Realitas Tak Seindah Kata Mutiara: Kumpulan Cerpen

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #7

Ingin Seperti Kakak

Ding! Denting oven sayup-sayup terdengar dari ruang memanggang. Juru panggang meletakkan buku resep di sebelah tumpukan majalah mingguan pada sebuah meja di ruang istirahat staf. Meski sadar pentingnya ketepatan waktu, dia masih sempat kembali ke majalahnya, berusaha membaca gosip terbaru artis favoritnya.

Pada detik terakhir, langkahnya terburu-buru ke dapur. Terlambat sedikit lagi, roti tawar di dalam oven bisa terlalu kering untuk menarik minat para pembeli yang semuanya kritis tapi belum tentu bisa membuat roti sendiri.

Dibukanya tutup oven itu. Sejurus kemudian, uap-uap panas mengepul dari dalam oven. Aroma legit campuran tepung dan mentega semerbak hingga ke luar toko. Sang juru panggang memejamkan mata sambil meniup-niup, berusaha menghalau uap panas dari wajahnya. Dengan lindungan sarung tangan tebal, dia mengeluarkan berloyang-loyang roti tawar satu per satu.

Roti Pertama keluar masih sempurna. Warna pinggirannya kecokelatan sementara bagian dalamnya pulen merata. Rongga-rongga di dalam roti itu berisi banyak uap yang lama-kelamaan mendesak keluar, memberikan aroma sedap kepada setiap hidung yang menciumnya.

Roti Kedua keluar dengan kualitas mirip. Roti Ketiga, Keempat, dan Kelima tak jauh berbeda. Roti Keenam dan Ketujuh nyaris terlalu matang. Roti Kedelapan, Kesembilan, dan Kesepuluh terlalu matang tapi masih bisa dimakan.

Sang juru masak terlalu sibuk mendengarkan musik sehingga tidak mendengar jerit minta tolong dari Roti Kesebelas. Sementara itu, benaknya terlalu bergemuruh memikirkan piket pagi untuk membuka toko, sehingga dia tidak menyadari bahwa tingkat kematangan roti semakin meningkat seiring dengan semakin lama roti itu dibiarkan di dalam oven.

Hanya roti terakhir, Roti Kesebelas, yang sudah terlewat jauh matangnya. Pinggiran roti itu keras dan tebal. Area pulennya jauh lebih sedikit ketimbang kakak-kakaknya. Dan, rongga-rongga di dalam roti itu menyimpan uap lebih kering.

Kepada adik-adiknya, Roti Pertama berkata, “Senang sekali kita semua matang sempurna. Sebentar lagi, kita akan menjadi bagian hidup yang lebih besar, yaitu menjadi bagian hidup manusia!” Dia tidak tahu-menahu soal adik terakhirnya, Roti Kesebelas. Maklum saja pengetahuannya terbatas. Dia hanya roti dan dia baru lahir beberapa detik lalu.

Roti Kesebelas pun tak menyadari perbedaan dia dengan kakak-kakaknya. Dia percaya bulat-bulat perkataan kakaknya, bahwa dia matang sempurna sebagai roti dengan pinggiran keemasan dan daging seputih mentega tawar. Tidak tahu dia bahwa pinggiran dan dagingnya lebih gelap daripada saudara-saudaranya.

Udara, yang kebetulan sedang lewat menyempatkan diri untuk menyapa, “Selamat datang di Toko! Sekarang, kalian seperti halnya roti-roti yang telah terbeli dan menjadi bagian hidup manusia, atau bakal-bakal roti yang kini masih dalam bentuk adonan dan tepung. Kita semua akan terus menjadi keluarga besar!”

“Selain menyapa, aku juga ingin memperingatkan. Apapun yang terjadi, janganlah kalian percaya dengan Lalat. Sesungguhnya, segala hal yang dia lakukan hanyalah demi menjerumuskan kalian ke pembuangan, supaya dia bisa menikmati kalian bersama kerumunannya.”

Sebagai kakak tertua, Roti Pertama menjawab salam dari Udara dengan ucapan terima kasih. Udara kemudian berpaling untuk mengawasi kelahiran kue-kue bintang dari oven ruang sebelah. Saat itulah datang Uap Air menyapa.

“Hai, hai! Salam kenal!” kata Uap Air terburu-buru. Saat Roti Kedua ingin mengikuti jejak kakaknya, yaitu menjawab salam penghuni toko, Uap Air berkata sama cepatnya seperti sebelumnya, “Tidak usah repot-repot menjawab. Aku terburu-buru. Aku dibutuhkan koki di sana untuk menggemburkan adonan roti.” Dan, begitulah Uap Air berlalu.

Salah satu koki datang dan membawa para Roti ke etalase. Saat diletakkan, mereka berada tepat di sebelah sebongkah Salami. Kata Salami, “Hei! Senang sekali bisa bersebelahan dengan kalian!”

Roti Ketiga menjawabnya malu-malu. Salami, sebagai bahan makanan yang terlahir cocok disajikan dengan berbagai jenis roti mampu menjadi teman bicara yang supel. Dengan singkat, para roti bisa ngobrol seru dengan Salami.

Dia berkata, “Aku sangat tidak sabar menunggu kesempatan kita dihidangkan bersama untuk menjadi bagian hidup manusia!” Para Roti menjawab sama antusiasnya. Lelah meladeni perbincangan 11 Roti yang nyaris identik, Salami tidur siang sambil menunggu toko buka.

Para kakak beradik Roti pun berbincang seru satu sama lain. Suatu ketika, perbincangan mereka terhenti. Mereka mendengar suara mendengung yang hilang-timbul, namun tidak diketahui asal-muasalnya.

Tiap para Roti ingin saling berbincang, tiap itu pula suara dengung menyebalkan terdengar. Roti Kesembilan akhirnya melihat ke atas. Ada makhluk terbang berseliweran di atas mereka. Mencoba ramah, Roti Kesembilan menyapa. “Halo!” kata dia.

Makhluk itu menengok ke bawah dan melihat roti yang memanggilnya, lalu turun dan mulai berbincang. “Ah, para Roti. Sungguh sebuah kehormatan bisa melihat bongkahan keemasan di depan mata hamba ini berceloteh girang, bahkan sebelum toko buka. Izinkan hamba memperkenalkan diri. Hamba Lalat.”

Mendengar kesopanan begitu tinggi, para Roti langsung mengagumi Lalat. Mereka lupa peringatan Udara akan Lalat. Roti Pertama merasa paling bangga dan dia memperkenalkan adik-adiknya, mulai dari Roti Kedua hingga Roti Kesebelas.

Setiap kali ada roti yang diperkenalkan, Lalat selalu menemukan sesuatu untuk dipuji. Entah itu tentang susunan rongga udara yang indah pada daging Roti, tentang kekenyalan dagingnya, atau tentang keemasannya pinggiran Roti. Kecuali, pada Roti Kesebelas. 

Terlahir lugu, Roti Kesebelas berpikir bahwa Lalat sedang memikirkan pujian pemungkas untuk Roti pemungkas. Dia mengharapkan pujian besar, namun pujian itu tidak kunjung tiba. Maka, dia bertanya kepadaa Lalat. “Wahai, Lalat. Pujian apa yang akan kau sampaikan untukku?” tanya Roti Kesebelas dengan sopan, mengikuti gaya bicara Lalat.

Mendengar itu, Lalat tersenyum sambil mengusap-usap kedua kaki depannya. Dia terlihat seperti sedang merencanakan sesuatu. Namun demikian senyum Lalat terlihat sangat berwibawa kalau diperhatikan baik-baik.

Kepada sang penanya, Lalat menjawab, “Aduhai, adikku Roti Kesebelas. Maafkan saya yang lancang menunda pujian untukmu. Sesungguhnya, pinggiran kecokelatan dan daging dengan rongga keringmu sangatlah unik. Paling unik di antara yang lain kalau saya boleh bilang.” Senyum sang lalat masih tersungging.

“Kecokelatan? Bukankah saya juga keemasan seperti kakak-kakak saya?” tanya Roti Kesebelas.

Dengan senyum seperti tadi, Lalat menjawab, “Sesungguhnya, saya bukanlah seorang pendusta.”

Belum puas, Roti bontot itu bertanya lagi, “Lalu, bukankah rongga saya pun lembut seperti kakak-kakak saya?”

Lalat menjawab, “Memang. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ronggamu lebih kering dari roti-roti yang saya kenal, termasuk dari kakak-kakakmu.”

Roti Kesebelas khawatirkan perbedaannya. Namun, sebelum dia bertanya lebih lanjut, Lalat bergumam, “Aku harus pamit dulu, adik-adikku. Manusia datang dan toko ini akan buka sebentar lagi.” Lalat itu pun hingga di lampu, jauh di atas para Roti.

Roti Kesebelas masih gamang dengan penjelasan Lalat. Dia baru menyadari bahwa dirinya bukanlah bagian dari Roti yang matang sempurna. Setelah menimang-nimang, dia berkesimpulan bahwa dia adalah contoh roti yang cacat produksi.

Menyadari kekhawatiran adiknya, Roti Pertama berkata, “Tenanglah adikku. Bagi kami, kamu sama seperti kami semua. Matang sempurna. Kalaupun ada yang berkata lain, aku jamin kau tetap akan bermanfaat untuk menjadi bagian dari hidup manusia.”

Semangat Roti Kesebelas terangkat sedikit. Namun, terjatuhkan lagi dengan segera setelah toko itu buka. Tak sedikitpun pengunjung yang membelinya. Dia hanya dipegang, ditimang-timang sebentar, lalu diletakkan kembali.

“Terlalu kering. Ini tidak akan enak untuk sarapan anak.”

“Ah, ini sudah gosong. Pahit pasti rasanya.”

Lihat selengkapnya