I. Thirteen years after
Waktu itu pertama kalinya Ailstair menyadari keberadaan Requiem, bahkan sebelum dia benar-benar menampakkan diri. Ailstair baru kembali memasuki ruang duka setelah mengantar istrinya yang jatuh pingsan. Ada hawa kematian yang keruh di udara, namun semuanya terasa wajar sampai sebelum ia muncul.
Di ruangan lengang tersebut, Requiem berlutut dengan kepala tertunduk. Rambut pirang platinanya yang panjang tergerai di ubin lantai. Dahinya menyentuh peti tempat Seiran, putri Ailstair terbaring pucat. Matanya terpejam khidmat, kedua tangannya tertangkup menjadi satu dalam posisi berdoa. Entah kepada siapa.
Ailstair belum pernah menyaksikan suatu momen yang begitu intim sebelumnya. Hanya dengan sebuah gerakan, Requiem seolah membuat langit terguncang. Seluruh cahaya dalam ruangan ini terpusat di sekitarnya seperti pendar kunang-kunang, Saat ia mengangkat wajah dan membuka mata, seluruh cahaya yang tersisa tersedot ke sepasang bola matanya. Ailstair memalingkan wajah, ia tak ingin buta.
“Aku tidak sempat menyesuaikan,” Requiem berkata, dengan suaranya yang teredam gemericik air. “Lihat ke sini,”
Penguasa Doloretia, reinkarnasi Aileth yang pertama itu menurunkan perintah tersebut dan menghadapnya. Requiem sudah kembali ke wujudnya yang biasa, yang tidak menyakitkan saat di lihat. Wajahnya sendu. “Ini hanya permulaan, kau pasti mengerti bukan?” bisik Requiem. Ia bangkit dari posisi bersimpuhnya, sekarang tinggi mereka setara.
“Aku tahu.” balas Ailstair, “Namun bukan berarti segalanya akan jadi mudah hanya karena aku tahu.”
“Kau benar.” Requiem berjalan menuju jendela besar di seberang ruangan, lalu bersandar di salah satu sisinya. “Terkadang malah lebih mudah ketika kau tak tahu. Seperti saat Aileth tiba-tiba pergi, aku hanya bisa meratap setelah semuanya sungguh-sungguh terjadi. Keduanya sama-sama tak mudah,”
Ailstair terdiam. Matanya mengekori arah pandangan Requiem, ke laut biru di luar jendela yang terbentang sampai cakrawala, laut tenang yang menyimpan banyak hal, laut yang akan menelan segalanya. “Kau akan pergi sampai berapa lama?”
“Sayangnya, tidak akan lama. Sampai kita bertemu lagi, semoga kau baik-baik saja saat itu.”
Bersama dengan hembusan angin, Requiem menghilang secepat ia datang. Ailstair menyadari, bahwa hawa kematian di ruangan ini masih belum kunjung hilang. Ia berlutut di tempat yang baru ditinggal Requiem barusan, dan menunduk kepada sosok di dalam peti. Seiran, putrinya yang tersenyum dalam tidur.