Siapa yang patut disalahkan atas situasi ini? Tidak, apakah situasinya memang salah? Bagaimana kalau tak ada yang salah? Mungkin Fran hanya terlalu sensitif, karena melihat wajah Sui Manato mengernyit sedemikian rupa selagi mengiris seporsi daging di piringnya. Mata sekretaris itu melirik Ritz tajam sambil sesekali menoleh pada Fran, mencurigai hubungan diantara keduanya.
Hal lainnya yang harus dikhawatirkan adalah kebencian Anzel yang menggebu-gebu. Andai kepala bisa mendidih hanya karena sepercik perasaan saja, kepala Fran sudah siap santap sejak tadi. Terima kasih, Anzel.
Seluruh perasaan mengganggu itu bersatu dan terakumulasi di suatu tempat di dalam tubuh Fran, hingga semua makanan yang ia sendok masuk kedalam mulutnya tak berasa apapun. Malah, ia buru-buru ingin memuntahkan semuanya begitu tampak olehnya sosok Itzal di balik konter dapur. Mengenakan pakaian juru masak dan kepala ditutupi bandana, ia mengaduk sesuatu didalam panci besar sambil sesekali mencuri pandang kesini.
Kenapa dia disana? Menyamar? Untuk apa?
Ia menahan diri agar tidak bersikap aneh sampai semua makanannya habis, lalu mengelap mulutnya dengan serbet. Menunggu apa yang terjadi selanjutnya. Karena beberapa alasan yang sudah jelas, Fran merasa ini bukan waktu yang tepat untuk bicara.
“Utusan dunia bawah sudah disediakan ruang makan sendiri. Jadi, bagaimana bisa kau ada disini?” tanya Sui Manato, nada bicaranya tak akrab.
Ritz mengulum senyum tipis saat menjawab, “Aku suka makan di tempat yang tak biasa,”
“Kurasa, istana ini tak kekurangan tempat tak biasa dimanapun. Tapi kau memilih kesini, apa tujuanmu? Bagaimana kalian bisa saling mengenal?” Sui Manato mengarahkan pertanyaan terakhir itu pada Fran.
“Aku tidak tahu siapa dia,” tegas Fran tanpa ragu.
“Siapa yang tak pernah dengar inkarnasi kematian? Begitu tahu kalian ada disini, aku datang untuk bicara dengan Franzell” Ritz terbatuk kecil. “Ehm. Barangkali kau lupa, ini adalah tujuan awal kedatangan kami ke Aileth. Bisakah aku mengharapkanmu agar tak menyinggung pertemuan kecil ini pada yang lain?”
“Kau dan sigma menyebalkanmu itu.” Sui Manato berdecak kesal. “Franzell tak punya waktu banyak, meski aku izinkan.”
Senyum Ritz merekah lebar, “Aku tahu, sebanyak ini sudah cukup.”
Tepat setelahnya, Itzal melepas apron masaknya dan berjalan keluar dari konter dapur membawa tiga gelas minuman yang berbeda. Sui Manato diam saja selagi perempuan itu meletakkan gelas di atas meja. Ia diberikan kopi, bir untuk Ritz, dan susu untuk Fran.
Diatas permukaan, tidak ada yang mengeluhkan pembagian ini. Namun Fran merasa Itzal sedang tertawa sambil melenggang pergi. Ia mengekori punggung juru masak palsu itu sampai kembali ke konter dapur dan sibuk mengurusi panci-pancinya lagi.
“Walaupun aku penasaran bagaimana cara kalian menyingkirkan orang yang bertugas disini, aku akan menahan diri, Anggap saja aku salah satu kursi kayu selagi kalian bicara.”
Ritz mengiyakan tanpa suara, dan beralih pada Fran.
“Aku tahu semuanya tak sesuai rencana, tapi jangan khawatir. Bertemu disini sudah cukup,”
Fran mengerti makna ganda dari perkataanya dan mengangguk, “Senang bertemu denganmu, aku menerima surat mengenai kedatangan kalian melalui Einzel beberapa hari lalu.”
Ritz senang karena Fran menangkap maksudnya.
“Bagus, paling tidak pesannya sampai. Kudengar kau suka berkebun dan koleksi tanamanmu luar biasa. Bagaimana kondisinya setelah badai baru-baru ini?”
Jika yang dia maksud apakah Anzel sudah memperoleh hal yang diinginkannya, maka; “Semuanya terkendali. Aku tak punya waktu untuk mengembalikan mereka ke kondisi terbaik, namun tidak masalah.”
“Aku lega mendengarnya,” tanggap Ritz, senyum tulus yang baru pertama kali Fran lihat tersungging di wajahnya. Senyum itu membuat Fran tak bisa berkata-kata lebih lanjut. Mendadak muncul keinginan untuk menceritakan seluruh kecemasan dan kekhawatirannya pada orang itu. Sedikit pelepasan agar ia yakin semua bisikan Anzel tidak mempengaruhi dirinya sedikitpun.
Seakan tahu kebimbangan Fran, Ritz menepuk bahunya. “Aku akan mencari tahu tanaman bagus untuk ditambah ke koleksimu. Semoga kita bisa bertemu lagi dalam keadaan yang lebih baik kedepannya.”
Fran mendongak menatap sepasang iris hitam milik seseorang yang baru ia kenal itu dan merasa lebih baik. Ia sungguh berharap mereka punya kesempatan untuk membicarakan banyak hal tanpa halangan, karena masih banyak yang ingin ditanyakan. Walau tampaknya kesempatan yang diinginkannya mustahil muncul dalam waktu dekat.