Fran menuju satu-satunya kursi yang disediakan untuknya di sebelah kanan. Mau tak mau ia menyadari apa yang ada di atas meja selain hidangan sederhana dan teh. Itu adalah benda yang tampak seperti pena, Fran tidak pernah menggunakannya, namun ia tahu bahwa itu adalah pemancar hologram. Memiliki fungsi serupa gelang komunikasi, satu-satunya perbedaan ada pada ukuran kapasitasnya. Pena-hologram atau holo-pen lebih banyak digunakan untuk pekerjaan yang lebih berat.
Singkatnya, benda yang sangat wajar dimiliki kaisar. Meski begitu Fran masih merasa keberadaan benda itu terkait dengan arah pembicaraan yang akan mereka lakukan.
Yang tentu saja sangat berkaitan. Ia tak punya ide kasar apapun mengenai pertemuan ini sampai Kaisar Gillian memutar sebuah rekaman. Serangkaian kejadian yang mengarah pada satu kata; kehancuran. Seluruh video itu terkadang tampak buram, terkadang tajam dan jelas. Sudut pengambilan gambarnya juga tidak stabil, seolah semua yang tampak ini hanya diambil dari penglihatan satu orang yang terus bergerak.
Fran pernah membaca kisah permulaan. Katanya setelah Aileth sang Kehidupan dan Requiem sang Kematian sampai di dunia yang kacau, mereka melakukan undian untuk menentukan siapa yang membangun dunia tersebut. Aileth yang menang memulai penciptaan selama satu siklus purnama. Ia menata dunia yang tak berbentuk menjadi sebagaimana mestinya. Dalam cerita itu digambarkan bagaimana Aileth meniupkan kesadaran pada api, air, bumi, dan angin yang mengamuk. Kemudian dari mereka Aileth memberi wujud kepada tanah liat, es, magma, dan petir. Akhirnya ia menanam kekuatan kehidupan ke satu daratan yang sekarang menjadi Ibukota Aileth seperti namanya, untuk mengontrol seluruh benua.
Akan tetapi dalam rekaman yang ia lihat, seluruh peradaban dan ciptaan itu runtuh satu persatu seperti bercandaan. Segala yang hancur tampak seperti mainan. Sosok-sosok yang mati tak berperasaan. Lalu untuk alasan yang tidak ia ketahui, sejumlah orang dikumpulkan di daratan yang belum sepenuhnya hancur. Diantara mereka ia mengenali Ritz, dan sosok berambut biru tanpa identitas yang sempat disinggung Sui Manato.
Semua orang itu mendongak ke langit, dimana ada satu sosok bercahaya disana. Sosok itu berjalan-jalan di udara seolah itu adalah permukaan padat. Kedua tangannya mengayun dan mengentak tanpa ketentuan tertentu. Tetapi mengikuti setiap ayunan, ada sebaris daratan yang musnah. Setiap sentakan ada gemuruh kuat yang meledak tak menyisakan apapun kecuali lubang hitam mengerikan.
Namun gestur, wajah, rambut, dan ekspresi itu terlihat akrab. Dengan sekelebat tusukan di dada, Fran sadar sosok itu dia. Atau paling tidak, dia yang sudah lebih dewasa dan telah melihat dunia lebih banyak daripada Fran yang sekarang. Dirinya yang sudah gila.
Entah bagaimana matanya terasa perih selagi terpancang pada layar hologram tersebut. Tangannya yang bertautan berubah kaku dan dingin. Jantungnya berdebar kencang sampai rasanya akan berhenti mendadak. Udara menusuk kulitnya bagai ribuan jarum murka, dan ia tak kuasa mengangkat wajah untuk menatap Kaisar Gillian bahkan setelah rekaman tersebut selesai.
***
Anzel menerobos semua ‘tembok pembatas’ yang dibangun Fran dalam kemarahan. Kendali tubuh jatuh ke tangannya sementara Fran terlempar ke sudut. Yang mengherankan, Anzel bergeming. Meski begitu, ia terus mencegah kendalinya direbut kembali oleh Fran.
Rekaman yang baru saja selesai diputar itu adalah alasan ia memaksa keluar. Fran tampak bisa runtuh kapan saja jika ia tak mencegah.
“Apa yang kau pikirkan?” tanya kaisar Gillian setelah menyaksikan Franzell terdiam cukup lama.
Anzel—tidak seperti Fran, dengan berani menatap kaisar tepat di matanya. Giginya bergemeretak karena murka yang ditahan-tahan. Belakangan ia selalu marah dan menyusahkan Fran. Maka kali ini diredamnya seluruh perasaan itu dalam-dalam lalu berpaling. Memotong kontak mata yang kalau dilanjutkan, akan menarik banyak masalah.
Tentu, ia masih belum bisa membiarkan Fran kembali.
“Apa tujuanmu menunjukkan ini? Aku merasa kau sedang memancing reaksi tertentu,” tanyanya.
Kaisar Gillian tersenyum hingga matanya memicing membentuk sabit merah gelap.
“Aku justru tertarik dengan perubahanmu yang mendadak. Kemana seluruh tata krama yang kau tunjukkan sebelumnya? Kau benar, aku memang mengharapkan reaksi yang berbeda—dan aku sudah melihatnya.”
Giliran Anzel yang mengernyit, menyadari kebenaran perkataan tersebut. Namun mau bagaimana lagi? Berpura-pura menjadi Fran bukan sesuatu yang ingin ia lakukan. Anzel adalah orang berbeda, dan dalam posisinya, ia tak merasa perlu menggunakan tata krama seolah lebih rendah. Jika di ruangan ini ada satu orang yang harus berlutut di hadapan Anzel, itu adalah kaisar sendiri.
“Antara kita saja, biarkan aku bersikap semauku eh? Kau sendiri sudah kehilangan hormatku sejak menunjukkan ini pada Fran.” Dengan kasar, digesernya pena pemancar hologram itu ke hadapan Kaisar Gillian.
Kalau Kaisar merasa tersinggung oleh perlakuan Fran—Anzel barusan, ia tidak menampakkan itu di ekspresinya. Ia justru meraih pena tersebut dan memutar-mutarnya di antara jemari tangan. “Bisa kuanggap kau mengaku bahwa yang berbicara denganku ini bukan Franzell?”
Anzel mendengus, “Toh kau sudah menebaknya. Aku tidak rugi, dan manfaatnya untukmu juga tak ada meski fakta ini tersebar.” Ia bersandar ke kursi, kedua sudut bibirnya terangkat keatas membentuk senyum. “Kalau keberadaanku diketahui, justru Fran yang akan untung.”
Kaisar Gillian terdiam beberapa saat seolah memikirkan pernyataannya, “Kau benar. Yang paling baik adalah membiarkan hal-hal tetap di tempatnya sekarang. Keadaan sudah cukup sesak, kita tidak ingin semuanya jadi lebih parah.”
“Siapa peduli dengan kondisi dunia. Aku hanya ingin jawabanmu, kenapa kau tunjukkan itu padanya. Ia tak akan bisa diam saja sekarang!”
“Jadi Franzell adalah jenis orang yang tak bisa diam saja saat mengetahui dirinya bisa jadi berbahaya?” Kaisar menyimpulkan dengan puas.
“Dia adalah orang yang tak boleh kau ganggu,” desis Anzel.
“Tahu apa yang kupikirkan? Aku bertanya-tanya kenapa kau baru turun tangan saat ini dan bukannya dari awal. Ini bukan pertama kalinya Franzell ‘diusik’, jadi aku ingin tahu kenapa baru sekarang kau melawan?”