“Apa kita akrab? Tidak. Ini baru pertemuan kedua. Tapi kita jelas bukan musuh, kan?” Vixen menanggapi dengan raut heran.
Fran merasakan hawa dingin mendadak menyapu tengkuknya. Perasaan dingin yang entah mengapa familier. Ia melihat wajah Vixen mengernyit, dan Fran menoleh ke belakang.
Itzal ada di sana. Ia mengenakan pakaian serba hitam bergaya resmi yang baru pertama Fran lihat. Tanpa membalas pandangan Fran, Itzal terang-terangan menghunjam Vixen dengan sorot penuh permusuhan. Fran tidak tahu harus merasa senang karena Itzal kembali lebih awal atau takut dengan situasi saat ini.
Fran belum bisa memperkirakan seberapa besar kebencian Itzal dengan pendeta Requiem dan sekarang ia tidak ingin tahu. Kalau gadis itu mau melakukan sesuatu di sini, akibatnya pasti buruk dan Fran ogah terlibat. Jadi dia bangkit dari kursi dan melangkah perlahan ke sisi terjauh ruangan, menghindari Itzal dan Vixen yang masih saling mengunci pandangan.
“Wah, Itzal Maine? Aku sudah dengar tentangmu.”
Mendengar namanya disebut, Itzal bergidik. Ia mengepalkan tangannya dan mengangkat dagu, “Kau tidak punya urusan denganku. Itu alasan aku masih diam saja.” ujar Itzal dengan nada tegas yang dingin.
Kalimatnya hanya terhenti sampai situ, tapi Fran serasa bisa mendengar lanjutannya, Kalau aku memang punya urusan denganmu, kau tidak akan berdiri dengan tenang di sana.
Bagaimanapun, Vixen tidak merasa tertekan. Ia masih tersenyum dan mengulurkan tangannya, persis seperti beberapa saat yang lalu dengan Fran. “Aku Vixen, maukah kau berdamai denganku, sebagai orang yang tak punya urusan denganmu?”
Itzal dengan gaya pongahnya hanya menatap tangan yang terjulur itu tanpa niat untuk menyambutnya. Ia mengamati Vixen dari ujung kepala sampai kaki tanpa minat khusus, lalu menemukan Fran di ujung, sedang membuang muka canggung.
“Fran, ngapain kau di sana? Ayo pulang!” seru Itzal.
Fran tak perlu mengecek untuk tahu kalau wajah Itzal berubah mengerikan. Memang dia itu gadis yang sulit dimengerti. Padahal sebelum ini dia sangat senang berkeliling kota, sekarang ekspresi dia persis kebalikannya. Siap membunuh. Terakhir kali Fran melihat ekspresi serupa hanya saat Anzel menguasai Fran dan menyerang Ritz. Jelas bukan sesuatu yang ingin ia saksikan lagi.
Vixen tersenyum ketika Fran berjalan melewatinya. “Semoga kita bertemu lagi dalam situasi yang lebih baik,”
Itzal mendelik pada Vixen, “Dia tak punya urusan denganmu.”
Fran ingin membela dirinya sendiri namun tangan Itzal terlebih dulu mencapai bahunya dan gestur itu saja sudah mengisyaratkan banyak hal. Akhirnya ia hanya mengangguk pada Vixen dan keluar bersama Itzal.
Begitu mereka sudah berjarak cukup jauh dari kuil pendeta Requiem, Itzal tersandung kakinya sendiri dan ambruk ke tanah. Fran telat bereaksi dan hanya bisa menyaksikan Itzal tersungkur dan tidak kunjung bangun. Deja Vu menimpa Fran. Seolah ini bukan kejadian pertama kali. Untungnya mereka berada di pinggiran jalan yang sepi.
“Hei, kau sakit?” Fran bersimpuh di sebelahnya. Ia bisa melihat mata Itzal masih terbuka.
“Aku lelah, biarkan aku tengkurap begini.”
Fran menggaruk kepalanya, “Tapi ini tidak normal.”
Itzal melotot, “Aku memang nggak normal? Puas?”
Fran tak habis pikir. Ia berdiri dan pergi meninggalkan Itzal. Tengah hari tadi Itzal sudah menyewa kereta yang akan mengantar ke Kairi selama sepuluh jam perjalanan. Itzal yang tak mau bergerak benar-benar bukan masalah. Namun jika kereta yang sudah dibayar tidak jadi digunakan. mereka akan rugi besar.
Sesuai dugaan, Itzal tidak mengikuti Fran. Setelah lima belas menit, Fran sampai ke tempat sewa kereta untuk menjemput kereta mereka. Tidak seperti kereta kuda kayu otomatis yang cocok dipakai berkeliling, kereta ini memiliki bentuk lebih luas dan kokoh. Kereta ini juga dibuat sederhana sehingga tidak memiliki dekorasi seperti kuda kayu. Secara sekilas penampilannya lebih mirip kendaraan yang digunakan Sui Manato saat menjemput Fran kemarin dulu.