Realitas Tak Seindah Kata Mutiara: Kumpulan Cerpen

Charisma Rahmat Pamungkas
Chapter #11

Kerikil-Kerikil di Ujung Jari

Ngeri! Budi Janitra terkesiap melihat berita di televisi. Seorang anak berusia satu atau dua tahun lebih kecil darinya terkapar tak bernyawa. Darah bersimbah di wajah, debu bertebaran, sementara serpihan beton menimpa setengah bagian tubuhnya. Pemandangan menggiriskan itu memang ditampilkan kabur oleh stasiun televisi, namun Buja yang masih 11 tahun paham hal yang sedang terjadi.

Penyiar menarasikan, “Konflik kembali merebak di Palestina. Tentara Israel mengebom area permukiman yang disinyalir merupakan basis tentara militan. Kejadian memilukan ini memakan ratusan korban jiwa. Pihak Palestina bersama relawan lintas negara mengevakuasi korban yang kebanyakan merupakan warga sipil. PBB dan sejumlah perwakilan dunia mengecam keras tindakan Israel.”

Dari ngeri, Buja menjadi emosi dan benci. Lain dari anak-anak Palestina dan Israel yang saling membenci meski tak paham lagi asal-muasal konflik balas-membalas ini, Buja benci kepada situasi. Lebih tepatnya, kepada kekerasan. Mana adil warga biasa dan anak-anak menjadi korban serangan militer? Itu sama sekali berlainan dari pelajaran IPS di sekolah!

Siaran televisi berganti namun tetap membahas berita serupa. Di layar, tampak segerombolan anak-anak, remaja, dan pemuda Palestina melempari tank Israel dengan kerikil. Tayangan berganti lagi. Kali ini, tampak remaja dan pemuda digiring menyingkir dengan hidung dan mulut bersimbah darah.

Kepada Ayah, Buja bertanya, “Kenapa mereka begitu bodoh melawan senjata besar dengan kerikil kecil, Ayah?”

Ayah terdiam sejenak, berpikir. Kemudian, Ayah menjawab, “Karena, menurut mereka, itu satu-satunya cara membalas.”

“Tetapi, kan, tak perlu membalas supaya mereka selamat!” protes Buja kepada Ayah.

“Mudah untuk bicara. Kau saja marah saat permen telur cecakmu diambil kawan. Bagaimana dengan mereka yang direnggut tempat tinggal dan orangtuanya?” balas Ayah beretorika.

Tak bisa membalas, Buja semakin naik pitam. Menyadari pandangan nanar anaknya, Ibu yang sedari tadi memerhatikan percakapan anak-beranak itu berusaha menenangkan. “Kamu jangan khawatir. Perang tidak terjadi di Indonesia. Kamu sekolah saja yang benar sampai lulus, lalu jadi orang baik supaya dunia juga membaik.” 

Ayah manggut dan bilang, “Benar. Ikuti kata ibumu karena Ayah pun melakukannya.”

Pesan itu memang tak berhubungan dengan konflik di Timur Tengah. Buja pun sulit memaafkan tentara Israel atau memahami kenekatan pemuda Palestina. Akan tetapi, Buja toh tertenangkan hatinya.

Percaya betul dia dengan pesan Ibu. Tak pernah sedikit pun dia ingin bertindak kasar kepada orang lain, termasuk kepada perundung. Sebagai gantinya, sejauh ini, Buja memiliki banyak teman. Anak-anak yang dahulu mengganggunya bahkan menjadi baik karena pembawaan Buja juga baik.

Sayang satu miliar sayang, uang punya cara tersendiri untuk menampilkan kenyataan hidup yang menggerus iman mahasiswa-mahasiswa idealis sekali pun. Saat Buja lulus SMP, Ayah salah memercayai rekan kerja. Kawan yang dia beri banyak kebaikan malah berkhianat mengatasnamakan ide bisnis ciptaan Ayah menjadi ciptaannya.

Ayah membela diri, namun pihak kantor enggan ambil pusing. “Ini masalah persahabatan. Tak ada yang bisa kami lakukan, kecuali permasalahan ini mereka selesaikan sendiri.” Begitu jawaban pihak kantor saat Ibu protes membela Ayah. Ingin rasanya Ayah membawa hal ini ke pengadilan, namun dia terhalang dana.

Biaya pengacara swasta mahal. Bisa-bisa, uang sekolah Buja dipakai untuk itu saja. Sementara itu, pengacara-pengacara di Lembaga Bantuan Hukum belum tentu bisa membantu lantaran Ayah tak punya bukti kepemilikan ide.

Seperti pesan Ibu, Ayah hanya bisa membalas pengkhianatan temannya dengan kebaikan. Ayah terus tekun bekerja meski di bawah kepemimpinan si pengkhianat. Seolah belum cukup berbuat keji, pengkhianat itu “membuang” Ayah ke divisi yang paling tidak disukai. Yaitu, divisi administrasi.

Tak betah, Ayah mengundurkan diri membawa pesangon yang tak cukup untuk membuka toko kelontong. Padahal, dia terus bermimpi buka toko. Bahkan, untuk menyervis besar mobil saja, pesangon ayah tak cukup! Menjadi sopir taksi online bukan pilihan.

Saat itulah, Buja sadar satu hal. Percuma berbuat baik karena pada akhirnya para pengkhianat akan menikam. Percuma menahan diri! Percuma membalas kejahatan dengan kebaikan, karena itu hanya mengundang penyesalan.

Sejak itu, Buja merasa menemukan jawaban akan pertanyaannya dahulu. “Mungkin, anak-anak Palestina melempari pihak Israel dengan kerikil untuk memuaskan kecamuk murka yang menderu menjadi nafsu. Persetan konsekuensi! Percuma menjadi orang baik kalau hidup terus dirundung kesialan,” pikir dia.

Lihat selengkapnya