Rebuild The Club!

William Oktavius
Chapter #4

Volleyball Club

Jonatan langsung menelan ludahnya saat mendengar alasan dari Alvito. Apa kondisinya udah se-gawat itu ya sampai Alvito se-ngotot ini ngajakin gua ke klub voli? batin Jonatan saat memikirkan kembali alasan dari Alvito. Karena itu, setelah menghela napas panjang, Jonatan akhirnya memberikan jawabannya.

“Ya udah kalo gitu. Nanti sore gua bakal coba mampir ke klubnya. Gua bakal lihat-lihat dulu, tapi gua gak akan langsung ngasih jawaban oke atau nggaknya.”

Seketika, Alvito langsung mengangkat kembali kepalanya. Senyum Alvito juga ikut melebar saat mendengar ucapan dari Jonatan. “Gak apa. Yang penting lo udah mau datang ke klub, gua udah senang kok. Nanti dari situ baru lo bisa pikirin lagi gimana baiknya.”

“Tapi, kalo misalkan gua gak jadi masuk ke kampus ini, lo gimana mencari anggota barunya?”

Jonatan tiba-tiba teringat mengenai hal ini. Ia saja tidak sengaja bertemu dengan Alvito, lalu semuanya terjadi begitu saja. Lantas, bagaimana jika seandainya mereka berdua tidak jadi bertemu? Atau bagaimana jika seandainya Jonatan tidak jadi masuk ke kampus ini? Bisa saja Alvito tidak menemukan orang yang tepat kan?

“Gua akan berusaha mencari segala kemungkinan yang ada sih, setidaknya yang bisa memperpanjang napas klub biar gak sampai dibubarkan. Lalu, kebetulan banget ada lo, yang udah paham banget sama voli. Jadi, gua merasa sekalipun lo udah gak jadi pemain, lo pasti masih bisa ikut membantu tim ini.”

“Hitung-hitung lo gak perlu repot-repot nyari lagi yang lain karena tau-tau ketemu sama gua yang udah teruji kualitasnya ya?”

Jonatan menghela napasnya. Ternyata seperti itu alasannya. Tapi, masih ada hal lain yang mengganjal di pikiran anak itu. “Kenapa dari kemarin lo ngejar-ngejar gua terus? Kenapa gak coba rekrut anggota baru aja? Bukannya setiap tahun pas penerimaan mahasiswa baru, semua klub di kampus bakalan berusaha buat nyari anggota baru besar-besaran ya?”

Alvito menundukkan kepalanya. Sepertinya ia sedikit sedih saat ingin menceritakan bagian ini. “Klub voli gak dibolehin buka stand pas display UKM karena statusnya sedang di dalam pemantauan. Nah, kalo misalkan kita berhasil di nasional, kita boleh rekrutmen terbuka lagi karena klub ini gak jadi dibubarkan. Tapi, kalo gagal, ya sudah. Klub voli ditutup. Kasihan juga sama anggota baru nanti kalo misalkan baru join tapi tau-tau dibubarin karena kita gagal buat sampai ke turnamen nasional.”

Pasti berat juga ya jadi anggota klub voli. Targetnya gak nanggung-nanggung. Harus sampai ke tingkat nasional, pikir Jonatan setelah mengetahui jawaban dari Alvito. Akhirnya, setelah terdiam beberapa saat, Jonatan kembali berjanji kepada Alvito bahwa ia akan mengunjungi klub voli dan melihat terlebih dahulu keadaan klub voli kampus mereka.

*****

“Ini klub volinya? Kalo kayak gini, pantas aja kampus minta klub ini dibubarin.”

Dua kalimat diucapkan Jonatan begitu sampai di tempat latihan klub voli terasa begitu pedas di telinga Alvito. Tapi, apa yang dikatakan Jonatan itu benar adanya. Hanya ada tiga mahasiswa yang sedang berlatih di lapangan. Selain itu, tidak ada orang lagi yang berada di lapangan voli.

“Jahat banget ih mulutnya,” rengek Alvito saat Jonatan berkata seperti itu. Walaupun sebenarnya ia mengakui ucapan Jonatan bahwa klubnya memang menyedihkan, tapi tetap saja terasa cukup pedas saat ia mendengarkannya langsung dari mulut temannya itu.

“Ya habisnya lihat aja itu berapa banyak yang latihan. Dulu kita mau tanding aja berapa bulan sebelumnya udah sibuk banget, sampai anggota baru tuh baru boleh ikut tanding di tahun berikutnya. Kalian yang targetnya tembus turnamen nasional malah orangnya yang muncul cuma segini.”

“Oh, ini jadi yang namanya Jonatan, yang ngebuat Alvito seminggu ini ngehubungin gua terus buat pinjam lapangan voli tapi ujung-ujungnya ngebatalin karena Jonatannya gak mau dateng?”

Di saat sedang mengeluh mengenai kondisi klub kepada Alvito, tiba-tiba ada seseorang yang datang menghampiri mereka berdua. Tapi, wajah Jonatan menjadi sedikit kaget saat mendengar ucapan orang itu. Ia tidak menyangka bahwa effort Alvito besar juga sampai rela meminjam lapangan voli setiap hari. Jonatan selama ini mengira Alvito hanya bermodal bola voli dan kenekatan saja untuk mengajak dirinya bergabung ke klub voli. Jadinya, Jonatan juga merasa tidak enak kepada Alvito karena sikap menyebalkannya itu

“Maaf.”

Lihat selengkapnya