Menghilang selamanya. Itulah yang diinginkan gadis berusia 22 tahun itu. Yana Aprilia, seorang mahasisiwi tingkat akhir semester akhir. Sekarang ini, dia sedang berdiri di atas jembatan yang di bawahnya dialairi air yang keruh. Deras. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan pelangi di ujung senja.
“Kali ini pasti aku akan mati,” gumamnya sembari mengambil ancang-ancang untuk melompat. Tak ada ketakutan yang tampak dalam matanya karena ini adalah percobaan bunuh diri yang ketiga kalinya. Sebelumnya gagal saat percobaan bunuh diri yang pertama, yaitu saat dirinya melompat di atas jembatan layang, namun gagal karena tubuhnya mendarat di atas truk yang berisikan kapas. Percobaan kedua, gantung diri di pohon belakang rumah, gagal juga, dahan pohonnya lapuk, gadis itu hanya mendapatkan luka kecil pada bagian lutut. Mungkin Tuhan masih menyayangi nyawanya.
Dalam hitungan ketiga.
“Selamat tinggal, Ibu ... Elmira ....” Gadis itu melompat sembari memicingkan mata. Kali ini dijamin, tidak ada yang akan menyelamatkannya. Tidak ada kesalahan kecil seperti percobaan bunuh diri yang pertama ataupun kedua.
Pandangan gadis itu hampir gelap. Tangannya masih menggapai-gapai di udara. Dia kehabisan napas. Tubuhnya sudah jauh terseret arus. Ini adalah akhir dari segalanya, harapan terakhirnya akhirnya terkabul. Pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
***
Di ruangan serba putih, terbaring seorang gadis berambut panjang cokelat pekat. Kulitnya berwarna putih. Ya, dia seperti mayat hidup dengan bibir yang tampak pucat, warna merah alaminya memudar. Bola mata cokelat bergerak-gerak di balik cakangnya.
Di mana ini?
Sekarang matanya sudah terbuka penuh. Pandagannya masih agak kabur menatap langit-langit ruangan. Tubuhnya terasa kaku untuk digerakan. Seakan dirinya sudah tertidur begitu lama sekali. Mencoba bangkit, namun tenaganya terkuras habis karena mimpi barusan. Dia bermimpi seperti dikejar sesuatu di dalam hutan—berlari sekuat tenaga dan kemudian datanglah sebuah cahaya—menyedot tubuhnya ke dalam cahaya itu.
“Apa aku belum mati?” tanyanya, sekuat tenanga berusaha mengangkat tangan kanan yang dipasangi infus. Kepalaya digeser ke samping melihat layar monitor yang menunjukkan bagaimana keadaan dirinya. Dia pun tersenyum kecut, ternyata kematian itu tidaklah mudah, pikirnya demikian.
Air mata gadis itu berlinang mengingat kehidupan selanjutnya, apa yang dia lakukan setelah ini? Bunuh diri yang ketiga kalinya pun gagal. Dadanya naik turun karena isakan tangisan yang tertahan. Bukan merasa bersyukur dia masih hidup, tapi dia malah semakin merutuki dirinya.
“Apa gunanya aku hidup? Semuanya sudah hancur. Aku mengecewakan ibu, hiks.”
“Anakku. Anakku, oh Tuhan, syukurlah!” Tiba-tiba seseorang masuk. Barang bawaannya terjatuh di depan pintu ketika melihat sang putri tercinta sudah bangun dari tidur panjangnya. “Mama pikir kamu tidak akan pernah bangun lagi,” katanya beruraian air mata sambil memeluk tubuh sang putri begitu eratnya, seakan tidak mau dilepaskan.
“Anda ... siapa?”
Pertanyaan itu membuat wanita berumur 35 tahun itu melepas pelukannya. Menatap putrinya lekat-lekat sembari menyentuh pipinya dengan kedua tangan. Meski putri tercinta sudah bangun, terasa menyakitkan juga ketika seseorang yang kita sayangi tidak mengingat kita lagi.
“Terima kasih sudah kembali.” Wanita itu kembali memeluk gadis di depannya. Tangisnya tidak mau berhenti, membuat yang dipeluk mengernyit heran. “Tunggu sebentar, mama akan panggil dokter,” sambungnya lekas beranjak. Ini adalah keajaiban. Wanita itu benar-benar senang atas kepulangan sang putri.
“Mama?” Gadis itu melongo heran menatap wanita yang sudah menghilang di balik pintu. Tiba-tiba dirinya mengingat seseorang.
Tidak berapa lama, seorang lelaki berjas putih memasuki ruangan dan di belakangnya diikuti oleh dua orang perawat. Di tangannya memegang map biru yang berisikan status pasien.
“Bagaimana keadaanmu, Annora? Apa yang kamu rasa?” Pria berkacamata itu bertanya. Karena tidak ada jawaban, lelaki itu melanjutkan memeriksa tubuh sang pasien.