berat itu, napasnya masih normal berkat stamina dan kecekatan pemberian rusa.
Anak itu hanya gembira sesaat sebelum akhirnya murung lalu menangis lagi. Dia meratapi nasibnya sebagai penghuni baru di hutan ini. Dia ingin sekali mengenal hutan baru yang akan dihuninya seperti dia pernah begitu mengenal kedua orangtuanya.
‘Aku ingin mengetahui isi bumi tempatku berpijak,’ kata anak.
Ular mendesis, ‘Berhentilah menangis. Ini, terimalah pengetahuanku akan isi bumi. Meski terbatas, setidaknya pengetahuanku memberi engkau banyak masukan berharga.’