Realitas Tak Seindah Kata Mutiara: Kumpulan Cerpen

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #8

Para Penyair Ngarai

Kelopak rafflesia perlahan terkembang, mengangakan lubang serupa gentong yang ditumbuhi mahkota pucat kemerahan. Semerbak aromanya mengundang kerumunan lalat hinggap di semua area bunga.

Di sekeliling rafflesia, tumbuh aneka tanaman, seperti jahe, kunyit, andalas, delima, rambutan, bahkan durian. Masing-masing menguarkan aroma yang khas, seolah tak  mau kalah dari si bunga bangkai. Dari langit, angin berembus ke sela-sela ngarai lalu mencampur segala bau. Angin pula yang mengedarkan aroma kalis nan khas itu, ke desa-desa.

Itulah cara angin menyampaikan kabar, mengundang manusia untuk menikmati keindahan ngarai. Kadang, angin tak membawa aroma sama sekali, tetapi para manusia tetap berhasil terbujuk datang ke ngarai.

Saat sepoi menerbangkan perkamen Rusli Yusrizal di rumah, sama sekali tak ada aroma ngarai yang diedarkan. Akan tetapi, pikiran Rusli terpancing untuk terbang ke bawah rindang pepohonan.

Mendadak saja, mata rusli seolah memandang ceruk panjang yang diapit tebing. Sulur merambat di bebatuan curam. Telinga Rusli pun mendengar gemericik sungai, sementara kulitnya terasa dihinggapi kesejukan. Padahal, dia masih di rumah dan sedetik lalu sedang kegerahan.

“Ini pasti pertanda aku harus mencari inspirasi di ngarai,” kata Rusli kepada kucica peliharaan. Sambil melompat-lompat di dalam sangkar, kucica berkicau, “Suit, suit, suiiiit, srruuiiuiiiit!

“Aih! Janganlah melarang-larang. Aku tahu kau rindu padaku. Kau pun tahu aku rindu padamu. Namun, syair ini harus segera selesai. Tanpa syair ini, mustahil raja tahu kabar baru tentang rakyatnya,” kata Rusli. Burung kucica menatap lalu berkicau-kicau lagi.

Rusli menghela napas, lalu berkata, “Janganlah melarangku, Permata. Bagaimana aku tahu kabar kalau hanya mendekam di rumah?” Permata bersiul semakin cerewet. Kesabaran Rusli habis. “Ah, sudahlah. Kau hanya burung. Mana mungkin paham omonganku!”

Setelah berkemas, Rusli memulai pengembaraannya. Untuk tiba di ngarai, dia harus berjalan melewati sejumlah desa. Perjalanan berlangsung lancar tanpa hambatan. Sebentar saja, Rusli tiba di desa pertama.

Ini desa pedagang, sehingga banyak bangunan megah berdiri.

Namun demikian, di sela kemegahan itu, ada rumah-rumah reyot yang atapnya bolong. Kasau rapuh terlihat, sewaktu-waktu bisa runtuh. Jangankan ditutupi kayu, ditutupi jerami pun tidak. Rusli bertanya kepada pemilik rumah, apa yang terjadi dengan rumahnya.

Nenek tua pemilik rumah bilang, rumahnya seperti ini sejak anaknya pergi. Sang anak terus saja berdagang tanpa pernah berkunjung. Sekadar untuk bertanya kabar saja tidak. Si nenek lalu menunjuk ke arah pusat desa. Di sana berdiri bangunan tinggi nan mewah dengan atap melengkung serupa tanduk lembu. Dia bilang, itu rumah anaknya dan dia bangga karena sang anak kini sukses.

Rusli bertanya, “Kenapa tak meminta anakmu pulang untuk memugar rumah Anda?”

“Ah, tidak usah. Nenek sudah nyaman di rumah ini,” kata si nenek tua.

Rusli pun pamit. Dia melanjutkan perjalanan melewati gang sempit. Dia berjalan semakin dalam, menuju area yang seolah sengaja disembunyikan desa ini. Terlihatlah pemandangan sebenarnya tentang desa ini.

Rusli melihat puluhan jompo tinggal di bedeng, gubuk, bahkan bivak yang tak layak. Setiap ditanya, jawaban mereka persis si nenek tua. Mereka punya anak berumah megah di pusat desa yang jarang berkunjung bahkan untuk bertanya kabar.

Setelah mendapat informasi yang dia butuhkan untuk menulis kabar lewat syair, Rusli segera undur diri. Tak sabar dia segera ke ngarai untuk merampungkan karyanya. Perjalanannya ke ngarai berlanjut hingga dia tiba di desa kedua.

Di sini ramai. Sejumlah pria berdebat di depan umum. Umbul-umbul berlukiskan wajah mereka tertempel di berbagai sisi desa. Oh, ini debat pemilihan kepala desa.

Warga pun asyik menyimak. Setelah debat usai, warga bubar. Namun, debat itu begitu melekat benak warga. Lupa mereka memikirkan hal lain. Pekerjaan di ladang pun terbengkalai lantaran warga lebih suka duduk di balai, membicarakan calon A begini, calon B begitu. 

Lama-lama, warga terbagi menjadi sejumlah kelompok. Masing-masing kelompok memfavoritkan salah satu kepala desa dan mereka merasa paling benar. Setiap calon juga demikian. Calon lain dianggap lebih tak becus.

Mereka pun saling menjatuhkan. Akhirnya, setiap kelompok membentengi diri terhadap kelompok lain. Sebentar saja, silaturahmi antar tetangga kian renggang dan itu sangat dirasakan Rusli.

Lihat selengkapnya