Alasan laki-laki bersurai madu itu berada di tempat ini adalah kecelakaan kala itu. Kejadian yang membekas sempurna di memori, yang bahkan tidak bisa hilang meski ia dipaksa harus melupa.
Saat senja menyapa, ia berada di tempat dimana adiknya berjanji menemui dirinya. Laki-laki itu tinggal terpisah dengan ibu dan adiknya, dan hari itu adalah tepat dua tahun ia meninggalkan kota tempatnya dilahirkan. Merantau ke kota lain—mencoba mengadu kebentungan dengan beberapa lembar kertas berisi lowongan pekerjaan.
Kota London yang ditinggalinya kini, mulai dipadati para orang dewasa yang pulang dari tempat kerja. Ia menunggui adik kecilnya itu dengan tenang, sembari menengok toko roti yang baru buka di ujung jalan. Toko itu tidak begitu besar—minimalis, dan begitu sederhana— namun memiliki bau roti yang kuat, dan menyenangkan.
Lantas ia tersenyum, memikirkan bakal mencoba mampir esok dengan sang adik. Senyuman itu mengembang lebih lebar saat melihat siapa yang menepuk pundaknya ringan. Sosok gadis pirang dengan wajah datar khasnya menyapa. Bibir itu pamerkan senyum lebar—menampakkan kerinduan tanpa harus diucap.
"Sudah lama tidak ketemu, ya, Ath."
Merasakan bibirnya berkedut, lawan bicara dihadiahi sentilan di dahi, membuatnya menjadi kemerahan. "Kau sudah besar, makin kurang ajar, ya?" ia terkekeh sedikit, lalu menghela nafas. "Ya sudah, ayo."
Reuni kecil itu menghangatkan hati keduanya. Namun pertemuan itu tidak berlangsung lama. Takdir memutuskan untuk kukuh pada pendirian, dan membiarkan semua kejadian itu berlalu dengan sangat cepat.
"ATHEIV!"
'brak!
.
"Jangan melamun, Nak. Perhatikan langkahmu, bisa-bisa kau berguling di lumpur kotor seperti kemarin," nasihat pria berjanggut tipis itu.
Laki-laki itu menghela nafas, dan mengangguk. Ia kembali mengedarkan pandangan, menyadari betapa berbedanya tempat ini dari tempat tinggalnya dahulu. Tempat yang disebut sebagai Határ—dimensi kedua. Yang artinya dalam bahasa Hungaria adalah perbatasan.
Mereka yang berada di Határ sudah jelas nasibnya di dunia. Mengalami koma, tentu saja. Tubuh mereka tetap terjaga, meski terlihat begitu, jiwa mereka berkelana menuju Határ. Rumit seperti kisah dalam film laga—namun inilah kenyataan yang ada di depan mata. Memungkiri tak jadi pilihan bagus, semua orang harus mencoba lapang dada saat menerima diri mereka ada di tempat ini.
"Jangan menghela nafas lagi, Atheiv," laki-laki berkulit cokelat itu menepuk-nepuk punggung kawannya. "Nasibmu belum diputuskan, jadi jangan menyerah."