Kereta penumpang tua melaju bergemuruh di sepanjang jalan berdebu antara Maplewood dan Riverboro. Hari itu panas, walau baru pertengahan bulan Mei. Mr. Jeremiah Cobb memacu kuda-kuda dengan lembut, tanpa melalaikan tugas menyampaikan surat secepat mungkin.
Ada satu penumpang dalam kereta, seorang anak kecil berambut gelap bergaun belacu halus dan mengilap. Tubuhnya langsing dan gaunnya dikanji licin sampai kaku. Dia bolak-balik tergelincir dari satu sisi jok kulit ke sisi lainnya, meskipun berusaha tetap duduk di tengah sembari menahan kaki kuat-kuat dan menjaga keseimbangan dengan membentangkan kedua tangan bersarung katun lebar-lebar ke samping. Dia terlonjak ke udara, dan terempas turun kembali setiap roda kereta tenggelam di cekungan jalan yang dalam, atau saat mendadak melambung di atas sebuah batu. Topi jerami kecilnya yang lucu dibenahi. Digenggamnya payung parasol warna merah muda erat-erat, bagaikan hartanya yang paling berharga - bila kita tak memperhitungkan tas manik-manik yang bolak-balik ditengoknya setiap kali bisa. Wajah gadis itu begitu lega setelah memastikan isi benda penting itu tidak hilang atau berkurang sedikit pun. Mr. Cobb tidak tahu betapa merepotkannya perjalanan ini. Tugas lelaki itu hanya mengantar orang ke tujuan mereka. Dia tak merasa berkewajiban membuat mereka nyaman sepanjang perjalanan. Bahkan dia sudah lupa akan keberadaan penumpang kecil yang tak menonjol ini.
Saat Mr. Cobb beranjak meninggalkan kantor pos di Maplewood pagi itu, seorang wanita turun dari kereta, lalu menghampirinya, menanyakan kalau-kalau kereta penumpang tersebut menuju Riverboro, dan pria itu memang Mr. Cobb. Setelah diiyakan, wanita itu mengangguk pada seorang anak yang sangat antusias menanti jawaban, dan berlari ke arahnya seakan takut ketinggalan. Anak itu mungkin berumur sepuluh atau sebelas tahun, tapi kelihatan terlalu kecil. Wanita yang ternyata ibu si gadis cilik dan bernama Mrs. Randall itu membantu anak tersebut masuk kereta penumpang, menaruh sebuah buntelan dan buket bunga lilac di sampingnya. Dengan cermat dia mengawasi saat kopor tua diikatkan di belakang kereta. Akhirnya wanita itu membayar ongkos dengan uang perak yang dihitungnya sangat hati-hati. “Tolong antarkan anak ini ke tempat saudara saya di Riverboro,†ujarnya. “Kenalkah Anda Mirandy dan Jane Sawyer? Mereka tinggal di rumah bata.â€
Tuhan memberkati, Mr. Cobb sangat mengenal mereka!
"Yah, anak ini akan ke sana, dan mereka menantikannya. Bisakah Anda menolong saya mengawasinya? Kalau bisa keluar, dia bakal pergi ke mana saja atau meminta siapa pun menemaninya."
"Selamat jalan, Rebecca! Jangan nakal, dan duduk tenang, supaya kau kelihatan rapi dan manis begitu sampai di sana. Jangan membuat susah Mr. Cobb. Anda lihat kan, dia sangat lincah. Kami naik kereta api dari Temperance kemarin, menginap di rumah sepupu saya. Pagi ini kami berkereta sejauh tiga belas kilometer dari rumahnya."
"Selamat tinggal, Ibu, jangan khawatir, Ibu tahu kan aku sudah pernah melakukan perjalanan."
Wanita itu tertawa sumbang dan mencoba memberi penjelasan kepada Mr. Cobb, "Dia pernah ke Wareham dan menginap semalam. Namun itu tak bisa dibanggakan sebagai suatu perjalanan!"
"Itu TERMASUK PERJALANAN, Ibu," sergah si anak berapi-api.
"Tempat itu di luar pertanian, kita membawa bekal makan siang, dan berkuda, dan naik kereta api, dan membawa baju tidur."
"Jangan bicara ke seluruh desa tentang hal itu,"kata sang ibu, menyela kenangan penjelajah berpengalaman ini.
"Bukankah sudah Ibu katakan," bisiknya sembari masih berusaha menerapkan disiplin,
"kau tak boleh bicara tentang baju tidur dan stoking dan-hal-hal seperti itu, dengan suara keras, terutama ketika ada laki-laki di sekitar kita?"
"Aku tahu, Ibu, aku tahu, dan aku tak akan melakukannya. Yang aku ingin katakan cuma."
Sampai di sini Mr. Cobb berdecak, menarik tali kekang, dan kuda-kuda mulai berderap seperti kebiasaan mereka sehari-hari.
"Yang ingin aku katakan, itu termasuk perjalanan karena,"
Kereta penumpang benar-benar melaju dan Rebecca harus melongokkan kepala ke luar jendela di atas pintu untuk menyelesaikan kalimatnya,
"Itu MEMANG perjalanan karena kau membawa baju tidur!"
Sanggahan bernada tinggi itu terbang ke telinga Mrs. Randall yang memandangi kereta penumpang tersebut sampai menghilang dari penglihatan. Dia mengambil bungkusan-bungkusan dari bangku di depan pintu toko, kemudian masuk kereta wagon yang berdiri di tempat pemberhentian kuda. Saat memutar kepala kuda menuju rumah, wanita itu berdiri sejenak. Dinaunginya mata dengan tangan, menatap kepulan debu di kejauhan yang remang-remang.
"Kurasa Mirandy akan kewalahan,"katanya pada diri sendiri, "tapi aku tidak risau bila itu untuk mendidik Rebecca."
Setengah jam berlalu. Matahari, panas, debu, renungan akan tugas yang harus diselesaikan di kota metropolis Milltown, membuai pikiran Mr. Cobb yang pasif sehingga lupa pada janjinya untuk mengawasi Rebecca.
Tiba-tiba terdengar teriakan kecil di antara derak gemuruh roda, dan derit tali kekang kuda. Semula Mr. Cobb mengira itu suara jangkrik, katak pohon, atau seekor burung. Namun setelah memastikan sumber suara, ia menoleh ke belakang. Dilihatnya sesosok kecil tubuh menjuntai keluar jendela. Rambut hitam berkepang panjangnya berayun seiring gerakan kereta. Satu tangannya memegangi topi, sedang tangan lainberusaha menusuk asal-asalan pengemudi kereta dengan payung parasol kecil.
"Tolong izinkan aku bicara!" serunya.
Mr. Cobb menghentikan kuda-kuda dengan patuh.
"Apakah ada biaya tambahan untuk duduk dengan Anda di atas sana?"tanyanya.
"Jok di sini sangat licin, dan kereta penumpang ini terlalu luas buatku. Aku menggelinding ke sana-sini sampai hampir memar. Jendelanya sangat kecil. Aku hanya dapat melihat secuil pemandangan. Leherku hampir patah waktu menengok ke belakang untuk mengecek koporku jatuh atau tidak. Itu kopor ibuku, dia sangat menyukainya."
Mr. Cobb menunggu sampai banjir kata-kata, atau tepatnya banjir keluhan, ini berhenti. Dengan penuh canda ia berkata:
"Kau boleh naik kalau mau.Tak ada biaya tambahan untuk duduk di sampingku."
Kemudian ia mengeluarkan anak itu dari kereta penumpang, mengangkatnya ke sebelah jok pengemudi, dan duduk kembali di tempatnya sendiri.
Rebecca duduk dengan hati-hati. Dirapikannya gaun dengan ketelitian yang mengagumkan. Diletakkannya payung parasol di bagian lipatan antara kusir dan dirinya sendiri. Setelah selesai, topinya dikenakan kembali. Begitu pula sarung tangan katun putih bersih. Gadis cilik itu berkata riang,
"Oh! Ini lebih baik! Seperti perjalanan yang sebenarnya! Aku seorang penumpang sungguhan sekarang, dan di bawah sana, aku merasa seperti ayam petelur kami ketika dikurung di kandang. Apakah masih lama untuk sampai ke tujuan?"
"Oh! Kita baru saja berangkat," Mr. Cobb menjawab ramah.
"Itu lebih dari dua jam lagi."
"Hanya dua jam," desah Rebecca. "Berarti kita sampai jam setengah dua. Ibu akan berada di rumah sepupu Ann. Anak-anak di rumah akan makan malam, dan Hannah yang membersihkan semua. Aku punya banyak bekal makan siang. Kata ibuku, tak baik sampai di rumah bata dengan perut lapar dan membuat Bibi Miranda menyiapkan makan untukku. Hari ini sesuai untuk bercocok tanam, kan?"
"Memang, pasti, terlalu panas, sangat panas. Kenapa kau tidak memakai payung?"
Rebecca menjulurkan gaun untuk menutupi payung parasol mungilnya sambil berkata, "Oh tidak! Aku tak pernah memakainya ketika matahari bersinar. Warna merah mudanya akan memudar dan sangat jelek, kau tahu. Aku hanya membawanya ke rumah persekutuan doa pada hari Minggu saat berawan. Kadang matahari muncul tiba-tiba, dan aku kesulitan untuk melindunginya. Payung parasol ini benda yang paling kusayangi dalam hidupku, namun perawatannya mengerikan."