Hadi Ardin seperti halnya pemuda 21 tahun pada umumnya di Jakarta. Dia gemar menyaksikan pertandingan olahraga. Ketika berkendara, sumbu emosinya benar-benar pendek, malah nyaris tanpa sumbu. Dia pun bekerja lebih karena harus melakukannya daripada karena panggilan jiwa. Kalau tidak bekerja, gagal dia melanjutkan kuliah.
Perbedaannya, Hadi kini termasuk segelintir warga Ibu Kota yang bisa dikatakan sangsi terhadap mitos-mitos soal Jakarta. Terutama, mitos yang menyatakan, “Jakarta itu keras, Bung!” Dari mana kerasnya?
Asalkan berusaha, semua bisa hidup di Jakarta. Selama tahu teknik, kehidupan lancar jaya. Semua pekerjaan pasti menghasilkan. Di Jakarta, mengemis pun termasuk kategori pekerjaan karena ada jam operasionalnya, ada seragamnya, ada tekniknya, ada usahanya, dan pasti ada penghasilannya.
Pernah Hadi memergoki seorang bapak-bapak ganteng memarkir skutik, menyantap porsi besar nasi uduk, menumpang di toilet warung nasi uduk membawa gembolan, lalu keluar siap kerja dengan rambut kusut, wajah muram, dan pakaian rompal. Ya, dia pengemis profesional.
“Bapak-bapak itu punya rumah megah di kampungnya. Anak-anaknya kuliah berkat penghasilan bapak itu,” kata rahasia umum yang beredar di sekitar tempat nongkrong Hadi di dekat area operasional bapak-bapak ganteng itu. Terlepas dari benar atau tidaknya kabar burung itu, si bapak-bapak ganteng toh berhasil punya motor skutik terkini dan dia lebih memilih menjadi pengemis ketimbang tukang ojek online. Biarlah. Itu pilihan hidupnya.
Meskipun demikian, Hadi pun skeptis terhadap mitos lain soal Jakarta, yang menyatakan, “Hidup di Jakarta itu enak.” Bohong itu!
Hadi punya senior rajin di kampus. Prestasinya gemilang di semua kelas. Setiap ditanya mengenai cita-citanya, senior itu menjawab, “Kelak, aku akan bekerja di kantor besar dan meraih penghargaan karyawan terbaik bulan ini!” Baik.
Memang, sih, senior itu kini kerja di perusahaan besar, punya istri cantik, punya anak lebih cantik dari ibunya, dan punya tempat tinggal sendiri. Mobil dan motor juga ada sepasang. Namun, sialnya, si senior terbelit hutang yang jauh lebih besar daripada jumlah yang bisa dia bayarkan setiap bulan.
Dia harus memeras otak supaya ada penghasilan tambahan. Segala yang bisa dia jual, dia jual lewat toko online. Jual liquid vape, pernah. Jual setrika, beberapa kali. Jual tiket konser, sudah begitu sering sehingga si senior ini dikenal sebagai calo tiket konser.
Adakah uang dan harta benda? Banyak dan melimpah! Apakah dia menyatakan bahagia bila dimintai pendapat mengenai hidup di Jakarta? Jawabannya selalu kembali ke pasal pertama, “Jakarta itu keras, Di!”
Menyadari betapa bertolakbelakangnya keadaan di Jakarta, Hadi bingung. Dimulailah perjalanannya mencari fakta tentang Jakarta. Namun sebelum itu, Hadi ingin memencet klakson motornya keras-keras lantaran supir angkot sembarangan memberhentikan kendaraan di pintu keluar stasiun, menghalangi jalannya. “MAJU SEDIKIT, GOBLO!” hardik Hadi.
Sang sopir tidak maju, melainkan mundur sambil membalas hardikan Hadi dalam bahasa daerah sang sopir. Hadi tak paham. Dia pun berlalu melanjutkan perjalanan. Sesampainya di rumah, ada sanak saudara yang berkunjung demi membicarakan pernikahan Abang.
Para sanak saudara sudah lama menetap di Jakarta. Bau kampung halaman tak tersisa sedikit pun. Akan tetapi, mereka tetap bersikeras mengadakan pernikahan adat secara besar-besaran demi Abang.
Mati-matian para sanak saudara mengumpulkan uang demi menggelar pernikahan yang dipenuhi nilai budaya kedaerahan. Baju adat dipesan langsung dari tanah sesepuh. MC pernikahan dipanggil langsung dari kampung. Hidangan dipastikan sesuai dengan selera dan cita rasa para leluhur.
Dalam budaya kampung halaman Hadi, pria yang menikah perlu diberi gelar. Itulah sebabnya para sanak famili datang ke rumah calon pengantin untuk memusyawarahkan gelar. Setelah akad, barulah gelar itu diumumkan.
Semua paman sibuk mengeluarkan pendapat. Para tante berdebat soal seragam. Sementara itu, para sepupu sibuk merancang resepsi pernikahan Abang. Persiapan pernikahan ini ribet dan heboh. Maklum saja, ini pernikahan pertama dalam generasi anak dan persepupuan.
Kepada Hadi, Paman berkata, “Kita ini keluarga! Patut saling bantu!”
Baiklah, Hadi pun larut dalam suasana.
Hari pernikahan tiba. Abang menyatakan ijabnya dengan lantang. Semua berjalan sesuai rencana, penuh nilai kedaerahan, seolah ingin meneriakkan pesan kepada para tamu, bahwa, “Hei! Kami ini putra-putri kebanggaan daerah kami!”