Seorang gadis berambut hijau gelap dengan setelan jas hitam dan mantel putih berbulu berdiri di pinggir jalan. Iris mata hijau cerahnya mengamati bangunan berpilar putih setinggi lima lantai dengan lambang buku dan pena terukir di pintu gandanya. Wajahnya yang rupawan merengut karena sebab yang hanya ia ketahui.
Sepasang penjaga yang berdiri di sisi kanan dan kiri pintu saling memandang, berkomunikasi dengan mata mereka, lalu beralih gadis yang berdiri di seberang jalan. Jika gadis itu pengunjung, ia tinggal masuk, tak ada alasan untuk mengamati lama lama. Pandangannya membuat kedua penjaga itu tidak nyaman dan ingin mengusirnya. Sayangnya, mereka tak punya cukup alasan karena melihat bangunan dari jauh bukanlah suatu pelanggaran.
Tapi tetap saja tidak nyaman!
Sebelum mereka bertindak lebih jauh, gadis berambut hijau itu menyebrang jalan, menaiki tangga satu persatu, dan sampai di depan pintu.
“Delapan malam saat ini pukul, masih buka tempat ini, aku apa benar, yes?”
Kedua penjaga itu bertukar pandang, pikiran mereka serupa, 'Bahasa macam apa!’
Gadis yang cantik itu memiliki tata bahasa berantakan, siapalah yang berbicara dengan begitu buruk di Andestic, atau bahkan seluruh Doloretia? Seakan gadis ini dibesarkan di hutan kemudian dipaksa belajar bahasa lalu terbukti tak berbakat. Benar benar melegakan kalimatnya masih bisa dimengerti.
Penjaga yang di kiri mengangguk, “Ya, tempat ini masih buka. Perpustakaan Hepburn buka selama dua puluh empat jam setiap hari,”
Si gadis mengangguk, “Bagus, bagus.”
“Belajar tak bisa dibatasi, bukan? Itu motto negara Andestic kami. Kata katanya tidak tepat begitu, tapi intinya benar,” tambah penjaga yang di kanan.
“Oke, terima kasih,” jawab si gadis, kemudian masuk ke dalam.
‘Untunglah ia bisa mengatakan terima kasih dengan baik!’ pikir kedua penjaga tersebut penuh syukur sambil menatap punggung gadis itu berlalu.
Interior dalam perpustakaan terisi rak buku yang membentang luas seperti tanpa batas. Satu satunya dekorasi adalah lampu kandelar antik berbentuk spiral yang memanjang dari langit langit sampai lantai dua. Cahaya yang dikeluarkannya cukup terang untuk siapapun membaca dengan nyaman.
Namun gadis itu tampak tidak terlalu senang. Setelah berkeliling sampai lantai lima, tak ada tanda tanda ia menemukan apa yang dicarinya. Ia berhenti di sebuah meja belajar kemudian melempar mantelnya kasar. “Hei, petunjukmu salah. Tak ada Hepburn Hatz disini mau kucari berulang kali!”
---
Tunggu, ketakutan? Kenapa?
Karena akan mati diluar keinginan? Karena tak bisa melakukan apa apa? Karena tak tahu apa apa? Karena tak bisa percaya dirinya sendiri? Karena ia tak bisa percaya Anzel yang seperti memiliki agenda tersembunyi dibelakangnya? Atau karena sepasang mata hitam itu?
Ia merasakan Anzel bereaksi tepat waktu, menarik pandangannya ke arah lain. Barulah Fran bisa bernapas tenang. Gadis itu, Itzal namanya? Apa yang ia lakukan padaku?
Fran memandangnya lagi, Itzal menunjukkan pandangan bertanya.
‘Apa itu ilusi?’