“Tumben lo gak kasih latihan hari ini. Biasanya kan lo paling bawel kalo misalkan ada waktu luang tapi gak dipakai latihan. Apalagi jadwal pertandingan udah dekat. Lo kenapa?”
Jonatan menghempaskan dirinya ke kursi ketika ia kembali ke ruang pengurus klub. Anak-anak lainnya sudah pulang setelah Jonatan berkata latihan ini selesai. Jadinya, tersisa Jonatan dan Alvito di ruangan klub. Yosua dan Bryan awalnya masih mau berada di ruang klub karena ingin berdiskusi dengan Jonatan. Tapi, karena teringat mereka masih ada makalah yang harus diselesaikan, jadilah Yosua mempercayakan ruangan itu kepada Alvito dan Jonatan.
“Biar mereka istirahat dulu. Hari ini udah kelihatan mereka gak fokus latihannya, jadi sekalian aja diliburin. Lagian, mulai besok mereka udah latihan berat, jadi gak apa kalo misalkan hari ini kosong dulu.”
Jonatan kemudian membuka kembali catatannya. Ia kemudian meminta Alvito untuk duduk di sebelahnya karena ada beberapa hal yang ingin Jonatan tanyakan kepada sahabatnya itu. Mereka terkadang berdiskusi beberapa hal bersama-sama. Namun, yang seringnya terjadi adalah Alvito lebih membuka sudut pandang lain dalam pemikiran Jonatan, lalu Jonatan mengolahnya menjadi sebuah ide yang bisa dijalankan.
“Pantes aja dulu lo kalo latihan progress-nya kelihatan banget. Ternyata setiap evaluasi lo selalu catat, terus lo juga memperhatikan kekurangan diri lo sendiri dari masukan setiap orang.”
“Iya dong, kan gua dulu anak kesayangannya Pak Heru. Everything must be perfect. Gimana sih?” balas Jonatan sambil meledek Alvito dan membuat anak itu hanya berdecak kesal. “Iya, iya. Pak Heru sayang ke semua anak kok. Buktinya lo juga dikasih kesempatan kan pas gua dirasa lagi gak perform?” lanjut Jonatan lagi.
“Iya kalo lo lagi mainnya gak bener. Kalo mainnya lagi bener? Gua mana kepakai,” ucap Alvito, teringat kembali dengan pengalamannya saat dulu SMP ketika ia masih satu tim bersama Jonatan.
“Intinya catatan-catatan kayak gini tuh berguna untuk evaluasi. Kadang orang suka gak sadar sama kekurangannya kalo gak ditunjukin sama orang lain. Begitupun dengan gua ataupun anak-anak lain di sini. Gua karena udah kebiasaan bikin beginian, jadi gua udah bisa mikir apa-apa aja yang perlu di-evaluasi. Tapi yang lain? Karena anak-anak di sini kurang bisa memahami potensi dan kekurangan mereka, jadinya gua perlu juga buat versi anak-anak lain, biar mereka juga bisa sadar dengan kemampuan mereka masing-masing.”
Jonatan berusaha untuk mengalihkan pembicaraan dengan mengembalikan fokus Alvito ke buku catatan miliknya. Jonatan merasa ini bukan saat yang tepat bagi Alvito untuk mengingat masa lalunya ketika mereka masih bermain voli bersama. Apalagi, yang diingat oleh Alvito malah ketika ia tidak menjadi spiker utama tim karena adanya Jonatan.
Di sisi lain, Alvito menjadi sedikit kepikiran dengan kemampuan dirinya. Walaupun sekarang ia merasa kemampuannya sudah jauh lebih baik, tapi jika ia mengingat kembali perjuangannya dulu ketika masih bermain bersama Jonatan, kemampuannya terasa berbeda jauh. Namun, Alvito berusaha menghilangkan pikirannya itu. Kini ia sudah bermain lebih baik, dan ia harus mampu membawa timnya itu bermain dengan baik, sama seperti dulu Jonatan membawa timnya berlaga di tingkat nasional.
Merasa penasaran dengan pendapat Jonatan terkait timnya, apalagi setelah Alvito membaca buku catatan milik Jonatan, ia kemudian bertanya kepada sahabatnya itu. “Menurut lo, dengan kondisi tim kita, kira-kira kita bakal melangkah sejauh mana di turnamen nasional nanti?”
Jonatan menghela napasnya saat mendengar Alvito bertanya, seolah berat untuk mengatakan jawabannya. Beberapa saat kemudian, setelah berpikir sejenak, Jonatan mengungkapkan pemikirannya. “Gak dibantai di babak pertama aja udah bagus banget.”