Sarapan hari ini terasa begitu menyenangkan. Setelah sekian lama akhirnya para keturunan Bathory dapat kembali berkumpul di meja makan bersama. Atheiv membawa piring berisi daging sapi bakar dan kentang kukus, disertai saus merah yang dituangkan dalam keadaan panas di masing-masing piring.
"Apa-apaan ini?" Ry menaikkan satu alis bingung, menyaksikan Atheiv menyajikan makanan, bukan para maid. Namun laki-laki itu mengulum senyum lembut, yang membuatnya bungkam seribu bahasa.
"Sebenarnya aku sering memasak dulu. Jadi aku ingin kalian merasakannya sesekali," berkata dengan riang, Atheiv kembali pamerkan senyum melihat respon positif yang diberikan.
"Cocok sekali untuk jadi calon suamiku," Vich berargumen.
"Uhuk!" V tersedak tiba-tiba, merasakan lelucon saudaranya mulai kelewat batas hingga membuat aura membunuh Ry muncul di sebrang sana.
Setelah usai dengan kegiatannya, Atheiv menyiapkan bagiannya sendiri. Lalu mereka berdoa dan mulai makan. Kerisauan muncul dalam gelat Ry, ia tentu saja tidak bisa makan karena harus melepas topengnya. Berbeda dengan Eme yang memiliki dua topeng berbeda, Ry tidak pernah berpikir untuk membuat topeng lain.
"Ry, kau tidak akan percaya ini. Ini sangat lezat," Vich berkomentar sambil memprovokasi adiknya. "Kalau kau tidak ada minat memakannya, aku bersedia menerima satu porsi tambahan."
Saat tangan usil Vich mendekati piringnya, es-es kecil bermunculan untuk menyergap. Vich tertawa, respon Ry selalu pantas dinikmati. Beberapa dari es itu bahkan menancap di piring Vich, membuatnya retak.
"Jangan bermain di saat makan, Ry, Vich." Teguran si sulung membuat kondisi kembali tenang.
Ry akhirnya membawa makanan itu masuk ke kamarnya, tidak ingin ketinggalan mencicipi makanan buatan Atheiv.
.
Arsein memeriksa kondisi tubuh Vich dan Ry bergantian. Begitu cahaya ungu itu selesai memindai laki-laki itu tersenyum lega, puas dengan hasilnya. Sejauh ini si kembar dinyatakan baik-baik saja, nyatanya keadaan mampu dibalik dalam sekejap mata, karena itu Arsein menolak lengah.
"Aku harap kalian tidak berlatih terlalu keras," Arsein menasehati, sosoknya kini seperti seorang Ayah yang memperingati anak-anak nakalnya penuh kekhawatiran. "Vich, berhenti mengganggu Ry. Ry, kau juga jangan terlalu sensitif pada hal-hal kecil."
Embel-embel 'Tuan' dan 'Nona' hilang begitu saja dalam sapuan angin sore, entah dibawa kemana. Yang jelas Arsein benar-benar serius, saat mengubah panggilannya pada kedua remaja super hiperaktif itu. Bagai kucing kecil yang patuh, mereka mengangguk bersamaan, diselingi tatapan memelas.
"Paman, aku akan tetap ikut perang, kan?" Ry menunjukkan sorot khawatir yang sengaja dibuat-buat. "Aku tidak bisa diam saja, dong, melihat keluargaku ditantang begini."
"Tidak." Penolakan tegas itu membuat senyum Ry bergetar di balik topengnya. "Aku bahkan lebih suka kalau kalian duduk nyaman di rumah seharian, agar sesuatu yang buruk tidak menimpa kalian."
"Sebenarnya aku iya-iya saja," Vich menambahi. "Tapi adikku yang taringnya setajam gigi piranha ini tidak akan berhenti, meski Paman berkata begitu. Jadi lepaskan saja." Vich tersenyum usil di sana, mengutarakan dukungan pada Ry dengan cara mengoloknya.
"Hah, kau piranha jantan," Ry mendesis, menahan gumaman penuh sumpah serapah meluncur dari bibirnya.