Atheiv tenggelam, danau yang terlihat begitu tenang itu menariknya jauh ke dalam. Sangat dalam! Ilusi yang mengerikan.
Aku harus bernafas!
Saat ia membuka kedua mata, sosok servus yang menyerupai Sein tadi mengulurkan tangan untuk menggapainya. Laki-laki itu menggerakkan tubuh dengan susah payah, lantas pergi ke bagian dasar danau. Kristalnya memiliki unjung lancip, hingga saat punggung Atheiv menabrak dasar danau rasa perih menjalar.
Kristal-kristal dilihatnya sebagai senjata—ia tidak punya pilihan lain. Atheiv meraih kristal hitam yang menyala, seolah tengah berbisik agar dimilikinya. Kaki bergerak aktif, ia mendorong diri ke permukaan sebelum kehabisan oksigen. Dadanya sudah sesak tak tertahan. Kalau tidak segera bernafas Atheiv bakal kehilangan kesadaran—dan itu artinya game over.
Tangannya meraih permukaan, dan ia kini berusaha menarik dirinya keluar dari air. Dengan sisa tenaga, Atheiv berhasil menyeret dirinya ke tanah. Sikunya digunakan untuk membawa dirinya menjauh dari sisi danau. Bibirnya berdarah, Atheiv menolak peduli pada kenyataan bahwa ia berada dalam keadaan sangat mengenaskan.
Dan lagi-lagi ia melihat sosok gadis itu, kini dengan bayang lain di belakangnya. Seorang bocah laki-laki yang usianya kisaran lima tahun, mengamati sosoknya. Kedua iris crimson itu menyala dalam gelap, senyuman di bibirnya tampak mengatakan bahwa ia prihatin.
"Tidak bisakah aku membantunya? Dia akan mati kalau begini," bocah itu memperingati sambil menaikkan helaian hitam yang dilindungi tudung abu. "Aku sudah bantu, kok. Tinggal bagaimana dia menggunakan bantuanku," papar gadis itu sembari tersenyum dibalik topeng.
Atheiv menarik kakinya kembali dengan susah payah, terlebih saat servus itu masih saja menarik tubuhnya. Kakinya terasa sangat ngilu, apalagi saat makhluk itu menancapkan kuku-kuku hitam yang panjang itu guna menyeretnya kembali ke air. Bertepatan saat servus itu muncul di permukaan, Atheiv menusuk bagian kepala mahluk itu dengan kristal tadi.
'Scrat!
Servus itu merambat dengan cepat, hingga kembali meraih lehernya. Dia bergerak seolah-olah luka di kepalanya tidak berarti. Kuku yang semula menancap di kaki, kini telah melingkari lehernya, dalam hitungan detik ia merasakan sesuatu yang tajam menusuk.
Sial. Atheiv terbatuk, merasakan kesadarannya perlahan mulai menghilang. Semua buram, dan tidak karuan.
"Akh! Uhuk!" Ia mundur dengan siku, setelah melihat hilangnya servus itu. Benar-benar hilang, seperti debu yang tersapu angin.
Bocah bersurai hitam itu lantas memeriksa keadaan Atheiv, membantunya bersandar di pohon untuk beristirahat sejenak. Atheiv terpaku begitu melihat sosok gadis yang berada di belakang sosok bocah itu.
"Ah. Kenapa, ya? Anda terlihat sangat familiar."
Ucapannya membuat keadaan menjadi begitu aneh. Senyuman lebar muncul di balik topeng—gadis itu melangkah mendekati Atheiv, lalu menyentuh pipinya. Wajahnya mendekat, hingga Atheiv rasanya mampu merasakan nafas gadis itu di area lehernya jikalau ia tidak memakai topeng.
"Ya. Kau juga sangat familiar," bisiknya.
Ia memposisikan dirinya seperti sedang mencium pipi laki-laki itu. Meski ditutupi topeng, Atheiv tetap saja merasakan hal itu—kekuatan aneh yang menyengat tubuhnya. Ia membelakak, lantas memerah malu bak remaja dimabuk cinta.
Apa-apaan, ini?!
Gadis itu menjauhkan diri dengan enggan. Atheiv tidak bisa melepas pandangannya. Rambut panjang sewarna langit itu dibiarkan terurai sampai batas pinggang. Ia mengenakan pakaian formal dengan warna hitam, dengan celana sebatas lutut, disambung stocking hitam dan flat shoe.
"Sekarang katakan alasanmu kemari," ia menatap Atheiv sambil menopang kepalanya di tangan kanan. "Tempat ini milikku."
"Dia mau mencari servus, apalagi?"