Andestic, Negara Pusat Pendidikan, Domain Magma
Pilar-pilar bata coklat yang menjulang di kota hari ini bertabur salju tipis. Seperti kue coklat yang ditaburi gula-gula halus. Benar, barisan bangunan itu tampak lezat bagi Runako yang bersandar malas di sebuah kursi perpustakaan Hepburn. Letak kursi itu sudah berubah dari asalnya atas alasan kenyamanan.
Saat ini, ia berhadap-hadapan dengan jendela berbingkai busur yang membentang dari lantai dasar sampai tingkat ketiga, tempat Runako berada. Untung baginya, lantai tiga tidak terlalu ramai dan tak ada yang mempermasalahkan ia duduk bermalas-malas tanpa membaca buku. Baru satu hari berlalu sejak ia pertama kali menemukan jejak Hatz Hepburn disini, namun yang dicari belum kunjung ditemukan. Seolah-olah ada kekuatan tak kasat mata yang membuat Runako tak bisa mencarinya lebih jauh. Tentu, itu bukan hal baru. Di dunia manapun selalu begini.
Akan tetapi yang membuat situasinya berbeda hari ini adalah si Hantu yang diam saja. Ia tak mengomentari atau memberi petunjuk seperti biasanya—terkadang memang ada kejadian semacam itu—tapi sekarang sangat tidak pas.
Pertama-tama, kedatangan Runako ke dunia ini mirip musibah. Ya, bahkan ada beberapa saksi mata yang susah-susah ia diamkan karena mereka tidak kunjung lupa akan dirinya, padahal biasanya tidak perlu repot-repot. Kedua, Masalah dengan si Hantu, dan Runako tak bisa mengakses jalur informasi tempat ia biasa bergantung. Karena tanpa koneksi, mana mungkin bisa? Ketiga, ia tidak punya uang, pengetahuan bahasa, tulisan atau pakaian yang diperlukan untuk berbaur normal. Masalah ketiga ini mustahil terjadi apabila masalah kedua tidak ada.
Satu-satunya nasib baik yang ia dapatkan adalah pertemuannya dengan anak lelaki berambut hijau nan ramah. Menurut pengetahuan Runako (yang terbatas) mungkin asalnya dari Anvindr jauh di timur laut sana. Ia adalah anak baik bernama Zet yang menolak mengatakan nama belakangnya karena memalukan. Ia cukup sabar membantu Runako yang bahasanya kacau dan berusaha memahami setiap perkataannya.
Jujur Runako masih tidak mengerti sebagian besar hal yang dibicarakan anak itu, tapi ia terus mengangguk seolah paham karena takut kehilangan penolong. Berkat dia, Runako memperoleh beberapa informasi penting.
“Ini adalah Andestic, tepat di ibukotanya juga! Aku heran bagaimana kau bisa tersesat separah ini saat kau bahkan tak bisa baca tulis dan berbahasa yang benar, tapi syukurlah kau sampai di kota pengetahuan! Lokasi paling baik untuk tersesat, kataku.” Zet memberitahunya. Kutipan percakapan barusan sudah diartikan sebisa Runako, meski sebenarnya Zet bicara lebih banyak lagi dengan wajah tak senang tentang Anvindr dan sebuah nama yang terdengar seperti Linter–atau-apalah, namun Runako cukup pengertian dan tak bertanya lebih rinci.
Ia terbata-bata bertanya tentang orang yang ia cari—Hepburn Hatz, dan Zet menjawab lebih semangat, “Yah, tentu saja kau akan mencarinya! Semua orang ingin bertemu dengannya, bahkan pertemuanku dengan dia bisa dihitung jari, dan dari semua itu hanya lima kali yang bisa dibilang memuaskan. Uh, maksudku memuaskan dalam arti kami bisa bicara banyak! Karena sisanya kami hanya berpapasan atau bertemu dalam kelas, begitulah.”
Runako tidak tahu apakah ia butuh informasi tersebut dan memilih untuk terus mendengarkan dengan sabar.
“Dimana tempat tinggalnya? Wah, aku penasaran kau akan melakukan apa kalau kau tahu—aku bercanda. Hepburn Hatz adalah orang penting dan sosok luar biasa bukan hanya di Andestic, tapi juga di Doloretia, aku yakin kau juga tahu. Tentang dimana ia berada saat tidak muncul secara publik, aku pun tak punya dugaan.”
Saat ini Runako khawatir tak bisa menunggu. Zet adalah anak yang baik, tapi bicaranya terlalu banyak bagi Runako yang setengah mati sibuk mengartikan setiap katanya. Bayangkan, dia susah payah memutar otak menerjemahkan satu kalimat, ternyata artinya sama sekali tidak berhubungan.
“Tapi sebagian besar dari murid akademi termasuk aku, percaya dia menghabiskan banyak waktu di perpustakaan Hepburn. Masih banyak kemungkinan lain, dan ini yang paling benar. Apalagi, beberapa hari lalu ada yang melihat Hatz masuk kesana bersama satu murid-asistennya dan belum keluar lagi.”
“Siapa yang ke perpustakaan dan tidak keluar selama berhari-hari?” tanya Runako susah payah, dengan tata bahasa kacau yang sebaiknya tak digambarkan.
Zet paham intinya, “Siapapun bisa ‘kan? Bukannya begitu yang paling bagus? Minimal satu malam, dan tak ada batas maksimal selama kau bisa menjaga ketertiban dan kebersihan.”
Di bagian ini, Runako menyalahkan kemampuan penerjemahnya yang tak mumpuni. Habis, siapa yang percaya omongan konyol itu. Kalau perpustakaan bisa dimanfaatkan seperti itu, apa gunanya rumah? Penginapan? Tentu Runako tidak mengungkapkan pemikirannya keras-keras.
“Memang sulit dipercaya untuk Anvindr seperti kita. Ada pepatah ‘warna hijau tak bisa berubah coklat kecuali dibakar’ maksudnya menyindir kalau orang berambut hijau seperti kita tak punya kemampuan fokus yang cukup untuk menjadi pintar, alias matang. Tentu bukannya tak ada Anvindr yang pintar, mereka hanya punya caranya sendiri, dan ini caraku. Dibakar.”