Realm of The Eternals

astreilla
Chapter #34

Act 32; Ship


Partner perjalanannya jadi merepotkan. Fran belum lama mengenalnya, tapi ia sudah mendapat kesan ‘tangan kanan yang andal’ dari Itzal sejak awal. Kenyataannya dia memang begitu sampai sebelum kapalnya berlayar.

Itzal sudah membantu banyak, mulai ketika dia datang bersama Ritz, sampai membawanya ke Andestic. Dia juga sudah mengurus segala hal untuk perjalanan ini. Fran sangat berterima kasih. Namun perasaannya menguap entah kemana ketika ia harus bolak balik memapah Itzal antara toilet dan dek kapal terbawah.  

Fran tahu istilah yang tepat untuk Itzal sekarang, mabuk laut. Dan yang parah sekali pula. Mengingat sekarang kami tidak berada di laut. Bagaimanapun, ini pertama kalinya Fran melihat seseorang mengeluarkan begitu banyak isi perutnya, dan begitu sering. 

Itzal tak punya waktu tenang melebihi sepuluh menit, karena wajahnya akan jadi seputih kertas lalu dengan isyarat panik menyuruh Fran menuntunnya menuju toilet. Ia pasti melupakan berbagai perbedaan mereka. Di mata orang lain Fran terlihat seperti adik laki-laki kecil yang mengantar kakaknya ke toilet perempuan, berkali-kali.

“Inilah kenapa semua yang kukenal bilang sebaiknya aku memperkuat sigma jendelaku.” gumam Itzal setelah ia muntah kesekian kali. Seluruh warna di wajahnya sudah luntur, rambut hitam tak ratanya acak-acakan diterpa angin sementara dagunya bersandar di pagar pembatas kapal. 

Tanpa perlu pengamatan lebih, Itzal jelas-jelas tampak capek. Fran berdiri canggung di sampingnya, bersiaga untuk serangan mual susulan. 

“Apa sekarang belum cukup kuat?”

Gadis itu mengedip beberapa kali untuk menghilangkan pusingnya sebelum menanggapi tanpa tenaga, “Entahlah. Aku ingin bisa memikirkan tempat, dan jendela mengantarkanku ke sana dengan sempurna. Agar perjalanan mengerikan ini tak perlu dilakukan lagi,”

Fran terdiam beberapa lama, membayangkan betapa praktisnya kalau Itzal memang bisa melakukan hal semacam itu dengan sigmanya. “Kalau bisa, kau pasti sangat hebat.”

“Mungkin butuh seribu tahun lagi baru bisa—Ugh!” Itzal buru-buru menutup mulutnya dan sorot matanya meminta bantuan Fran seperti yang sudah-sudah.

Setelah sukses mengantar Itzal menuju teman baiknya—wastafel toilet, Fran menunggu di tempat biasa. Akan tetapi, kali ini ada orang dewasa yang menghampirinya dengan tatapan prihatin. Jika dilihat dari pakaiannya, ia pasti salah satu kru kapal. 

“Apakah kau dan kakakmu berdua saja? Tidak bersama keluarga yang lain?”

Pertanyaan seperti ini jelas akan muncul cepat atau lambat, jadi Fran memberi senyum ramah sesuai harapannya. “Kami akan segera bertemu mereka di pemberhentian selanjutnya,”

Wajah orang itu berubah cerah, “Ah, pelabuhan Axton hanya setengah jam lagi. Syukurlah, kukira kalian melakukan perjalanan penuh sampai Clayton—karena itu tujuan utama kapal ini,” 

“Tidak, kami akan segera turun,” ujar Fran memperjelas. Kalau sudah, tolong cepat menyingkir. 

Pria itu meremas bahu Fran, “Baiklah, kuharap kakakmu baik-baik saja sampai pelabuhan nanti. Selamat menikmati perjalanan bersama layanan kami!”

Fran tidak menjawab sampai orang itu berlalu. Tak lama kemudian, Itzal keluar dari toilet dengan ekspresi yang semakin buruk. 

“Ini salahku,” katanya. “Harusnya aku menyewa kabin. Tapi sekarang belum terlambat, pasti masih ada yang kosong.”

“Kau baik-baik saja?” tanya Fran refleks meski sudah tahu jawabannya.

“Yang cepat saja. Ayo selesaikan sebelum mualnya datang lagi.”

Meski tampangnya sudah seperti setengah mati, ternyata ia bisa mengurus ini dan itu sampai mereka mendapatkan satu kabin berukuran sedang dilengkapi toilet pribadi. Sekarang Itzal bisa bertandang di sana tanpa sorotan heran dari orang-orang, dan mereka bisa menghindar agar kejadian tadi tak terulang.

Namun, bukannya langsung ke toilet seperti yang dikira, Itzal justru berbaring di satu-satunya kasur di sana sambil menggerutu, “Apa wajahku masih terlalu muda untuk dianggap orang dewasa yang bisa bertanggung jawab? Aku senang mereka melihatku seperti itu, tapi—” ia menoleh, menatap Fran dengan sorot menuduh, “Ini karena kau yang nampak terlalu kecil.”

“Aku memang masih muda?”

“Jangan bohong, sejak kapan tua atau muda relevan? Kalau kau bilang dirimu masih muda, lalu aku ini apa? Leluhur tertua? Lalu orang-orang generasi Hatz dan kakakku itu apa? Belum lagi ayahku.”

Itzal mengoceh seperti orang mabuk. Yang lumayan benar, karena dia memang mabuk perjalanan. Fran cukup tahu bahwa tak ada bagusnya menanggapi celotehnya. Gadis itu bahkan menyebut Ritz sebagai kakak untuk kali pertama. Tidak mungkin ia melakukan itu kalau sadar.

Akhirnya Fran hanya mencari kursi dan duduk tak jauh dari ranjang sambil bersandar menghela napas. 

“Kenapa kau begini-begini saja? Bahkan adikmu nampak lebih dewasa.” kata Itzal lagi, namun suaranya semakin pelan. Kelopak matanya jatuh menutup, ia tertidur.

Lihat selengkapnya