Reborn : Leviathan

Elizabeth Vee Bathory
Chapter #3

02 — Hutan Bebas

Mayat. Darah. Makhluk-makhluk bergigi runcing dengan tubuh besar mengintai di balik kegelapan.

Semua orang telah terbutakan oleh rumor mengenai hutan bebas. Tidak jelas darimana asalnya—begitu mulai berbicara, rumor tersebar dengan begitu cepat bagai api yang tidak pandang bulu. Jubah cokelat terang itu menutupi helaian rambut madu, sedangkan tangan sibuk menyingkirkan rerumputan setinggi tubuhnya yang dengan bebas tumbuh di jalan masuk.

Atheiv muncul dengan satu kesimpulan. Mereka hanya terlalu takut untuk memulai, waspada pada hal-hal yang tidak pasti mengenai dunia. Walau ia tau semua tempat pasti memiliki legenda, setidaknya makhluk-makhluk yang menunggui tidak bakal menganggu saat niat penjelajah tidak buruk. Itu adalah kepercayaan pribadi Atheiv, ia bahkan tidak mau tau rentetan alasan manusia yang melarang keras memasuki hutan bebas. 

Ren mengatakan bahwa banyak manusia yang hilang setelah memasuki hutan ini, dan Atheiv mengembalikannya pada kepercayaan yang ada dalam diri. Bahwa mereka punya niat tidak baik, jadi hilang mungkin saja hukuman yang didapatkan. Separuh dari orang yang berhasil kembali adalah tetua dari kalangan manusia, mereka banyak menceritakan betapa ganjil keadaan di sini. 

Ia melihat sesuatu yang lain di tempat ini. Tanaman dengan berbagai warna dan ukuran, lengkung-lengkung akar raksasa yang membentuk ruang, mirip gua kecil, juga pohon-pohon tinggi yang menutupi langit. Jalanan tidak becek, bahkan lebih baik dari saat pertama ia mencoba masuk ke daerah belakang rumah Ren—tanahnya licin, dan hampir runtuh. 

Negeri dongeng. Terbesit pernyataan konyol dalam benaknya, namun pemandangan ini indah tak terkira—ia berani bertaruh tidak ada yang bakal menyangka hutan bebas memiliki pemandangan menakjubkan.

"Mereka melihat tekadmu, sesuatu yang tidak bisa dilihat manusia biasa—keteguhan dan keinginanmu." 

Itu kata Ren soal servus di hutan bebas, tapi tidak ada apapun di sini. Atheiv melangkah lebih jauh, mengikuti jalan setapak yang dibuat dari bebatuan mengkilap. Ini terlihat bukan seperti terbentuk secara alami, namun memang sengaja dibuat oleh seseorang. Kilauan pantulan sinar matahari ke danau lebar di depan sana menyakiti matanya. 

Atheiv perlahan menurunkan tangan yang melindungi pengelihatan, lalu saat mata mulai mampu menyesuaikan, ia membuka mulut—terkagum melihat pemandangan di depan sana. Air jernih berwarna kebiruan itu membuat permukaan danau terlihat jelas. Ikan-ikan kecil yang berwarna emas bergerak memutar di sepanjang ruang dengan kelompok, lalu hilang di antara bebatuan yang tersusun agak tinggi. 

Banyak kilau-kilau yang menarik hati di dasar sana, Atheiv hanya mengangumi dalam diam, tanpa ingin memiliki satu dua kristal berwarna-warni itu. Lagipula ia tidak tahu seberapa dalam danau ini, bisa saja kristal itu digunakan untuk memancing seseorang masuk ke dalam, bukan? 

Lantas yang jadi pusat perhatian laki-laki itu adalah sosok wanita di sebrang danau. Ia memiliki surai biru langit sepinggang, membelakangi posisi Atheiv saat ini.

Atheiv jelasnya harus berjalan memutar, karena memilih menyebrangi danau bukanlah pilihan yang baik—kecuali dia perenang handal di masa lalu. Jalan setapak yang diikutinya ternyata mengelilingi danau, juga bercabang ke berbagai arah. Salah satunya menuju ke dalam hutan, nampak gelap dan menurun saat diintip dari tempatnya berdiri saat ini.

Aku bakal memeriksa lain waktu, ia berpikir sejenak, menatap jalan lain yang memiliki tanaman jauh lebih padat. Hal itu bahkan membuatnya tidak mampu melihat dengan benar. 

"Sein?!" 

Sosok gadis pirang dengan sepasang iris biru langit yang menenangkan itu menatapnya dalam senyum. Ia duduk bersandar di salah satu pohon terbesar sambil menanti Atheiv datang padanya. 

"Kau kenapa ada di sini?" Atheiv berjongkok, menyamakan tingginya dengan gadis itu. "Apa..., kau juga kecelakaan hari itu?" 

Air matanya menetes, sebuah rasa sesak menusuk dada Atheiv dalam satu waktu. Jika benar Sein mengalami kecelakaan, berarti ia berusaha menyelamatkan kakaknya—Atheiv—,dalam kejadian lalu. 

"Kenapa diam saja? Kita keluar dari sini, ikut aku ke pemukiman, oke?" 

Sein menggeleng ringan, ia masih menangis. "Tidak bisa pergi," paparnya parau, "aku terikat!" 

Lihat selengkapnya