Realm of The Eternals

astreilla
Chapter #8

Act 7; Opening Curtains

Meskipun Ramiel telah hidup di fasilitas berbasis laboratorium hampir seumur hidup, melakukan penelitian mulai dari yang paling sederhana hingga yang paling mengerikan, ini pertama kalinya ia merasakan takut. Takut akan suasana mencekam di ruangan, takut kegagalan, takut kematian. 

Apakah hanya ia yang merasakan takut? Mungkin saja tidak, tapi Ramiel tidak tahu hal ini. 

Saudara kembarnya di ruangan lain merasakan hal yang persis sama. Melihat deretan orang orang--relawan Raeden yang terbaring lelap di ranjang lipat, dengan kabel dan selang penunjang yang memonitor kondisi mereka. Tepatnya, kondisi di dalam kepala mereka.

Mellan menyaksikan grafik naik turun yang muncul di masing masing layar dan mencatat setiap beberapa menit. Tangannya terasa dingin meskipun ia berkeliling di ruangan untuk mencatat kondisi tiap orang di papan tablet tipis yang ia bawa. 

Sementara itu, layar besar di ujung ruangan terus berganti menampilkan grafik, perhitungan super cepat serta kondisi keseluruhan. Sistem tersebut juga standby untuk mengawasi apakah salah satu dari relawan tersebut mengalami kondisi yang mereka cari. Gelombang mimpi. 

Jika gelombang tersebut cukup kuat, sistem akan mendeteksinya dan menampilkan gambaran dari mimpi tersebut di layar proyeksi yang terhubung dengan monitor induk. Percobaan alat ini sudah dimulai sejak dini hari kemarin dan belum ada yang menunjukkan gelombang kuat hingga bisa terbaca. Beberapa relawan akhirnya terbangun tanpa hasil apa apa, beberapa gelombangnya terlalu lemah sehingga tak bisa diproyeksikan, dan sebagian besar hanya memiliki mimpi samar yang hanya terbaca di data yang dimasukkan Mellan secara manual selama berkeliling. 

Mellan berharap harap cemas agar ini tidak gagal. Mereka mengerahkan peneliti terbaik di Raeden untuk membangun sistem tersebut dalam waktu singkat dan menempatkan relawan terbanyak untuk percobaan sistemnya. Bahkan Raeden yang bertugas di kontrol cuaca sebagian besar absen untuk menjadi sampel percobaan kali ini. Jika gagal, maka semua yang telah mereka lakukan tak ada gunanya. Kerjaan kali ini memiliki batas waktu yang tak bisa ditunda.

Lelaki itu menggaruk garuk kepala dengan pena magnetiknya, "Muncullah sesuatu, apapun itu." 

Tentu saja, sesuatu tidak serta merta muncul dan ia, saudaranya, juga peneliti lain di ruangan berbeda menghabiskan beberapa waktu dalam kejemuan melakukan tugas yang tidak diketahui kapan selesainya. 

Tepat di dini hari kedua, artinya satu hari pas dari sejak percobaan ini dimulai, alarm peringatan berbunyi nyaring dari monitor induk di ruangan Ramiel. Ia menjatuhkan pegangannya dalam ketergesaan dan segera mengabari kepala peneliti dari ruangan lain untuk menyaksikan hal ini sembari tangannya menarik alat ketik dan memasukkan kode perintah dengan cepat. Menafsirkan hamburan kode angka dan grafis awut awutan menjadi piksel teratur dan bisa dilihat jelas bentuknya. Ketika ia hampir selesai, peneliti lain termasuk Mellan telah berkumpul di belakang layar proyeksi. Menantikan gambaran yang keluar dari sana. 

Tepat setelah Ramiel menekan tombol 'jalankan' alat proyeksi tersebut berdengung dan mulai memancarkan piksel hologram dua dimensi di udara. Prinsipnya mirip dengan gelang komunikasi yang dipakai setiap orang di Doloretia. Decak kagum terdengar dari mulut para peneliti tersebut dan kekaguman tersebut juga terasa dari Ramiel dan Mellan, sebelum akhirnya mereka terkesiap. Kerumunan itu terdiam begitu gambaran di layar tersebut menjadi jelas.

"Apa ini?" Ucap salah seorang peneliti sambil mengaktifkan alat perekam di kacamatanya, "Aku tak tahu diantara relawan ini ada yang mendapatkan mimpi ramalan?"

Beberapa orang menoleh begitu mendengar perkataannya dan berbalik kepada Ramiel, "Mimpi siapa itu?" 

Ramiel mengecek di tabletnya dan menunjuk salah seorang relawan Raeden yang terbaring di ranjang kesembilan dari depan. "Aku juga tidak tahu ternyata orang ini salah satu dari yang mendapatkan mimpi yang pertama.”

"Lebih baik kita perhatikan isinya dengan baik," sambung Mellan, melanjutkan perkataan Ramiel dengan akurat. "Beberapa awasi subjek disana. Mungkin ia akan kesulitan,"

Dua orang dari mereka pergi ke sisi relawan yang bermimpi itu sesuai perintah, namun dengan pandangan masih terpaku erat pada layar proyeksi. 

Mereka adalah para peneliti tertinggi di Raeden yang bekerja langsung kepada kekaisaran Doloretia. Tentang mimpi ramalan yang pertama kali terjadi dan masalah yang disebabkannya telah mereka ketahui jauh hari. Kejadian itulah yang menginspirasi mereka untuk membuat alat visualisasi mimpi. Hal itu diperkirakan akan berguna untuk banyak hal, terutama jika mimpi itu datang lagi. Banyak orang jadi bisa mengamati penglihatan yang awalnya hanya diketahui oleh sang pemimpi tersebut. Dengan banyak orang mengetahui gambaran itu, sama sama mereka bisa mencari cara mengatasinya.

Atau, begitulah rencana awalnya. 

Akan tetapi gambaran kehancuran yang mereka saksikan terlalu jelas dan berskala sangat besar hingga bulu kuduk setiap makhluk yang melihatnya akan bergetar. Bahkan bisa jadi lebih dari itu, ketika satu peneliti ambruk ke lantai dengan nafas terengah engah. Yang lain bahkan tak bisa berpaling untuk mempedulikannya. Dua peneliti yang ditugaskan menjaga si relawan--yang saat ini menyentak nyentak keras hanya bisa menahan agar kabel yang diperlukan tetap tersambung sedangkan penglihatan mereka terkunci pada lanskap kehancuran di layar.

Mellan merasakan ketakutan yang sangat besar dan hampir terasa tak wajar baik dari dirinya sendiri, dan dari Ramiel. Mereka tak bisa saling menghibur seperti seharusnya, justru saling menambah ketakutan hingga keringat dingin membasahi tubuh mereka. 

Semua pemandangan tersebut direkam secara otomatis tidak hanya oleh satu kamera, tapi dari sekitar sepuluh kamera yang tersebar di ruangan, belum ditambah yang direkam oleh si peneliti berkacamata. Para peneliti itu bisa mengulas isi mimpi tersebut nanti, namun pikiran yang terlintas di kepala mereka semua saat ini seragam. Aku tak mau melihat hal mengerikan ini lagi. 

Mimpi itu beralih ke puncaknya, seolah kamera--atau mata dari si relawan yang memimpikan ini menyapu seluruh pemandangan yang hancur dari ujung ke ujung, dan mereka terpana. Sosok Karna yang mudah dikenali terlihat di antara kerumunan, dan bukan hanya itu. Ritz yang sudah seratus tahun terakhir tak pernah terlihat di Doloretia ada disana. Kemudian andaikan rekaman ini di putar ulang nanti, barulah mereka akan sadar bahwa disitu juga terdapat orang orang yang dinyatakan menghilang di penjuru Kekaisaran.

Untuk saat ini, tidak ada yang membuat mereka lebih terkejut daripada sosok yang melayang dengan megah di pusat kehancuran, tepat di depan silau matahari. Secara logika, jika sesuatu berdiri membelakangi cahaya maka sesuatu itu hanya menjadi siluet hitam. Namun sosok ini bersinar dengan sendirinya menyaingi matahari, membuat mereka menerka kenapa tepatnya sosok yang tersenyum puas disana itu familiar. Tangannya mengayun, melambai, dan menyentak. Dengan setiap gerakannya menimbulkan kerusakan yang lebih buruk dari sebelumnya. 

Pemandangan ini mengingatkan Ramiel tentang cerita rakyat pertama. Kisah penciptaan. Ketika Kehidupan dan Kematian pertama kali datang ke dunia ini, kehancuran seperti inilah yang sedang terjadi. Kemudian dengan otoritas Kehidupan yang tak tertandingi, ia memadamkan setiap elemen kehancuran dan memberi mereka nyawa dan nama. 

Ia hanya pernah membaca dan mendengar hal itu dikisahkan, tapi secara intuitif ia merasa bahwa kekacauan yang disaksikan tepat didepan matanya ini adalah gambaran tepat dari narasi kehancuran di Kisah penciptaan tersebut. Rasa takutnya serta merta bertambah. 

Mellan menangkap pikiran saudaranya dan setuju. Ia bahkan berbisik pada dirinya sendiri, “Dulu, Kehidupan yang menghentikan semuanya. Sekarang ia sudah tak ada, siapa yang akan melakukan hal itu sebagai gantinya?”

“Uhuk, uhuk!”

Suara batuk yang keras itu membuat semua peneliti itu sadar. Layarnya sudah padam dan yang baru saja terbatuk adalah relawan yang mengalami mimpi tadi. Darah keunguan mengalir dari mulutnya, menghanguskan kain tempat ia menetes. Matanya terbuka. Pemuda itu telah sadar dan sorot matanya memohon bantuan. 

Dua peneliti yang berada di sebelahnya segera menangani, mengecek apa yang salah dan yang satu lagi mengusap darah dari mulutnya dengan kain lain--yang secara cepat gosong dengan bau korslet. 

“Kau bodoh ya!” bentak yang satu. “Gunakan sigma penyembuhan!”

Yang baru dikatai bodoh mengusap keringat dari dahinya dan menggeram kesal, “Aku peneliti, bukan penyembuh!” Walau begitu ia menekan dada si relawan yang berdentum dentum dan membenarkan apa yang salah disana. 

Lihat selengkapnya