Adis tanpa Ray ibarat Batman tanpa Alfred, Nobita tanpa Doraemon, atau Patrick tanpa Spongebob. Mustahil bertahan hidup di tengah telikung nasib dan gempuran cobaan. Itu yang terlihat dari luar. Dari dalam, Ray, Alfred, Doraemon, dan Spongebob pun mustahil sanggup menanggung kesepian tanpa sahabat karib masing-masing.
Setiap pihak punya alasan tersendiri sehingga memiliki ketergantungan dengan pihak lain. Dalam hal Adis, alasan ini adalah ketidakmampuannya melihat dan berkomunikasi. Sejak lahir, Adis tunanetra dan tunawicara.
Kedua sahabat ini, Adis dan Ray, tinggal di kontrakan yang sama. Bukan. Mereka bukan pasangan sesama jenis. Mereka murni menunjukkan bromance yang membuat para pacar, mantan, dan selingkuhan iri bukan buatan.
Pagi itu, Adis bangun sebelum Ray. Dia membangunkan sahabatnya supaya tidak terlambat bekerja. Berdasarkan helaan napas Ray, Adis tahu bahwa kawannya tidur terlalu lama. Pasti sulit dibangunkan. Maklum saja. Itu kebiasaan Ray sejak remaja. Tidurnya seperti orang pingsan. Dari aroma apaknya, Adis tahu letak telapak kaki Ray dan mulai menggaruk-garuk area itu, berusaha membangunkan Ray.
Ray melawan gelitikan Adis dengan menggerak-gerakkan kakinya. Adis semakin liar. Ray menendang-nendang. Adis enggan kalah. Dia semakin menggila, mengincar tiap pori-pori di telapak kaki Ray dengan gelitikan penuh kesumat. Tak tahan, Ray bangun sambil menggumam menggerutu.
“Santailah sedikit, Bung! Tak enak sekali dibangunkan macam ini,” kata Ray.
Adis mengutarakan isyarat yang artinya, “Lekas! Kau terlambat, dasar pemalas!”
Tanpa banyak bicara lagi, Ray meracik sarapan sementara Adis mengusir serangga yang masuk ke kontrakan. Setiap malam, nyamuk dan jangkrik memang mudah masuk lewat celah-celah kusen. Masalahnya, Adis hanya mengandalkan suara, bau, dan getaran untuk mendeteksi keberadaan serangga. Berhubung serangga berukuran kecil dan sanggup menyarukan diri dengan lingkungan sekitar, kesulitan juga Adis mengusir mereka.
Melihat Adis sibuk sendiri, Ray melontarkan lelucon dan Adis dibuat tergelak. Ray kembali melontarkan lelucon, Adis cekikikan di lantai. “Kocak betul melihatmu terpingkal-pingkal macam ini,” kata Ray. Dia melanjutkan satu lelucon tambahan, lalu menghidangkan sarapan.
Setelah makan, Ray berangkat kerja sementara Adis tinggal. Saat sahabatnya pergi, Adis berusaha sekerasnya bersih-bersih kontrakan. Dengan meraba-raba, dia merapikan bantal-bantal kursi, menata letak gelas-gelas plastik, dan membetulkan letak karpet untuk menyambut kepulangan sahabatnya kelak.
Kepulangan itulah yang dinantikan Adis setiap hari, layaknya tumbuhan yang setia menunggu musim semi. Berdasarkan detak jarum jam, Adis tahu ini waktunya Ray pulang. Was-was dia menunggu.
Akhirnya, deritan gerendel kompleks kontrakan terdengar dari ujung gang. Lalu, gerendel itu berderit kembali saat ditutup. Derap sepatu ukuran 47 terdengar semakin lantang, ada suara keciprat saat sol keras sepatu itu menginjak genangan. Pemakai sepatu itu berhenti dua kontrakan dari sini, menyahut perempuan yang menyapa. Setelah mengobrol sebentar, dia melanjutkan langkah ke kontrakan.
Soket kunci pintu bergetar, tanda kunci sudah dimasukkan. Kunci diputar, terdengar suara klik mekanik. Adis berdebar-debar menyambut kepulangan sahabatnya, ingin mendengar lelucon baru. Atau, mendengar cerita pekerjaannya. Atau, menerima high-five yang dirancang khusus supaya tunanetra mampu melakukannya.
Pintu dibuka, aroma kecut terendus. Adis kenal itu bau Ray. Maka, Adis menyapa sahabatnya dengan isyarat, “Kau pasti tak melihatku!”
Biasanya Ray membuat Adis tertawa, kini Adis yang membuat Ray terkekeh. “Santai saja, Bung! Leluconmu gawat juga!” kata Ray.
Hari-hari berikutnya berlangsung serupa itu. Adis bangun pertama, Ray bangun terakhir. Ray berangkat kerja, Adis bersusah payah bersih-bersih kontrakan. Ray melontarkan lelucon, Adis terbahak-bahak. Saat Ray ingin bercerita, Adis mendengarkan dengan saksama. Tak pernah sekalipun dia memotong pembicaraan apalagi sampai menghakimi. Semua rahasia Ray aman di tangan Adis. Hubungan ini adalah simbiosis mutualisme, saling menguntungkan.
Waktu berlalu hingga hari berganti pekan, lalu bulan, lalu tahun. Mungkin karena jenaka dan ramah, Ray seperti tak bertambah tua sedikit pun. Sementara itu, Adis merasa dirinya semakin uzur. Ini mungkin hanya perasaan, tetapi perasaan ini sungguh terasa di bagian perut hingga merangsang usus besar. Adis sulit mengontrol kemampuannya menahan air besar. Tak terasa, ada yang merembes hingga akhirnya menetes ke lantai kontrakan.
Adis malu memberitahukan itu kepada Ray, namun dia harus melakukannya. Maka, Adis menggamit pinggang Ray lalu memberikan isyarat, “Sepertinya, ada yang tak beres dengan ususku. Mungkin, aku sakit.”
“Ada apa, Bung? Aku tak mengerti,” kata Ray. Sebelum ini, belum pernah sekali pun Adis mengadu ketika sakit karena takut semakin merepotkan Ray. Dia memilih diam saja dan beristirahat ketika sakit.
“Apa yang sedang kau isyaratkan?” tanya Ray.
Adis sadar bahwa mustahil Ray paham isyarat ini. Maka, Adis mengubah isyaratnya. “Ikuti aku, biar kutunjukkan!” isyarat Adis.
“Kau ingin aku mengikutimu?” tanya Ray.
“Ya!” isyarat Adis.
Mengandalkan penciuman tajam, Adis menuntun Ray ke tempat kotoran di lantai. Adis tahu dia menuntun sahabatnya ke tempat yang tepat, karena Ray mengumpat ketika melihat gumpalan kotoran di ruang keluarga.
“Maaf, Bung! Bukan maksud memarahimu,” tambah Ray. “Aku hanya kaget! Astaga!”
“Maaf, Ray. Aku sulit menahannya. Tahu-tahu dia keluar begitu saja!” terang Adis.
“Yasudah, yasudah. Kau tunggu di kamar mandi dahulu. Keluarkan saja di situ kalau-kalau masih ada yang mau keluar,” kata Ray sambil menuntun Adis ke kamar mandi. Dari telinga orang biasa, Ray terdengar tenang-tenang saja. Namun demikian, Adis yang telah bersama Ray selama bertahun-tahun, tahu intonasi Ray ketika panik.
Kali ini, suara Ray bergetar, menandakan dia sangat tegang dan sangat panik.
Berdasarkan suara langkahnya, Ray keluar kontrakan. Dia menyahuti sebentar sapaan perempuan tetangga kontrakan. Mereka berbincang seaat, lalu pendengaran Adis mengatakan, perempuan itu sepertinya mengikuti langkah Ray.
Sementara itu, Adis gelisah di kamar mandi yang dingin dan lembap. Sekuat tenaga dia mengejan, tak sedikit pun kotoran keluar dari bokongnya. Padahal, detik ini, dia ingin menguras semua isi usus supaya insiden barusan tak terulang.
Sayup-sayup, Ray dan perempuan itu terdengar mendekat kembali. Langkah mereka semakin berat, tanda mereka membawa beban tambahan. Membawa apa? Adis hanya bisa menunggu di kamar mandi, masih takut kalau saat dia melangkah keluar, usus besarnya akan kembali berulah.
Di muka pintu, Ray dan perempuan itu berbincang. Ray terdengar panik. Perempuan itu terdengar menenangkan. Akan tetapi, Adis tak mendengar jelas karena mereka berbisik-bisik. Sungguh aneh rasanya tiba-tiba kesulitan menahan air besar dan Ray jadi panikan.
Dari kamar mandi, Adis mendengar Ray menaburkan ratusan benda kecil ke lantai. Mungkin, untuk menutupi bekas-bekas insiden. Penasaran dengan benda itu, Adis bertanya, “Hei, apa itu?”
“Tenang saja, Bung! Ini pasir. Ningsih bilang, aku harus membersihkan noda ini dengan pasir terlebih dahulu supaya tidak najis,” terang Ray.
Oh, perempuan itu bernama Ningsih, pikir Adis.
Berusaha ramah, Ningsih menyapa Adis. “Hei, Bung! Kau tidak apa-apa?”
“Mohon maaf kalau saya ini buang air sembarangan. Akan tetapi, hanya Ray yang boleh menyapa saya macam itu! Orang-orang harus memanggil saya dengan nama yang tertera pada sertifikat saya, Adis!” isyarat Adis.
“Hei, hei. Tenang, Bung! Ningsih hanya bertanya. Tak perlu mengomel,” kata Ray.