Ke mana waktu pergi dan berlalu? Beberapa minggu lalu, rasanya aku baru keluar dari pabrik, siap dipasarkan. Beberapa hari lalu, rasanya, aku baru terbeli kemudian diaktifkan untuk memainkan game sambil memutar musik. Padahal, itu terjadi belasan tahun lalu.
Aku ingat sekali pembeliku saat itu. Aku mendengar langkah canggungnya masuk toko. Langsung kutebak, itu kali pertamanya membeli barang elektronik sendirian. Tidak ada orangtua, saudara, atau pihak lain yang mendampingi.
Dugaanku, dia akan bertanya ini-itu dengan canggung, secanggung langkahnya. Kemudian, dia akan memilih produk dengan bungkus mentereng. Lalu, Pak Cik penjual peranti akan memberi harga lebih tinggi dan si anak akan membelinya tanpa perlawanan. Maklum saja, begitu efek terlanjur jatuh cinta dengan tampilan luar peranti komputer.
Pak Cik ini baik. Dia punya cara jujur membuat laris dagangannya tanpa menipu atau menjual janji. Misalnya, dengan menawarkan produk lain yang memang dibutuhkan supaya komputer berfungsi sebagaimana mestinya. Supaya, komputer itu tidak kelebihan beban.
Si anak ini pasti termakan omongan Pak Cik. Sesampainya di rumah, dia akan mulai merakit berbagai peranti yang diborongnya. Lagi-lagi, aku menduga dia akan butuh banyak waktu untuk merakitnya. Karena keamatirannya, dia akan melewatkan beberapa hal mendasar sehingga komputer tidak berfungsi dengan baik.
Dia akan kecewa, mulai menyalah-nyalahkan banyak pihak, menggunakan komputernya serampangan sebagai bentuk balas dendam, dan komputer itu rusak dalam hitungan tahun. Sejurus kemudian, dia akan merengek meminta uang orangtuanya, seperti saat sebelumnya, saat dia meminta uang untuk membeli peranti komputer.
Perlu kau ketahui, Kawan. Itu semua hanya dugaanku. Kenyataannya, si remaja canggung ini tahu betul hal yang diucapkannya. Dia menjabarkan dengan rinci kriteria komputer yang diinginkannya, mulai dari jenis peranti, merk, seri, tahun pabrikan, hingga kecepatan getaran mesinnya. Berdasarkan spesifikasi tersebut, aku menyimpulkan bahwa dia ingin merakit komputer terbaik sesuai bujet yang dikumpulkan dari sisihan uang jajan selama bertahun-tahun. Spesifikasi komputernya jelas bukan yang terbaik di negeri, apalagi di toko itu. Akan tetapi, tetap yang terbaik yang bisa di dapatnya.
Aku yakin Pak Cik pun tak mengira calon pembelinya kali itu sepadan dalam hal komputer. Pak Cik sempat terperangah dibuatnya. Namun, Pak Cik berhasil menguasai diri dan mencoba menjual berbagai peranti pilihan si remaja canggung dengan harga lebih tinggi.
Si remaja melawan! Dia menawar harga sesuai harga pasar. Pak Cik belum mau takluk. Dia mencoba menekan si anak ini dengan kejujurannya. Pak Cik bilang, “Kalau harga segitu, belum dapat, Dik.” Anak itu terdiam cukup lama.
Dia akhirnya sepakat dengan harga yang diberikan Pak Cik. Akan tetapi, dia meminta kompensasi. Dia ingin diberikan peranti lain secara cuma-cuma. Saat itu, dia meminta headset untuk main game. Pak Cik tak mau memberi headset, tetapi bersedia melepas salah satu tetikus. Si anak setuju tanpa perlawanan dan Pak Cik heran dengan keputusan si remaja.
Hingga saat ini, aku merasa memang tetikus itu yang sebenarnya diinginkan si remaja. Headset hanya dijadikan pancingan supaya Pak Cik menawarkan hal yang paling diinginkannya.
Setelah itu semua, Pak Cik belum mau ditekuk. Sambil mengambilkan peranti-peranti yang dibutuhkan si remaja, Pak Cik mengatur strategi. Dia meletakkan semua peranti permintaan si remaja di meja kasir, kecuali satu: Prosesor.
Alih-alih mengambil prosesor dengan spesifikasi sesuai permintaan, Pak Cik mengambil prosesor dengan kualitas lebih tinggi. Itu sengaja dilakukan untuk menguji ketelitian si remaja. Setelah menolak prosesor yang diambilkan Pak Cik, dia menunjuk ke arahku.
Aku tadinya seru menonton tawar-menawar itu. Lalu, terperanjat dibuatnya. Aku merasa sangat terhormat dipilih oleh pembeli cerdas.
Si anak membayar semua peranti yang dibeli, lalu menuliskan namanya ke atas secarik kuitansi. Sejak itulah aku merasa melekat kepada Alamsjah Bani, remaja canggung yang tak disangka memiliki pengetahuan mendalam.
Setelah hard disk, power supply, memori RAM, VGA card, motherboard, tetikus, dan aku dibungkus ke dalam kardus, Pak Cik mengantarkan kami menuju kendaraan si remaja. Aku rasa, Pak Cik pun merasa terhormat bertemu pembeli macam ini, aku yakin. Sepanjang perjalanan, Pak Cik dan si remaja saling bertukar pikiran tentang komputer. Sepertinya, hingga kini mereka masih berteman likat.
Semua peranti mengucapkan selamat kepadaku. Kami mengobrol sambil sesekali menimpali obrolan Pak Cik dan Bani. Tentu saja mereka berdua tidak mengerti bahasa kami. Itu malah membuat kami semakin cekikikan sendiri.
Sesampainya di rumah, Bani langsung merakit kami. Dia melakukannya dalam hitungan menit, kemudian menyelubungi kami dengan casing besi. Dipasangnya kabel untuk menghubungkan kami ke monitor, pelantang suara, dan papan ketik pemberian abangnya. Direntangkannya kabel steker dari soket kami untuk dicolok ke stop kontak. Kami menyala dan berfungsi sebagai seperangkat komputer yang sempurna.
Bani menggunakan kami dengan mahir sejak itu. Ribuan soal dijawabnya. Beratus-ratus tulisan dibuatnya. Berpuluh-puluh makalah penelitian diselesaikannya. Kami pun akhirnya menyelesaikan satu hal yang begitu membanggakan Bani selama bertahun-tahun, yaitu skripsinya. Kami menjadi saksi kebolehan Bani mengolah data pekerjaannya kelak.
Di sela kesibukan, Bani menggunakan kami untuk bersenang-senang. Misalnya, untuk mendengar musik, berbincang dengan sahabat nun jauh di sana, dan lebih sering lagi untuk main game. Kadang, Bani sampai rela menguras otak untuk mengerjakan tugasnya lebih cepat demi main game.
Sungguh, kami terpukau dengan kelihaiannya bermain. Dia meluncurkan tetikus dengan lihai sambil memencet-mencet tombol di papan ketik untuk memberi komando. Karakter Bani di dalam game pun beraksi sesuai kesigapan sang sinuhun.
Ada pula waktu aku beserta seperangkat komputer harus menelan pil pahit bahwa sosok yang kami gadang-gadangkan itu dilumat habis oleh pemain lain. Kami ingin sekali menghancurkan orang yang mencundangi orang yang merakit kami.
Namun, aku tak bisa berbuat banyak karena tidak diperintah melakukan itu. Sebaliknya, Bani malah sering memuji keunggulan lawan. Semakin aku takjub dengan Bani, semakin aku merasa lekat dengan dia.
Saat tidak main game online bersama teman nun jauh di sana, Bani bermain game perang melawanku. Dia selalu memakai Turki dengan pasukan berseragam merah. Aku kadang memakai Inggris, kadang Denmark, kadang Belanda, suka-sukaku saja. Apapun pasukan pilihanku, Bani memintaku main dengan kecerdasan penuh. Maka, aku tak pernah menahan diri. Pun demikian, aku hampir selalu kalah darinya.
Begitu banyak game yang kami mainkan, tak terhitung tugas yang kami selesaikan. Aku dan seperangkat komputer telah melakukan banyak hal bersama Bani, dan itu adalah masa-masa yang menyenangkan. Saking menyenangkannya, 10 tahun tak terasa berlalu sejak aku dinyalakan kali pertama.
Selama itu, Bani tak pernah menggunakanku lebih dari seharusnya. Saat dia terlelap, aku dipadamkan untuk beristirahat. Dia tak pernah suka berpikir terlalu keras, sehingga aku tak pernah diberinya tugas membuka banyak-banyak tab perambah internet.
Selubung yang melindungiku dibersihkan dengan lap dan kemoceng. Sirkuit-sirkuit listrikku dibersihkan dengan angin. Aku diberikan antivirus yang rutin memeriksa setiap Sabtu, 18:00. Saat Bani bepergian jauh dan terpaksa meninggalkanku, dicabutnya steker yang membuatku terhubung dengan stop kontak, sehingga tak ada listrik iseng yang dapat melukaiku.
Usia 10 tahun bukanlah angka yang sedikit menurut standar komputer. Kawan-kawan sejawatku ada yang sudah dibuang, dirombak, dan didaur ulang saat menginjak 5 tahun. Aku pun sempat hampir merasakannya.
Saat itu, aku mati. Bukan. Aku mati bukan karena perbuatan empuku. Melainkan, karena keisengan listrik yang datang tiba-tiba dari langit. Saat tak sadar, sayup-sayup aku mendengar orangtua Bani menyuruhnya mengganti komputer, toh dia punya cukup uang untuk membeli perangkat baru.