"Eme, ini hanya masalah kecil. Jangan membuka segel, okay?" Ry merapikan jas di bahu kakaknya, gadis itu sudah lebih tenang setelah diizinkan untuk tetap ikut serta.
Eme tersenyum lalu mengangguk. "Itu tidak masalah. Aku juga tidak mau topengku hancur karena membuka segel."
Atheiv memperhatikan, ia lantas menyimpulkan satu hal. Jikalau segel dibuka, maka topeng yang mereka kenakan bakal hancur, karena itulah saat penyatuannya Ry membuang topengnya. Ia menangguk kecil. Fakta yang menarik, batinnya senang.
"Apa yang kau lakukan, Arsein?" Ry bersuara dingin. "Keluarlah, aku tau kau disana."
Itu Arsein—kepala keluarga Kalaludiae. Ia tersenyum lebar begitu Ry mengatakan hal itu. Tubuhnya yang semula transparan semakin jelas telihat, lingkaran sihir di kakinya semakin memudar pula. Surai kelamnya tertata rapih, dihiasi sebuah topi putih.
Jubah putih sepanjang mata kaki milik Arsein menyapu permukaan tanah, tatapannya tidak teralihkan sedikit pun. Ia memeluk Ry dengan erat, seolah sudah ribuan tahun berlalu, Ry menepuk pelan punggung laki-laki itu—merasa sesuatu yang buruk bakal datang padanya.
"Aku ingin kau tahu, Nona. Ini bukan harinya," papar Arsein dengan berat hati. "Aku tahu ini seharusnya tidak meleset, namun Glam telah membaca takdirmu. Bukan hari ini, Nona."
"Apa yang kau katakan?" Suara lain menyahut. Itu Livia—seorang wanita bersurai seputih salju dengan topeng perak di wajahnya. Arsein membungkuk hormat, lalu tersenyum sedih.
Ratu—?! Atheiv dapat merasakan aura Livia yang sungguh mengerikan. Wanita itu menekan dirinya hingga gemetar, bahkan saat perhatiannya ada pada Arsein dan Ry.
"Saya yakin pada Glam, kekuatan Hatar hari ini tidak seimbang."
Ry menatap Livia, lalu mengepalkan tangan. "Nyawa Vich dalam bahaya, kau tidak bisa menundanya, Arsein."
"Kalau dilakukan sekarang, saya tidak bisa menjamin keselamatan Nona."
Livia bergeming, tidak ada kata-kata yang meluncur keluar dari bibirnya. Nampak tidak risau, Sang Ratu berbalik, meninggalkan sosok si bungsu Bathory dengan tangan mengepal. Arsein undur diri, memilih mengekor pada pemimpinnya untuk membicarakan sesuatu.
"Sial!"
.
Ry menatap lurus ke arah Atheiv yang kini disibukkan oleh beberapa vampire. Perang 'peringatan' itu telah dimulai tepat setelah kepergian Livia, yang disusul oleh Arsein. Anehnya jumlah vampire yang turun kurang dari seratus, dan di antaranya tidak ada vampire berkekuatan tinggi.
Bapa tidak terlihat, keturunan Bapa Phillipus juga nampak absen secara keseluruhan, membuat opini Ry menguat. Ada sesuatu dibalik perang ini. Hal lain yang diincar, selain pada kemenangan yang tidak mungkin.
'Trang!
"Akh!" Segerombolan vampire hilang setelah servus Eme—Buffer dari Ras Ular Putih—muncul dengan wujud raksasa.
Kris Phillpus! Ry menatap laki-laki navy yang muncul tiba-tiba itu.
"Kenapa baru sekarang?"
'Trang! Trang!
Tubuh kaku Kris yang tertusuk oleh pedang Eme menguap. Ry menatap dengan ekspresi gelap—merasa marah karena permainan rendahan Ras Vampire. Di sisi lain Atheiv dengan mudah menebas kepala para vampire, Ry diam-diam bersyukur laki-laki itu dapat tempat yang bagus buat berlatih.
Lingkaran merah di sekitar tubuh Eme bertambah, dan vampire yang gugur semakin banyak. Ry menatap dengan alis bertaut. Dia berniat memusnahkan vampire atau bagaimana? Pertanyaan itu melesat, kalau iya jawabnya, maka Ry harus menghentikannya.
Namun Eme menatap Ry setelah membuat ambruk tiga vampire, dan menghilang. Eme muncul di depan Ry. Ia nampak bersemangat dengan pedangnya.
"Jangan tatap aku begitu. Aku tidak akan membunuh semuanya."