Cobaan datang tak kenal permisi. Dia sekonyong-konyong hadir tanpa banyak peduli. Mau orang sedang menguli, sedang main burung nuri, atau sedang mandi, kalau sudah waktunya kena cobaan, ya, kena saja dia. Namun demikian, dia adil. Sungguh adil.
Pernah lihat ada cobaan yang pilih-pilih? Pernah dengar ada cobaan hanya menyergap mereka-mereka yang hidupnya sulit? Pernah lihat ada cobaan enggan menyerbu mereka yang punya uang segudang dalam bentuk, peso, dollar, dan ringgit? Tidak! Semua bisa kena cobaan.
Maka itu, aku selalu bilang, cobaan bukanlah musibah. Cobaan datangnya dari Tuhan YME. Musibah datang dari manusia. Kau, aku, dan semua keturunan Homo sapiens yang menapaki dunia ini dengan kepala di atas badan, kita adalah penyebab musibah untuk umat kita sendiri.
Contohnya, aku pernah baca naskah sejarah tentang banjir bandang di Rotterdam tahun 1950-an. Ribuan lahan subur mendadak rusak akibat banjir rob dan hantaman badai pada saat yang sama. Ternak menghilang. Keluarga tercerai berai. Pembangunan pasca-Perang Dunia II terasa sia-sia dilakukan.
Dalam hitungan hari saja, pemerintah Rotterdam menyatakan bahwa banjir tersebut adalah kondisi darurat. Beberapa jam kemudian, terciptalah sebuah inisiatif berisi pembangunan jangka panjang. Berbagai peneliti ahli dipanggil, riset mendalam dilakukan. Akhirnya, tercipta kesimpulan bahwa Rotterdam perlu melakukan rekayasa geografis.
Pemerintah tanggap. Mereka membangun kanal yang merekayasa aliran air supaya tak membanjiri Rotterdam. Lalu, bendungan raksasa pun dibangun untuk membentengi Rotterdam dari luapan rob. Sampai sekarang aku bernapas, belum pernah, tuh, Rotterdam dilanda banjir yang meluluhlantakkan macam 1950-an lagi.
Buat Rotterdam serta pihak-pihak lain yang tanggap dan mau belajar, cobaan dalam bentuk banjir berakhir hanya sebagai cobaan, bukan musibah. Lain halnya dengan negeri tempat tinggal kawanku, Mamet.
Mamet tinggal di sebuah tempat bernama, katakan saja, Indoneviral. Delapan tahun lalu, negara tetangga Indoneviral kemasukan sebuah bakteri yang cepat menyebar dari orang ke orang. Negara tetangga pertama, sebut saja negara Civiral, berusaha mencari asal-usul penyakit ini, atau yang mereka sebut patient zero.
Namun, sungguh salah jika Civiral hanya sibuk mencari patient zero. Kalau ibarat hikayat Timur Tengah soal kuda balap yang terperosok lubang di tengah gurun, semakin kita mencari apa gerangan penyebab kuda ini bisa ada di padang pasir dan bisa masuk lubang, semakin kuda ini menderita karena kehausan, kelaparan, kelelahan, dan ketakutan. Daripada sibuk berdebat soal sebab-musabab, lebih baik selamatkan kuda dari lubang.
Negeri Civiral sepertinya tahu juga soal hikmah dalam hikayat itu. Karena, mereka kemudian langsung membangun rumah sakit pusat berkapasitas 1.000 tempat tidur, melarang warganya melakukan kegiatan publik supaya bakteri tak menyebar, dan menyemprot disinfektan secara massal dari kota ke kota.
Hasilnya, jumlah korban meninggal semakin berkurang dari hari ke hari. Jumlah pasien sembuh bertambah. Penyebaran bakteri berkurang. Namun, sayang. Karena terlambat mencegah penyebaran, sempat ada warga yang terjangkit bakteri itu masuk ke negara lain.
Negara kedua yang kemasukan penyakit ini, sebut saja Japaniviral. Belajar dari kelambatan Civiral, pemerintah Japaniviral segera membatasi pergerakan warganya. Setiap warga diminta melakukan kegiatan dari rumah. Sekolah di rumah. Kerja di rumah. Akses antar kota ditutup.
Jumlah pasien bakteri ini tidak sampai menyentuh angka ribuan, seperti yang terjadi di Civiral. Namun, tetap saja. Karena lama melobi di level pemerintah, keburu ada warga Japaniviral yang terjangkit bakteri ini mengunjungi negara lain.
Sebut saja Koreniviral yang menjadi negara ketiga. Dalam hitungan 30 hari, Koreniviral melakukan pemeriksaan laboratorium kepada seluruh warganya untuk memeriksa apakah mereka terjangkit bakteri baru ini atau tidak. Bayangkan. Seluruh warga. Diperiksa di lab. Dalam waktu 30 hari.
Karena ketahuan siapa yang terjangkit siapa yang tidak, pemerintah Koreniviral bisa menanggulangi penyebaran bakteri sialan ini dengan cepat. Jumlah pasien penyakit ini tak sampai hitungan delapan ratus.
Tak jauh dari Koreniviral, ada Cekoslovaviral yang sudah siap melawan bakteri ini. Melawan dengan cara apa? Menutup akses keluar masuk negaranya. Meminta seluruh warganya melakukan kegiatan sehari-hari dari rumah. Hasilnya, bakteri tersebut tak masuk negeri Cekoslovaviral sama sekali. SAMA SEKALI!
Bagi negeri-negeri yang tanggap macam itu, bakteri wabah hanyalah sebuah cobaan. Cobaan untuk membuktikan apakah negeri mereka layak dikatakan negeri pemenang atau hanyalah negeri-negeri lain yang hanya sekadar numpang ada di dunia ini.
Kembali kepada negeri tempat tinggal Mamet si kawanku ini. Berkebalikan dari Cekoslovaviral yang begitu tanggapnya membendung bakteri jahat, negerinya Mamet malah membuka lebar-lebar akses keluar masuk negeri. Harapannya, turis yang ditolak masuk Civiral, Japaniviral, Koreniviral, dan Cekoslovaviral dapat menemukan wisata yang mereka cari di Indoneviral. Kata pemerintah, ini kesempatan untuk menggenjot pariwisata.
Akan tetapi, setelah turis itu masuk, adakah pemeriksaan menyeluruh untuk memastikan masuk tidaknya bakteri ini bersama para wisatawan? Tebakanmu benar. Tidak ada pemeriksaan sama sekali. Apa yang pemerintah lakukan? Tebakanmu benar lagi. Mereka hanya berkoar-koar di televisi, mengatakan, “Ini hanya masuk angin. Tak usah ambil pusing.”
Saat pemerintah Japoniviral tanggap cobaan, pemerintah Indoneviral malah meremehkan bakteri yang bahkan tak mereka ketahui jelas identitasnya. Butuh tamparan di wajah para pemimpin itu hingga akhirnya mereka berhenti takabur dalam menghadapi bakteri bajingan ini. Tamparan yang kumaksud itu adalah adanya pasien pertama yang terjangkit bakteri ini.
Pasien pertama menularkan kepada pasien ketiga. Pasien keempat terjangkit di luar negeri. Pasien kelima dan keenam mendapatkan penyakitnya dari pasien pertama. Bola salju menggelinding terus hingga muncullah pasien ke-69. Lantaran dari awal sudah takabur, pemerintah Indoneviral akhirnya kocar-kacir.
Sialnya bagi Indoneviral, sudah tahu negerinya kemasukan bakteri baru yang menyebar dengan ganas, masih ada juga orang-orang yang menampik fakta itu. Lebih sialnya lagi, para penampik fakta itu sebagian bekerja sebagai petugas kesehatan.