Alvito langsung merebahkan dirinya begitu ia tiba di kamarnya. Dirinya benar-benar merasa begitu lelah. Fisiknya sudah jelas terkuras akibat latihan. Namun, pikiran yang muncul dari kepala Alvito turut serta menghabiskan energi yang dimiliki anak itu. Jadinya, Alvito sudah tidak ada tenaga lagi untuk sekadar membersihkan badannya.
“Kalo dipikir-pikir lagi, selama gak ada Jonatan, kontribusi gua apa untuk tim?”
Alvito menghela napasnya berat. Pikirannya kembali berkelana ke zaman setelah Jonatan mengalami cedera untuk pertama kalinya. Alvito mencoba untuk mengingat kembali prestasinya selama ia bermain voli tanpa adanya kehadiran Jonatan. Hasilnya, setelah anak itu berpikir beberapa saat, Alvito hanya bisa memijat dahinya. Tanda ia mulai frustasi dengan dirinya sendiri.
“Gak ada yang juara ternyata. Mentok masuk Final doang, itu pun sekali aja pas SMA, turnamen regional, dan kalah. Masuk turnamen nasional juga cuma bisa sekali aja, itu juga kalah di babak delapan besar. Jadi, apa bagusnya gua selama main voli?”
Alvito kemudian berguling-guling di atas kasurnya karena merasa kesal dengan dirinya sendiri. Tidak lama kemudian, ia berhenti karena melihat sesuatu di pojok kamarnya. Alvito lalu berjalan ke arah itu dan kemudian ia mengambil barang-barang yang ada di sana. Isinya beberapa kelengkapan permainan voli miliknya yang sudah tidak terpakai. Ada juga satu album foto di sana. Alvito membukanya dan terlihat foto ketika dirinya menjadi juara nasional bola voli tingkat SMP bersama Jonatan dan Alvin.
“Kalo aja bukan karena Jonatan, kayaknya waktu itu gak bisa juara nasional deh,” gumam Alvito mencoba mengingat memori terkait pertandingan Final yang menegangkan itu. Sayangnya, ketika berhasil mencetak poin terakhir untuk timnya, Jonatan malah cedera dan berujung anak itu rehat panjang dari dunia voli. Saat memikirkan kondisi Jonatan dan juga apa yang sudah terjadi di klub voli beberapa hari ini, Alvito menggeram kesal lagi.
“Anak itu udah pensiun lama tapi masih bisa kayak gitu mainnya? Terus gua apa dong?”
Helaan napas panjang pun terdengar kembali dari diri Alvito. Setelah merenung beberapa saat, Alvito kemudian meletakkan kembali barang-barangnya itu, lalu merebahkan dirinya lagi di atas kasur. Tatapannya kosong ke arah langit-langit kamarnya. Setelah pikirannya terus berjalan selama beberapa saat, Alvito akhirnya memutuskan untuk melakukan sesuatu demi memperbaiki kemampuannya itu.
“Oke deh. Gua udah kepikiran satu hal. Semoga aja gua bisa menjalaninya dan semoga anak-anak lain gak kepo dengan apa yang bakal gua lakuin ini.”
*****
Beberapa hari berlalu. Latihan rutin di klub voli masih berjalan seperti yang dijadwalkan Jonatan. Masih banyak hal yang perlu diperbaiki setelah Jonatan mengevaluasi hasil latihan anak-anak. Latihan teknik yang biasanya ditekankan oleh Jonatan juga kini digabung dengan latihan fisik. Itu karena Jonatan merasa kemampuan fisik mereka masih kurang sehingga akurasi dalam pukulan menjadi kurang baik.
“Jonatan udah gila kayaknya. Loncat sambil keliling lapangan voli, itu gimana ceritanya coba?”
“Napas gua kayak udah mau habis gara-gara disuruh jalan tapi sambil passing bawah. Mana kuda-kudanya harus benar lagi. Kalo kaki-nya gak nekuk, anak itu malah ngomel.”
“Keliling lapangan lima kali tapi sambil kuda-kuda? Bikin lutut gua sakit ini mah.”
Jonatan hanya bisa menggelengkan kepalanya saat mendengar berbagai macam keluhan dari anak-anaknya itu. “Padahal dulu gua pas SMP juga kan udah kayak gini latihannya. Emang dasar mereka aja belom terbiasa, jadinya sekalinya pas sesi latihan beneran, mereka protes mulu,” gumam Jonatan pelan. Namun, Jonatan memaklumi jika mereka terkejut dengna porsi latihan ini. Itu karena sebelum kedatangan dirinya, anak-anak hanya berlatih ala kadarnya saja. Jadi, begitu Jonatan hadir dengan berbagai macam metode latihan yang biasanya diterapkan oleh klub lamanya, tidak kaget jika anak-anak jadinya mengeluh.
Jonatan kemudian menghampiri anak-anak yang tengah istirahat itu. Hanya sekumpulan anak tingkat dua dan tiga yang ada di sana karena anak-anak tingkat empat masih sanggup untuk melanjutkan latihannya, meskipun tidak dengan intensitas yang tinggi seperti saat Jonatan mengawasi mereka.
“Protesnya udah kelar? Kita baru latihan fisik nih. Masih ada sesi latihan teknik. Ingat, jadwal latihan kalian udah gua susun. Jangan sampai jadwalnya molor karena kalian istirahat terus.”
“Tapi kan ini latihannya udah berat. Kasihan kita nanti.”
“Kan udah gua hitung berdasarkan pengalaman gua melatih kalian pas regional. Ini masih standar kok, kalian aja yang belom terbiasa. Kalo gua sadis mah, gak ada itu istirahat sepuluh menit kayak gini padahal satu sesi baru jalan satu jam.”
Anak-anak mengeluh panjang saat mendengar Jonatan masih bisa membalikkan ucapan mereka sekalipun anak-anak sudah berusaha untuk meminta belas kasihan dari anak itu. Jadinya, anak-anak pun merutuki Jonatan.
“Kejam.”
“Dasar iblis.”
Jonatan tertawa sejenak, lalu ia melempar bola voli yang ada di tangannya ke anak-anak itu. “Iblis iblis begini kalo kalian nanti bisa menang di turnamen juga jadinya bilang gua itu malaikat. Udah sana. Sepuluh menit lagi kalian balik latihan lagi. Waktu kita gak banyak, mending dimanfaatkan dengan baik.”
Usai selesai mengingatkan waktu istirahat kepada anak-anak itu, Jonatan lalu berkeliling kembali. Kini pandangannya beralih ke arah Alvito. Saat melihat anak itu yang tengah tersengal-sengal sambil mengatur kembali napasnya, Jonatan teringat sesuatu.