Realm of The Eternals

astreilla
Chapter #7

Act 6; Orkestra eksklusif untuk orang terpilih

Ritz Maine tidak pernah bermimpi seumur hidupnya.

Seharusnya itu adalah hal normal untuk seluruh makhluk Dunia Bawah. Ketika ia ketiduran setelah mangkir dari pekerjaannya di Biro Keamanan dan mendapatkan mimpi, Ritz pikir dirinya sekarat lalu cepat cepat menghubungi layanan darurat dan semua orang yang ada di kontaknya tanpa pikir panjang.

Pesan Ritz  yang terkirim berbunyi; gawat darurat, sepertinya aku akan mati.

Faktanya, seluruh makhluk dunia bawah yang disebut Amaya pada dasarnya abadi sama halnya dengan penghuni dunia Atas dan seluruh makhluk di Doloretia. Tambahan, Amaya memiliki peraturan ketat untuk tidak menambah dan mengurangi  populasi lebih dari sepuluh setiap tahun sehingga jumlah mereka tidak berubah banyak sejak awal sekali.

Ritz sendiri hampir lupa sudah berapa lama dia hidup. Dunia begitu damai sehingga kau tidak akan bisa tiba tiba terbunuh dan mati. Kecuali kau memilih untuk mengakhiri hidupmu sendiri, kau akan hidup abadi. 

Jadi, bisa terbayang bagaimana kagetnya orang yang menerima pesan Ritz. Untung saja, orang yang terdaftar di kontak Ritz tidak banyak, dan sebagian mengabaikan pesannya. Tetapi sebagian yang lain, contohnya Itzal Maine yang notabene adalah sepupu yang paling akrab dengannya. Ia yang saat itu baru saja keluar dari ruang rapat negara, langsung menjatuhkan barang bawaannya dengan wajah horor. Orang orang yang bersamanya dari ruang rapat segera bertanya khawatir,

“Hey, Itzal! Kau baik baik saja?”

“Apa ada masalah? Wajahmu pucat sekali, loh.”

Itzal menggeleng geleng, “Aku tidak percaya ini,” gumamnya seolah tidak mendengar. Ia segera melesat masuk ke ruang rapat yang baru saja ditinggalkannya untuk menemui seseorang disana, pamannya. Ayah dari Ritz dan juga seseorang dengan jabatan tertinggi di Amaya.

Ia melupakan sopan santun yang biasa ia lakukan dan segera menunjukkan pesan darurat Ritz di layar. “Bagaimana menurut paman?”

Marius Maine, alias si Ayah segera memijat dahinya. “Apa lagi yang anak itu lakukan. Kenapa sifatnya tak berubah bahkan setelah berapa abad…”

Meski ia bilang begitu, namun beberapa saat kemudian mereka berdua melesat ke Gutrehain, alias gedung Biro Keamanan Khusus tempat Ritz bekerja. Dan menemukan orang yang katanya akan mati itu duduk dengan raut wajah kusut dibalik meja kerja yang penuh dengan gunungan pekerjaan--apa lagi? Lelaki itu terlihat normal normal saja bagi Marius maupun Itzal.

“Hei, kalian datang,” kata Ritz dengan senyum. “Orang orang dari layanan darurat tidak menganggap masalahku sebagai darurat dan mengabaikanku. Aku terharu karena ada yang datang, aku jadi mengetahui bahwa ada  yang menyayangiku di dunia ini.”

“Walaupun kelihatannya cuma kami.” Itzal berkacak pinggang. “Menyedihkan sekali kau!”

Lelaki itu mengabaikannya.

Marius segera duduk di kursi tunggal terdekat dari pintu dan menghela napas, “Aku sampai menyeret tubuh tuaku ini kesini hanya untuk dibohongi, ya?”

Ritz menatap ayahnya dengan sumringah, “Ah, sudah lama aku tidak melihat ayah. Kelihatan muda seperti biasa, eh? Sebaliknya lihatlah anakmu ini, sudah seperti orang tua saja. Setiap kali mengerjakan dokumen yang tiada habisnya itu rasanya aku bertambah menua saja.” Ia menggeleng geleng dan mengangkat kedua tangannya dengan lagak dramatis. “Itzal, berikan pendapat jujurmu sebagai lady. Apa aku masih terlihat menawan?”

“Kau buluk seperti biasa.”

“Haah, memang. Aku harus pergi berkeliling dunia agar kemudaan dan ketampananku kembali. Tapi apalah daya? Aku akan mati sekarang.”

“Mati apanya, kau masih akan hidup sampai kiamat entah kapan,” sanggah ayahnya.

Ekspresi eureka melintas di wajah Ritz. “Itu dia, benar sekali. Apa ini yang disebut intuisi seorang ayah?”

Itzal terkesiap ketika pemahaman sampai padanya dari Ritz. “Mana mungkin!”

Ritz berdiri dari kursinya dan berjalan sampai ke bagian depan mejanya, menyingkirkan beberapa tumpuk dokumen, kemudian duduk diatasnya. Ia menatap lantai, “Aku mendapatkan mimpi.”

Kali ini Marius yang kaget. “Mustahil!”

“Makanya sesaat kukira aku akan mati. Namun aku menyusun kembali pikiranku sebelum kalian datang, dan kesimpulanku agak berubah. Aku mati, memang benar. Tapi itu juga termasuk dunia ini dan isinya.” Ritz mengangkat kepalanya. “Aku menyaksikannya seolah memang berada disana. Aku tidak sendirian, ada banyak orang lain yang melihat bersamaku. Itu benar benar kiamat. Aku membeku disana, namun yang lain… sebagian mereka jadi gila ketika melihatnya. Kemudian aku terbangun dan hampir jadi gila juga kalau tidak ada Itzal.”

“Aku?” Ia sedari tadi terkesima oleh penjelasan Ritz dan visualisasi dari apa yang dilihatnya mengalir ke kepalanya sendiri. 

“Hubungan kita yang membuatku sadar. Kau sedang memikirkan sosok tampan yang begitu konyol hingga aku kembali ke indraku sendiri.”

Itzal bergidik ketika menyadari apa yang dibicarakan oleh Ritz. Ia ingin memaksa lelaki itu untuk melupakannya saja andai suasananya tidak seserius ini. 

“Kita para Amaya tidak bermimpi. Namun kau bilang kau tidak menyaksikan itu sendiri? Apa ini sesuatu yang dialami banyak orang?” tanya Marius.

Lihat selengkapnya