Seakan terlahir kembali, namun dengan rag dan rupa yang berbeda.
Yana berdiri di depan cermin,memperhatikan dirinya dari ujung kaki hingga pucuk kepala. Ini bukanlah mimpi atau sebuah film yang belakangan ini marak mengakat sebuah cerita tentang seseorang terperangkap dalam tubuh orang lain. Tapi ini nyata. Yana mengalami itu semua.
Yana menatap kosong dirinya di cermin. “Aku sudah mati,” gumamnya mengingat tubuhnya sudah menjadi mayat beberapa hari lalu di rumah sakit. “Aku sudah mati!” kata-kata itu terus diulang.
Sekarang, aku adalah Annora Aurellia, gadis berumur tujuh belas tahun. Memiliki paras cantik, kulit putih, hidung kecil yang mancung. Jadi, apa yang harus kutakutkan lagi? Tanpa sadar air matanya sudah membasahi pipi. Meskipun ini bukan tubuhnya, namun semua ingatan tentang diri Yana tak bisa dihapuskan.
“Annora?” Suara panggilan diiringi ketukan pintu. Gadis berambut cokelat pirang itu menoleh ke belakang—melihat seorang wanita masuk—membawa napan yang di atasnya teronggok susu cokelat hangat dan roti berselaikan kacang. Kata dokter, Annora sudah bisa makan seperti sedia kala. “Sayang, kamu kenapa?” Segera Kania meletakkan napan itu di atas meja belajar sang anak.
Annora menggeleng.
“Apa ada yang sakit?”
Lagi-lagi Annora mengggeleng. Wanita yang memeluknya saat ini benar-benar baik. Annora merasakan kehangatan dari sentuhan dan perhatiannya. Annora, kamu sungguh beruntung memiliki orang tua seperti wanita ini, mungkin kau juga menjalani hidup dengan baik, batinnya.
“Besok kita akan ke rumah sakit untuk chek up,” ucap Kania masih khawatir dengan kondisi anaknya. Padahal dokter sudah mengatakan bahwasanya Annora baik-baik saja dan hanya perlu chek up bulan depan.
Gadis itu mengangguk, meski dalam hatinya berkata itu akan percuma. Tapi bagaimanapun juga, Annora tidak akan pernah kembali, itulah yang dirasa. Kemungkinan besar dia akan terperangkap dalam tubuh ini selamanya, menjalani kehidupan sebagai Annora Aurellia. Apakah ini jalan Tuhan untuknya agar bisa menjalani kehidupan baru tanpa adanya noda?
“Sayang, ayo diminum susunya, ntar dingin, loh!” Kania mengambil susu cokelat itu dan memberikannya pada tangan sang anak. Namun, Annora ragu untuk mengambilnya karena dia sama sekali tidak suka dengan susu.
“M-Ma, bisa diganti dengan teh hangat?”
Kania mengernyit. Bukankah Annora tidak suka teh? Apakah orang amnesia seleranya bisa berubah?
“Sayang, kalsium sangat perlu untuk tulangmu. Apalagi kamu baru sembuh.”
Annora menggeleng. Kalau dipaksakan minum, dia akan muntah. Dia tidak suka aromanya. Gadis itu menutup mulut beserta hidungnya dengan telapak tangan—meletakkan susu itu kembali ke tempat semula.
“Baiklah, Mama akan bikinin kamu teh hangat.” Usapnya pada rambut Annora, setelah itu melangkah keluar.
“Hah, apa yang harus kulakukan?” gumamnya melirik ke sekeliling kamar yang cukup luas ini. Ini berbeda sekali dengan kamar yang dia miliki di kampung halamannya. Tidak hanya sempit, tapi barang-barang di sana sudah pada reyot.
Annora melangkahkan kaki menuju pintu kaca, menuju balkon. Dia pun mengerjap beberapa kali, seakan sudah lama sekali dirinya tidak melihat cahaya matahari.
“Sayang, ini minum dulu tehnya,” kata Kania tiba-tiba sudah berdiri di belakang Annora. “Hmm, sedang berjemur, ya?”
Annora mengangguk pelan. Dia teringat dengan ucapan Dokter Vendri, menyuruh dirinya berjemur di bawah sinar matahari pagi. Itu bagus untuk tulang.
“Cepatlah sembuh! Dan semoga bisa cepat kembali ke sekolah.” Kania kembali mengusap rambut cokelat Annora, rambut yang sama dengan warna rambutnya.
“Se-sekolah?” Annora bertanya ragu. Pasalnya, bagaimana nantinya dia akan berbaur dengan orang-orang atau teman sekelasnya nanti.
Kania mengangguk. Wanita itu sudah berkonsultasi dengan Dokter Vendri, menurut pria itu tidak apa Annora kembali menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Semoga saja dengan begitu, Annora bisa mengingat masa lalunya dengan perlahan.