Kinanti, seorang anak SD Islamiyah duduk sendiri di bangku deretan depan kelas pada jam istirahat. Dia memegang buku cetak Bahasa Sunda yang terbuka di atas pahanya. Kepalanya tertunduk menghadap buku itu, tetapi halaman bukunya tidak dibolak-balik.
Di deretan belakang, hanya ada seorang anak laki-laki pendek, berambut cepak, berkacamata, berkuping caplang, dan bergigi tonggos yang sedang merapikan meja belajarnya. Anak yang bernama Sastra itu kemudian beranjak dari bangku, ingin menuju lapangan.
Ketika melewati tempat duduk Kinanti, dia mendengar ada suara cegukan (atau isakan?). Sastra membalikkan badan berupaya melihat asal-muasal suara itu. Akan tetapi, yang dia lihat hanya seorang Kinanti yang sedang menunduk membaca buku. Sastra ingin melihat muka Kinanti, tetapi sulit karena muka anak perempuan itu terlalu menghadap ke bawah.
Sastra merendahkan badannya, berupaya melihat muka Kinanti, tetapi sekarang pandangannya malah terhalang meja.
“Ngapain, kau?” tanya Kinanti galak walau suaranya agak bergetar di awal.
“Tidak. Aku ingin mengambil uangku yang jatuh,” jawab Sastra bohong.
Kinanti tidak membalas jawaban Sastra. Dia tetap memandang bukunya yang dari tadi tidak berganti halaman. Masih berupaya melihat muka Kinanti, Sastra kini memiringkan kepalanya. Ternyata, sulit melihat wajah seseorang yang berkerudung saat sedang menunduk.
Sastra menyerah. Dia akhirnya melirik ke arah buku yang dipegang Kinanti. Buku itu basah terkena tetesan air.
Tidak ada pembicaraan antara dua murid kelas VI-A itu selama beberapa menit. Kinanti hanya duduk memandangi buku yang dipegang di pahanya, sementara Sastra berdiri dan hanya bisa memandang kepala Kinanti yang diselubungi kerudung.
Akhirnya, Sastra memulai pembicaraan, “Hmm… Aku mau ke lapangan. Kau tidak mau ikut main benteng?”
Tidak ada jawaban. Kinanti masih menunduk.
“Membacanya nanti saja, Kin. Kita main benteng dahulu,” kata Sastra agak memaksa.
Kinanti menggeleng.
“Kalau begitu, kau kutinggal,” kata Sastra.
Dia berjalan menuju pintu kelas, kemudian mendengar Kinanti bergumam, “Di lapangan pasti ada dia. Aku tidak mau bertemu dengannya.”
Sastra tidak mengerti maksud kinanti. Dia meneruskan keluar, menyusuri lorong, lalu belok menuju lapangan basket sekolah. Teman-teman sekelas Sastra sedang adu benteng dengan anak kelas VI-C.
Hanya sepuluh teman sekelas Sastra yang masuk tim, sisanya terpencar. Sebagian ada yang duduk di pinggir lapangan sambil menyemangati para perwakilan kelas, sebagian terlihat berjalan ke arah kantin. Sastra menghampiri Daru dan Budi dan duduk di pinggir lapangan.
“Daru, Budi, kenapa kalian tidak bermain?” tanya Sastra.
“Aku kalah dalam hompimpa tadi. Jadilah aku di sini,” kata Budi. “Kalau Daru, dia baru datang jadi tak kebagian hompimpa.”
Daru bertanya kepada Sastra, “Dari mana kau? Kenapa tadi tak ikut hompimpa?”
“Aku di kelas saja. Tadi, aku penasaran melihat Kinanti sendirian di kelas. Kuajak ke luar, dia tidak mau,” jawab Sastra. “Aku penasaran kenapa dia tiba-tiba diam waktu istirahat. Biasanya, dia tidak begitu.”
“Kenapa tidak kau cecar dia dengan pertanyaan, seperti yang biasa kau lakukan?” tanya Budi.
“Ah, tidak enak,” jawab Sastra. Dia mendekatkan kepalanya dengan kepala Daru dan Budi, kemudian berbisik, “Sepertinya Kinanti menangis.”
“Wah, parah! Kau membuat anak perempuan menangis!” pekik Daru menggoda Sastra.
Sastra tidak menghiraukannya. Untung saja Budi cepat-cepat berbicara sebelum Daru menggoda Sastra lagi. “Bukankah biasanya dia kumpul dengan Senja, Seruni, dan Mita? Dia tidak pernah menyendiri, kan?” kata Daru.
“Makanya. Aku tidak mengerti kenapa dia sekarang sendirian,” kata Sastra.
“Pasti dia sedang dijauhi teman dekatnya!” kata Daru menyimpulkan.
“Mungkin, dia memang sedang ingin sendiri karena ada masalah di rumahnya,” kata Sastra.
“Itu tidak mungkin,” kata Budi. “Kalau dia bermasalah dengan orang rumah, pasti kawan dekatnya, si Mita, Senja, dan Seruni menemani dia. Kalau sekarang, aku yakin dia sedang ada masalah dengan salah satu dari tiga temannya itu.”
“Begitu, ya?” jawab Sastra. Tatapannya kosong ke arah anak-anak VI-A yang sedang berteriak “BENTENG!” dengan lantang. Sastra melihat seorang anak-anak sedang menyemangati kawan-kawan satu timnya.
Sastra berdiri dan langsung pamit, “Aku ke kantin dulu, ya, Daru, Budi.”
“Semoga sukses,” kata Daru dan Budi diiringi teriakan “BENTENG!” lainnya dari lapangan.
Di kantin, Sastra melihat murid-murid SD Muhammadiyah sedang memesan makanan, sebagian duduk di dalam warung-warung, sebagian duduk di meja tengah kantin, dan sebagian duduk di undakan pinggir jalan.
Sastra melihat Senja, Seruni, dan Mita sedang antre di warung mie. Sastra berjalan menyelip di antara meja kantin dan menyeruak di kerumunan siswa. Sastra ikut antre di warung itu, jauh di belakang Senja, Seruni, dan Mita. Bau air rebusan dan bumbu mie sudah tercium dari tempat Sastra berdiri. Hawa lembab dan pengap warung itu, anehnya, justru menggugah seleranya.
Setelah giliran Senja dan kawan-kawan memesan, Mita melihat Sastra.
“Kau ikut pesan dengan kami saja, Sastra,” kata Mita.
Tanpa bicara, Sastra menyeruak lagi. Beberapa kepala menoleh kepadanya sambil bersungut-sungut. Sesampainya di tempat Mita, Sastra memesan mie rebus rasa ayam bawang. Lalu, Seruni dan Senja mencari meja. Akhirnya, mereka duduk di meja tak jauh dari warung mie. Sementara itu, Mita bersama Sastra menunggu pesanan terhidang. Sambil menunggu, Sastra mengajak Mita mengobrol.
“Mita. Kenapa kau tidak beli nasi gulai? Biasanya kau beli itu,” tanya Sastra.
“Aku bosan makan gulai, Son. Aku ikut Seruni dan Senja saja hari ini,” jawab Mita, “Ada apa?”
“Tidak apa-apa, Mit. Aku jarang lihat kau beli mie. Kalau Kinanti, aku memang sering melihatnya beli mie rebus. Oh, iya. Ngomong-ngomong, di mana Kinanti?” tanya Sastra mulai menjurus ke topik yang dia ingin bicarakan.
Mita terlihat ketus. “Aku tak tahu. Sudahlah tidak usah bicarakan Kinanti. Dia bisa cari teman lain. Kan, dia ranking satu.”
“Oh, iya. Dia dapat juara satu semester lalu, ya?” jawab Sastra tanpa arah pembicaraan.
Tak lama, pesanan datang. Sastra membawa mie pesanan mereka ke meja Senja dan Seruni. Tangannya keberatan membawa nampan berisi empat mangkuk mie, namun dia bertahan karena gengsi dengan Mita.
Sesampainya di meja, Sastra dan Mita membagikan pesanan ke pemiliknya masing-masing. Saat mereka mulai melahap mie, Sastra lebih memilih diam dan mendengarkan pembicaraan tiga sekawan ini.
“Mita, kamu sudah memiliki gaya untuk menampilkan lagu “Manuk Dadali” di pelajaran Bahasa Sunda nanti?” tanya Seruni.
“Oh, tentu saja sudah!,” jawab Mita sambil melahap mie. “Dua hari lalu, Aku dan Senja sudah memiliki gaya untuk kami tampilkan. Semoga Bu Euis memberi nilai tambah,” lanjutnya sambil mengunyah mie liat.
Senja ikut dalam perbincangan. Jadilah tiga sekawan ini melupakan kehadiran Sastra yang baru saja membawakan makanan mereka. Senja bilang, “Tadinya, aku ingin menghafalkan dan mencari gaya bersama Kinanti. Tapi, Mita bilang nanti gayaku bisa ditirunya dan dia mendapat nilai lebih tinggi dariku.”
Sastra mengunyah mie sambil memperhatikan. Seruni terbelalak kaget mendengar tuduhan Senja dan Mita terhadap Kinanti, sahabat yang kini mereka tinggalkan sendirian.
Seruni memastikan, “Yang benar kau, Mit? Masa sahabatmu seperti itu kepada teman sendiri. Tega sekali!”
Mita menjelaskan kepada teman-temannya, “Betul! Semester lalu, aku dan Kinanti sering belajar bersama. Lebih tepatnya, aku sering memberikan catatanku kepadanya. Tetapi, dia tidak mau memberikan catatannya kepadaku. Lihat rankingnya! Dia bisa jadi ranking satu, sementara aku terpaksa turun ke ranking dua.”
“Oh, iya! Kinanti juga pernah mencontoh gambar gunung, sawah, dan matahariku. Dia dapat nilai sembilan, sementara aku hanya mendapat nilai tujuh,” kata Seruni.
“Betul, kan, Seruni. Guru-guru lebih membelanya dan lebih percaya dia paling pintar hanya karena dia terpilih sebagai penyanyi lagu kompilasi untuk presiden,” kata Senja.
“Bukan itu saja sebabnya. Kinanti pernah diwawancarai stasiun televisi dan menyebut nama sekolah kita. Ya, SD Islamiyah kita disebutnya terang-terangan dan tersiar ke seluruh negeri. Pasti itu juga yang membuat guru-guru jadi girang kepadanya,” kata Mita.
“Ih, Kinanti jadi tidak keren lagi. Kasihan kamu Mita, semester lalu kamu tidak ranking satu karena dia,” kata Seruni memberi penekanan pada kata “dia”. “Menyebalkan!” tutup Seruni kepada Mita yang sedang cemberut.