Bunga Aster biru setinggi lutut membentang luas di halaman belakang istana putih Kairi. Seorang gadis kecil yang tinggi badannya hanya sedikit melampaui pucuk bunga tersebut berdiri tak bergerak. Rambut biru gelapnya menyatu sempurna dengan kelopak-kelopak bunga.
Tidak lama, ada anak lain yang jauh lebih besar mendekatinya dari tepi. Ia melangkah hati-hati agar tidak menginjak bunga-bunga, lalu berhenti di depan gadis kecil yang tak bergeming.
“Fen, ayahmu sudah mencari ke mana-mana. Ayo kembali.”
Yang dipanggil Fen mengangkat kepalanya dalam gerakan lambat, “Manato,”
“Ya, ayo kembali.”
“Aku melihat ada anak lain berlari sampai sini.”
Manato menoleh ke sana kemari dan tidak mendapati apa pun selain hamparan bunga Aster yang berayun lembut diterpa angin. “Mungkin dia sudah pergi.”
Fen menggeleng, “Aku yakin sekali dia ke arah sini. Manato, anak itu nampak kesakitan. Aku mau membantu, tapi ia lari begitu lihat aku. Bagaimana?”
“Tidak apa-apa. Dia pasti sudah kembali ke ayah ibunya, jangan terlalu khawatir.”
“Tapi—”
“Kau juga harus kembali, semuanya mencarimu.” Manato mendesak, ia tak begitu suka anak kecil dan tak tahu cara menanganinya. Terutama dalam keadaan rewel seperti sekarang.
Untungnya, Fen jarang merepotkan dan kali ini pun segera menurut. Ia menggamit lengan Manato yang membantunya keluar dari semak Aster dan kembali ke dalam istana.
Begitu mereka sudah hilang dari pandangan, kepala berambut biru yang lain muncul dari sudut terjauh hamparan bunga. Jaraknya dengan dinding terluar istana hanya beberapa langkah dan jika ia berjinjit sedikit, tampak laut biru luas yang terbentang jauh tak terhingga. Ia melakukannya tepat seperti itu, dan bersandar di sana lama sekali. Menatap gulungan ombak yang seperti memanggil-manggil. Keinginannya untuk menuruti panggilan itu semakin kuat dari hari ke hari sampai ia akan benar-benar terjun andai suara itu tak menjeda.
“Shen! Apa kau gila?!”
Dia menoleh dan melihat wanita yang ia kenali sebagai ibunya menghampiri dengan terburu-buru. Wajahnya memerah karena marah, “Apa yang kau pikirkan? Dengan kemampuanmu yang sekarang, kau tak akan selamat!”
Anak itu tak bisa menjelaskan apa yang ia rasakan kepada orang yang tak mau mengerti seperti wanita di depannya ini, jadi ia mengunci mulutnya rapat-rapat. Begitu ibunya sampai, tangan kanannya terangkat dan mendarat di pipi kirinya dengan suara keras.
“Tak tahu diuntung!” teriaknya dengan mata berkaca-kaca.
Shen menyentuh pipinya yang nyeri dengan satu tangan dan menunduk.
“Setelah kami beri kesempatan menaikkan posisimu, harusnya kau bersyukur dan menurut saja. Tetapi kenapa kau selalu berkeliling dan memamerkan wajah palsumu itu ke mana-mana?”
Anak itu masih tak acuh.
Melihat sikapnya, wanita tersebut berhenti mengoceh dan hanya menarik tangannya agar mengikuti.
“Sudah kubilang sekarang terlalu cepat. Selanjutnya datang ke sini lagi, kuharap kau sudah mengerti peranmu.”
Shen mendengarkan tanpa benar-benar peduli. Pikirannya terpecah-pecah antara gadis kecil yang familiar, lautan, dan peran yang baru saja diungkit. Kenapa sejak awal ia setuju melakukan ini ya? Jawabannya tak bisa diingat mau bagaimanapun.
***
Sebagai salah satu jajaran terpenting di Kairi, keluarga Sui menempati bagian terbesar dari istana putih. Bangunan raksasa yang merangkap sebagai ibukota tersebut sudah dikendalikan oleh Sui selama seribu tahun tanpa tanda-tanda akan berpindah kuasa.
Hari ini pun, perwakilan keluarga Sui mendominasi turnamen antar klan penguasa. Dua bersaudara Sui memperoleh posisi teratas untuk kesekian kalinya.