Reality and Dreams

caelio202
Chapter #1

Sang Pencipta

Tak ada ruang, tak ada waktu. Hanya kehampaan murni yang bahkan belum mengenal dirinya sendiri. Dari balik kehampaan itu, muncul satu entitas yang tak bernama—bukan mahkluk hidup, bukan pula wujud yang bisa untuk di pahami. Ia adalah eksistensi murni, lebih awal dari segala ketiadaan. Kekuatan magis mengalir dalam dirinya, bergejolak tanpa batas.


Dia lah yang menciptakan tatanan pertama, lalu melahirkan tak terhitung alam semesta. Masing-masing memiliki hukum, prinsip dan kenyataan mereka sendiri. Ia menciptakan para dewa untuk menjaga alam-alam itu—tanpa pernah mengetahui siapa pencipta mereka, namun benang-benang tak kasat mata menghubungkan semuanya, hanya bisa di liat oleh mereka yang terbangun. Tapi kebangkitannya membawa bencana.


Karena saat satu dari mereka menyadari kebenaran itu, seluruh alam yang mereka jaga akan runtuh. Selama ini dunia yang mereka kenal bukanlah dunia nyata—melainkan mimpi. Dan jika mimpi itu terbangun, maka realitas pun lenyap tak tersisa, segalanya adalah mimpi yang hidup. Realitas yang rapuh terikat pada ketidaktahuan.


Baginya—sang"pencipta"—semua ciptaan hanyalah ilusi dalam mimpinya. Ia bisa menciptakan, mengubah, bahkan menghancurkan sesuka hati, ia berada jauh melampaui realitas, tak bisa dilihat, di sentuh atau di pahami. Ia menciptakan hukum sebab dan akibat, waktu, kehidupan, kematian dan realitas itu sendiri. Dia hadir sebelum itu ada.


Cerita ini di mulai di dunia Volaris, dunia paling dangkal antara ciptaan-ciptaan yang tak terhingga. Dunia ini bahkan tak termasuk dalam struktur utama. Volaris hanyalah pecahan dari mimpi—rapuh dan terus di landa perang.


Peperangan tak berujung di sulut oleh dewa jahat yang mempermainkan pikiran umatnya. Namun, suatu ketika seorang dari ras iblis bangkit melawannya, ia berhasil mengalahkan sang dewa, tetapi ia lenyap bersama sang dewa tersebu. Tak ada yang tahu ke mana ia pergi. Berkat pengorbanannya, dunia menjadi damai.


10.000 tahun telah berlalu...



Hentikan dia! Jangan biarkan dia kabur!" Teriakan menggema di hutan malam yang di guyur hujan. Seorang pria bertubuh besar, bermata satu, memimpin pengejaran.


Seorang wanita muda berlari sekuat tenaga, nafasnya terengah. Rambut putihnya basah oleh hujan, dan matanya penuh ketakutan.


"Aku harus lolos... aku tak boleh tertangkap lagi..." bisiknya lirih, air mata membasahi pipi.


Namun nasib berkata lain. Di ujung jalan, sebuah jurang menganga—dalam dan tak berujung. Langkahnya terhenti, para pengejar sudah mengepung.


"Hahaha! Sudah habis jalanmu!" cibir salah satu pria.


"Jangan! Kumohon... biarkan aku pergi..." ucap sang gadis, mundur pelan dengan gemetar.


"Bodoh! Kami ini bukan anak-anak yang mau mendengarkan rengekanmu!"


Tawa menggema, menusuk malam yang dingin. Salah satu dari mereka mulai mendekat.


"Jangan mendekat! Aku akan melompat kalau kau paksa!" ancam gadis itu dengan suara gemetar.


"Hoho... apa kau cukup berani untuk itu?" ejek pria itu.


Dia bimbang—melompat berarti mati. Tapi tertangkap berarti lebih buruk, tapi...


"... Selamat tinggal, ibu... maafkan aku."


Dan ia melompat.


"Sialan! gadis itu..."


"Bos... bagaimana ini? Tuan Ferdio pasti akan sangat murka pada kita," ucap cemas salah satu anak buahnya.


"Aggh... sial! kalo begitu kita kembali dulu," ucapnya.


Lihat selengkapnya