“Iri sama kemampuan gua?”
Jonatan tanpa sadar mengucapkan kembali kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Alvito. Tidak begitu kencang, namun masih dapat didengar oleh Alvito. Setelah bisa kembali menguasai dirinya, Jonatan lalu memastikan bahwa pendengarannya tidak salah dengan bertanya kembali kepada anak itu.
“Ya benar lah. Emangnya gua perlu bohong kalo urusan ginian? Gua beneran iri sama lo.”
“Kok bisa?”
Alvito tertawa sinis saat mendengar Jonatan berkata seperti itu. “Pake nanya segala. Gua selama ini berusaha buat berpikir kalo setiap orang ada porsi kemampuannya sendiri. Karena itu, gua berusaha buat terus latihan lebih biar seenggaknya gua bisa menyamai kemampuan lo. Tapi hasilnya? Lo yang baru sembuh cedera aja masih bisa ngelewatin skill gua yang udah latihan ekstra. Gimana gua gak iri sama lo?”
“Tapi, lo aja udah tahu kalo tiap orang itu kemampuannya beda-beda. Kenapa lo masih harus ngebandingin diri lo dengan gua?”
Jonatan masih mencoba meyakinkan Alvito dengan berusaha membalas dengan tenang. Namun, karena Alvito sudah terbawa emosi, jadinya anak itu semakin kesal setelah mendengar perkataan Jonatan.
“Lo pikir gua gak kepikiran apa pas ngeliat permainan lo? Gimana bisa gua yang udah latihan sampai lo anggap berlebih itu masih gak bisa menyamai lo? Walaupun kemampuan orang beda-beda, tapi tiap gua ingat lagi ke diri gua, gimana gua gak kesal pas tahu kalo gua masih stuck gitu-gitu aja sekalipun udah latihan banyak?”
Mendengar Alvito yang terus menerus merasa kesal dengan dirinya namun mengarahkan kekesalan itu pada dirinya, Jonatan mulai kehilangan kesabarannya. Dari yang semula ia berusaha untuk membalas ucapan Alvito dengan baik-baik, kini Jonatan tanpa sadar meninggikan suaranya, tanda ia sudah ikut terbawa emosi akibat perbicaraan ini.
“Ya terus? Kalo gitu, ngapain lo jadi fokusnya ke gua? Kan lo bisa fokus dengan naikin kemampuan lo, jadinya gak usah nambah pikiran yang gak perlu. Latihan juga udah setiap hari, ngapain lo sampai harus nambah latihan pagi-sore? Badan lo emang sanggup? Nanti sakit lagi juga percuma kan?”
“Lo masih gak paham juga ya ternyata? Gua latihan keras kayak gini biar bisa naikin kemampuan gua. Karena itu, jadwal latihan gua jadinya berlebihan. Terus, lo yang kemampuannya udah jauh lebih baik tiba-tiba bilang kalo gua harus sadar diri, ini itu segala macam. Orang lain yang dengar itu juga kesal kali. Lo yang jenius gitu mana paham sama struggle anak biasa kayak gua ini yang perlu porsi latihan lebih? Jadinya salah kalo misalkan jadinya gua iri sama kemampuan lo? Dengan waktu latihan lo lebih sedikit, lo udah bisa melampaui kemampuan gua yang berlatih berkali-kali lipat dari lo?“
Jonatan mengepalkan tangannya. Baru saja ia hendak membalas ucapan Alvito, tiba-tiba Bryan dan Yosua menghampiri dua anak itu. Mereka merasa ada yang tidak beres dengan interaksi Alvito dan Jonatan. Selain itu, karena merasa keributan yang ditimbulkan dua anak itu tidak kunjung usai, Yosua dan Bryan merasa perlu untuk menengahi mereka. Di sisi lain, anak-anak sisanya memilih untuk tetap berada di pinggir lapangan, tidak mau ikut campur dengan keributan Jonatan dan Alvito.
“Ini ada apaan sih? Kalian ribut sampai lama begitu.”
Jonatan dan Alvito hanya menghembuskan napas kasar. Baru setelah beberapa saat, Jonatan menjawab pertanyaan Yosua. “Gua cuma mempermasalahkan Alvito yang latihan mandiri tiap pagi sama siang, tapi gak ingat sama kondisi badan dia. Terus, Alvito gak terima, jadinya keterusan deh ributnya.”
“Emangnya kenapa kalo misalkan Alvito latihan mandiri kayak gitu? Yang penting dia bisa atur kondisi diri kan?”
Jonatan mendecak kesal saat mendengar ucapan Bryan. “Kalo Alvito anaknya lagi sehat sih, gua kasih-kasih aja. Lah ini? Kemarin pas turnamen aja baru latihan nambah dikit udah langsung opname. Terus baru keluar rumah sakit berapa hari, udah maksain diri lagi. Gimana gua gak kesal coba? Nanti kalo dia opname lagi kan, yang repot satu tim. Turnamen nasional udah mepet, tapi kesehatan sendiri gak dijaga.”
“Gua masih sadar diri ya. Lo-nya aja yang gak tahu sama kondisi badan gua.”
“Ya jelas lah gua gak tahu. Lo aja minjam ruang klub diam-diam tanpa sepengetahuan gua. Udah beberapa hari pula.”