Hembusan angin dingin menyapu kulit wajah Fran yang terbuka. Ia mendesis kesal namun tidak menghentikan gerakannya meski kondisi semakin tak mendukung.
Kedua tangannya menggenggam cangkul dan bergerak menghantam tanah berturut turut pada tempat yang sama. Ia memakai mantel tebal di luar kemeja yang biasa. Mantel itu menyelimuti tidak hanya tubuhnya namun juga apapun yang ia bawa. Rambutnya digulung ke dalam topi pork pie yang diberikan oleh ayahnya pada Fran tepat sebelum diasingkan. Ia sendiri tak mengira akan memakainya setelah sekian lama, namun ukuran topi itu pas sekali untuk menyembunyikan tanduk dan warna rambutnya yang mencolok. Fran tak punya banyak pilihan.
Sangat aneh bagi Fran untuk bersembunyi di rumah sendiri, hingga mengenakan semua busana merepotkan tersebut. Ini semua ogah ia lakukan andai sisi lain tak bersikeras. ‘Selalu ada yang mengamati’ katanya, seperti orang paranoid.
Seharian Fran gunakan untuk berbicara dan meluruskan ini itu dengan sisi lain dirinya. Dia diberitahu bahwa ‘sisi lain’ dan Fran’ bukanlah namanya, melainkan Anzel. Nama itu diberikan oleh Kematian sejak zaman dahulu dan ia bersikeras minta dipanggil begitu. Anzel mengaku telah ada bersama Fran sejak ia lahir atas perintah Kematian untuk melindunginya. Ketika Fran bertanya melindungi dari apa dan bagaimana Kematian yang sedang tidur bisa bicara padanya, Anzel tidak punya jawaban.
Pikiran Fran saat ini dipenuhi ancaman yang datang dari segala arah berkat ramalan sialan dan sebuah bukti nyata bahwa dia tak bisa melakukan apa apa. Semoga saja di momen mendesak nanti kegunaan Anzel akan menjadi jelas.
Terhanyut dalam pikiran, Fran baru sadar bahwa Anzel mengacau.
“Kau tidak bisa mencangkul sama sekali ternyata, berikan padaku!” gerutunya lalu mengambil cangkul tersebut dari kendali Anzel. Yah, secara teknis benda tersebut tidak berpindah kemanapun.
Fran mulai mencangkul dengan kekuatan dan ketepatan yang tidak diduga. Bagaimanapun, ia sudah terbiasa bercocok tanam di waktu luang dan mencangkul hanya sebagian kecil dari kemampuan sepele lain yang dimilikinya.
Jika ada yang melihat Fran sekarang, kemungkinan orang tersebut pingsan di tempat atau terbirit ketakutan cukup besar. Ia sudah lama berhenti bertanya karena kesal tak dijawab. Anzel masih menolak memberitahu apa yang sedang dicarinya dan mengapa ia sangat takut ditemukan orang lain. Tentu saja protes Fran tidak didengar, bahwa mencangkul dengan pakaian semacam ini dimalam hari tidak masuk akal sama sekali.
Hembusan angin dingin semakin menjadi jadi dan Fran merapatkan mantel. Wajahnya beku.
“Padahal musim dingin masih lama, kenapa begini,” gerutu Anzel.
Fran malas menanggapi.
“Mana mungkin kan ini berhubungan dengan kiamat?”
“Aku tidak tahu. Yang penting, apa sesuatu yang kau cari itu benar ada? Harus seberapa dalam lagi aku menggali?”
Fran sekaligus Anzel memandang lubang yang sudah digali sedalam lutut itu lalu menggeleng. “Tidak, aku belum merasakannya. Lebih dalam lagi.”
“Haah, aku tidak percaya sedang melakukan sesuatu segila ini ditengah malam.”
“Jangan melebih lebihkan, sekarang bahkan belum tengah malam—”
Tiba tiba rasa menggigil menjalari lehernya bagai gelombang listrik. Cangkul yang ia genggam terlepas lalu jatuh berdebam di tanah. Kakinya kehilangan kekuatan dan ambruk. Fran merasakan sesuatu yang hangat berhembus menjalari tengkuk dan membuat sekujur tubuhnya gemetar, terlalu takut untuk menoleh kebelakang.
Tangannya meraih kedalam mantel dengan gerakan seminimal mungkin, menyentuh gagang dingin dari belati yang tersimpan disana. Mengira ngira apakah ia bisa mengenai sesuatu yang ada di belakang dalam sekali ayunan, kemudian menarik gagangnya perlahan dan hendak menebas ketika sesuatu yang lembut menahan bahunya.
Fran membelalak dan dengan refleks diluar kendali ia beringsut mundur secepat kilat. Belati kebiruan tersebut berpendar pucat selagi dihunuskannya kedepan sebagai penghalang agar makhluk itu tak mendekat.
Berkat cahaya belati, lampu kebun, dan rumah di kejauhan ditambah posisi mereka yang berhadapan membuat Fran bisa melihat jelas apa yang menyerangnya, seekor kucing warna putih hitam berukuran besar dengan tas selempang tergantung di leher.
Pemandangan tak masuk akal tersebut membuat Fran lengah hingga cengkraman belati di tangannya mengendur. Kucing jenis apa yang sebesar itu? Tas apa yang dibawanya? Kenapa bisa ada disini? Bukankah seharusnya tempat ini aman?