Sosok di atas podium itulah yang menuntunnya masuk barusan. Orang yang mengaku kenal Fran.
Pendeta yang tidak biasa, Anzel terbangun dan berkomentar di kepala Fran.
Setelah Fran memikirkannya lagi, ini sudah kesekian kalinya ia berpapasan dengan sosok penting di hari yang sama. Malah, kalau melihat lebih jauh, ia sudah bertemu cukup banyak. Rasanya seperti mengoleksi sesuatu yang langka. Ada kisah aneh yang mengemuka di kepala Fran selagi menyaksikan orang itu bersiap di podium.
Fran adalah anak yang terkenal dalam semalam. Karena meski baru memulai petualangan untuk mengoleksi berkat legenda, hanya dalam satu hari pertama ia sudah bertemu dua legenda berinisial R dan H yang merupakan bagian dari tiga serangkai paling terkenal. Terlebih, sehari setelahnya ia bertemu legenda lain yang ternyata ibunya! Didampingi pelayan kompeten yang ia temukan dalam perjalanan, ia diundang Kaisar ke istana. Tetapi keberuntungannya belum kunjung habis, karena kurang dua hari kemudian (lagi-lagi) ia bertemu dengan dua orang legenda, pada satu hari yang sama! Benar-benar anak beruntung! Tak ada petualang yang lebih beruntung dari Fran di seluruh Doloretia!
Gila, aku sudah gila, batin Fran berulang kali. Anzel sama sekali tidak menggubrisnya dan kembali tidur.
Di deretan paling ujung, seorang pemain harpa memetikkan tiga nada tinggi pertanda dimulainya prosesi upacara. Bersusulan dengan isyarat tersebut, seisi ruangan menjadi senyap.
Nada pertama instrumen kematian dimainkan, suara petikan harpa yang syahdu mengisi seluruh ruang dalam kuil, menuntun mereka jauh-jauh ke dalam ketenangan dan kesunyian. Bagai angin yang berhembus di musim gugur, sejuk dan membawa berita dingin. Tapi berita tersebut tidak akan mengejutkanmu layaknya sengatan musim panas, karena semua tahu apa yang datang menyelimuti setelah musim gugur; musim dingin yang putih dan menutupi segala. Musim dingin yang memberi jeda pada seluruh perasaan secara merata. Memberi waktu untuk menghela napas.
Kemudian, musik biola yang berat dan terseret-seret mulai berbaur dengan harpa. Isyarat bahwa segala pergumulan tidak serta merta selesai hanya karena diberi waktu. Bahwa kadang ada hal tak terelakkan yang tak bisa diapa-apakan lagi.
Setelah beberapa waktu, suara lantang pendeta Requiem terdengar, “Hari ini kita menghadap takdir yang suatu saat akan dialami oleh seluruh Eternal."
Pintu di sisi kanan terbuka dan sosok berjubah putih yang serupa dengan pemusik di depan memasuki ruangan. Ia memberi jalan kepada sepasang Eternal yang berwajah damai. Mereka tidak terlihat berumur, namun ada rasa kepuasan aneh yang tampak dari gerak-gerik mereka. Senyum mereka terlihat sangat indah dan tak bercela.
Bak upacara pernikahan, keduanya dituntun ke podium dan berdiri menghadap pendeta Requiem. Hadirin tidak lagi bisa melihat wajah mereka, namun punggung mereka yang tegap menunjukkan banyak hal yang tak bisa diungkapkan.
“Pada masa yang tak lagi bisa diingat siapa pun, Eternal hidup berdampingan dengan para pencipta. Aileth sang kehidupan yang bermahkota semesta. Yang pada sayap-sayapnya membentang gugusan bintang dan nebula. Pada wajahnya terdapat cinta yang lebih luas dari angan-angan. Requiem yang segala cahaya bersemayam padanya, matahari melebur dalam matanya, dan kematian mengalir dalam darahnya.
“Pada masa yang sedang kita jalani, para pencipta memberi jalan untuk seluruh Eternal. Requiem sang Kematian dalam peristirahatannya membentangkan kehangatan mentari pada perjalanan menuju akhir. Aileth sang Kehidupan menunggu dengan tangan terbuka di akhir perjalanan, penuh kasih dan cinta.”
Pendeta membiarkan musik mengalir dan menuntun segala perasaan yang mengawang-awang agar kembali kepada relung hati seluruh hadirin.
“Ren Harkel, Keira Harkel.”
Pasangan itu menengadah dan menjalin tangan mereka erat.
“Tak ada kehidupan yang tak berarti. Bahkan jika kita tak mampu melihatnya, para pencipta kita tahu.”
Jari-jari pasangan tersebut bertautan.
“Jika hidup ini hina, barangkali itu benar. Jika hidup ini penuh penderitaan, barangkali itu benar. Jika hidup ini penuh kebahagiaan, juga, barangkali itu benar.”
Kepala pasangan tersebut menunduk dalam.
“Jika hidup ini seperti buku dan kau merasa telah mencapai halaman terakhir, kematian bisa menjadi penutup. Namun jika hidup adalah sebuah siklus, maka kematian adalah awal yang baru.”
Jarak antara kedua pasangan tersebut menghilang.
“Requiem membuka jalan, Aileth menyambut, dan kalian membuat pilihan.” Pendeta turun dari podium dan berdiri di depan pasangan tersebut. “Kekuatan ini akan mengabulkan keinginan dalam lubuk hati yang tersentuh olehnya.”
Ia mengulurkan kedua tangan kepada pasangan tersebut, yang menyambutnya setelah bertukar pandang untuk terakhir kali. Punggung mereka bergetar hebat, tapi genggaman tangan keduanya penuh tekad.
“Jika kalian memilih pergi, terjadilah demikian. Jika kalian ingin tinggal, terjadilah demikian.”