Portal terbuka, mengayun di udara dalam kendali sang pemuda bersurai peach di ujung tebing. Dua rekannya yang memakai jubah hitam di belakangnya nampak bertanya-tanya alasan pemimpin mereka menghentikan langkah. Namun wajahnya menggelap.
"Apa yang terjadi?" ia bersuara gusar, menatap arah datangnya sumber kekhawatiran. "Kenapa Nona membuka segelnya?"
.
Tidak sempat terkejut dengan sosok Ry. Atheiv merasakan sebuah kekuatan berkumpul di ruangan ini dengan tiba-tiba, setelah Ry mengatakan permohonan membuka segel. Ia merasakan sakit yang teramat sangat di bagian dada. Perubahan angin hitam itu menjadi sebuah jarum besar yang menghujam dada menjadi sebab. Sesuatu mengalir dalam diri Atheiv, menyatu dengan darah.
Bukan hanya itu. Kalimat yang diucapkan Ry bergema. Atheiv menutup kedua telinganya sambil menahan rasa sakit. Ia seperti diteriaki ratusan orang. Lalu cairan keluar dari telinganya, Atheiv menatap tangannya yang dipenuhi bercak merah. Telinganya berdarah.
Saat menatap Ry, pupil mata gadis itu yang sebiru langit pagi dikelilingi warna hitam pekat. Kedua mata itu kini menatapnya, dan warnanya kian menggelap. Garis-garis hitam mucul ke wajahnya, juga lengan sampai batas kuku—mirip akar yang melingkari pohon. Sebuah simbol asing muncul di kedua matanya—Ry membuka segel atas dirinya. Atheiv terbatuk, dan merasakan tubuhnya mulai melayang akibat kekuatan Ry.
"Akh!" Dadanya yang dihujam jarum besar itu terasa terbakar. Seluruh tubuhnya dibungkus oleh kain-kain berwarna hitam.
"Aku menyatukanmu dengan jiwa Leviathan—iblis ketiga, dengan izin Vee."
Asap hitam keluar dari toples yang berisi servus, merambat cepat ke arah Atheiv. Namun laki-laki itu mengepalkan tangan, membiarkan dirinya dililit oleh asap itu. Asap yang mengelilingi tubuhnya mulai masuk ke tubuh Atheiv, laki-laki itu berteriak. Kain-kain yang membungkusnya turut mencekik lehernya—menyatu dengan asap yang berada di tubuhnya kini.
"Aku menghidupkan kembali Leviathan dalam jiwamu. Dengan ini hidupmu sepenuhnya, adalah milik Leviathan."
Tubuhnya seperti disayat-sayat. Atheiv berteriak mirip orang kesetanan, dalam hitungan detik luka muncul dari tubuhnya. Beberapa bagian mulai menghitam, dan berbau busuk.
"Akh!"
Ry menatapnya, menyeka darah yang keluar dari bibirnya. Ia menyaksikan proses bersatunya Atheiv dan jiwa Leviathan. Gadis itu bernafas dengan terengah-engah, energinya turut dimakan oleh jiwa Leviathan. Perlahan garis hitam yang berada di tubuhnya menarik diri—berkumpul di punggung tangan kanannya lalu hilang.
Senyum gadis itu terbentuk. Ia mendekati tubuh Atheiv yang tidak sadarkan diri. Tubuhnya kini dipenuhi luka—dan berwarna kehitaman seolah telah membusuk. Dengan lembut gadis itu mengusap surai blonde Atheiv.
"Selamat, kau kini bersatu dengan Leviathanku."
.
Pemilik surai salju itu menghentikan langkah, menatap sosok lain yang hadir tanpa undangan resmi. Dengan helaan nafas ia mempersilahkan 'tamu tak diundang' itu untuk duduk, dan menjabarkan alasannya datang dan mengganggu pekerjaannya.
"Tuan V sepertinya ini akan menjadi penemuan besar," sosok Jeremy—sang penyusup—memulai percakapan dengan penuh semangat.
V menatapnya, lalu ia mengangguk kecil sebagai balasan atas pernyataan itu. "Itu bagus, kita akan berjalan lebih jauh daripada manusia di alam mereka."
Jeremy menyentuh bola kecil yang menyimpan seluruh bawaannya. Ia lantas mengeluarkan beberapa berkas tebal yang membuat wajah V menggelap. Setelah berkas itu keluar, Jeremy menekan tombol merah dan bola kecil yang melayang itu menjadi transparan.
"Astaga, ini seperti tidak ada akhirnya," V mengeluhkan berkas dari Jeremy. Ia selalu datang tepat setelah V baru saja menyelesaikan berkas sebelumnya.
Namun tujuan keduanya menghentikan keluhan V. Tepat setelah membaca berkas pertama yang sudah keluar dari amplop cokelat itu matanya berbinar, penuh semangat. Asal ide ini adalah V, namun pengembangan penuh atas ide itu milik Jeremy.
"Oke, kita mulai dari mini pocket ini."
.
Atheiv terbangun di ruangan serba putih, dimana ia tidak melihat apapun di dalamnya. Lalu ia mendengar suara yang bersahutan seperti sedang berada dalam perdebatan, dan ruangan itu memudar—digantikan pemandangan di sebuah tebing.