Ketika Fran tahu bahwa ia akan pergi dan tak akan kembali dalam waktu dekat, ia tak mengira seluruh rangkaian kejadiannya berjalan secepat ini. Semua barang pribadi yang ia butuhkan sudah siap berkat bantuan Sui Manato. Sedangkan keperluan lain—yang Fran tidak tahu secara rinci telah dikemas rapi dalam koper sederhana di bagasi kendaraan.
Koper itu menyambutnya bagai panggilan menuju petualangan, atau jika dilihat dari sisi lain; semacam pengusiran halus. Bukti bahwa hidup Fran setelah ini akan berpusat di sekitar dirinya sendiri, sebuah kunci perak yang berfungsi untuk penyimpanan dimensi lain, dan sebuah koper kulit yang isinya masih misteri.
Sui Manato yang mengantar Fran sampai ke gerbang terasa seperti sosok yang berbeda. Ia tidak bercanda, mengatakan ini itu, atau bahkan memberi komentar di luar lingkup kerjanya. Fran hampir-hampir kecewa karena perpisahan mereka akan berakhir dingin. Namun tepat sebelum kendaraan yang dinaikinya melaju, Sui Manato tersenyum hangat sambil menautkan kedua tangannya pada Fran. Tak ada kata-kata yang terucap, meski begitu entah bagaimana ia merasa lega.
Fran tidak menoleh kebelakang, dan Sui Manato juga tidak menunggu kendaraan tersebut hilang dari pandangan sebelum berbalik ke arah istana.
***
Aku tidak menyesal sudah melakukan itu, Fran.
Fran memandang ke depan, tempat sebuah kaca penghalang terpasang antara tempat duduknya dan si pengendara. Menimbang-nimbang apakah kaca tersebut kedap suara atau tidak, lalu memutuskan untuk tidak peduli.
“Melakukan apa? Yang mana?”
Ketidaksukaan Anzel atas jawabannya terasa begitu jelas sampai-sampai Fran heran bagaimana bisa selama ini ia tak sadar kehadirannya.
Yang kumaksud adalah kejadian barusan, menurutku aku menanganinya lebih baik daripada kau.
“Aku akui kau benar soal tadi, tapi apa kau tidak ada penyesalan mengenai yang lain-lain?”
Bertindak sembrono bukan gayaku, konyol—bisa jadi, tapi tidak pernah asal-asalan.
“Jadi?”
Aku tidak menyesal menyerang lelaki berambut tak rata itu, ataupun yang lain-lain jauh sebelum kau sadar.
“Yah, kau masih tetap kau, kurasa.” Fran mengalihkan pembicaraan. “Tapi hei, tak kuduga kau sungguh-sungguh setua itu! Bahkan pernah melihat sang kematian yang masih bangun! Kalau kau tanya pendapatku, kelakuanmu tidak mencerminkan umur ribuan tahun.”
Aku selalu memperoleh reset setiap seribu tahun sehingga kepribadian asliku tetap terjaga.
“Benarkah? Aku baru pertama kali dengar hal seperti itu,”
Jelas belum pernah, karena aku baru saja mengarangnya.
Fran membuang muka.
Aku hanya ingat semua yang seharusnya kuingat dan menyingkirkan yang tidak perlu. Lagipula aku lebih sering tidur, waktu terasa lebih mudah dihadapi ketika kau tidur.
“Apakah kau bermimpi?”
Anzel tidak menjawab segera, dan Fran membiarkan percakapannya tergantung disana. Ia menutup matanya seolah tertidur, menunggu.
Detik berlalu menjadi menit, kemudian setengah jam. Tentunya Anzel tak akan tertipu dengan perilaku pura-pura tidur Fran, makanya ia memilih menjawab saat itu.
Mungkin makhluk seperti aku tak bermimpi. Aku hanya menumpang di mimpi yang kuinginkan dan tinggal disana.
Jawaban itu terdengar seperti ocehan orang mabuk, akan tetapi Fran mendapati dirinya berusaha membayangkan maksud ujarannya. Mimpi siapa yang ia tumpangi? Apakah tinggal di sana sangat menyenangkan hingga lebih suka terus tertidur? Apakah sang kematian juga sedang bermimpi saat ini?
“Bagaimana rasanya? Apa kau bahagia?”
Jawabannya tak kunjung datang hingga ia jatuh tertidur. Yang menyambutnya saat terbangun adalah ketukan lembut dari sisi pengendara.
“Turun sebentar,” katanya. Entah mengapa suara tersebut terdengar familiar tapi Fran lupa dimana pernah mendengarnya.