“Separah itu ya emang permainan anak-anak tadi?”
Jonatan menarik napasnya dengan berat. Ia pulang bersama dengan Alvito setelah sparring hari ini berakhir. Jonatan lalu menatap langit sore itu, kemudian menjawab pertanyaan dari Alvito. “Kalo Pak Heru tahu ada permainan kayak tadi, kayaknya dia bakal pensiun jadi pelatih deh,” jawab Jonatan sedikit bercanda.
Pak Heru adalah pelatih ekskul voli ketika Jonatan dan Alvito berada di SMP dulu. Cara melatihnya cukup sadis dan ia tidak akan segan memarahi setiap anggota yang tidak bermain dengan benar ketika di lapangan. Jonatan saja pernah diomeli karena gagal menghasilkan poin dari smash-nya padahal anak itu sudah melakukan smash tiga kali berturut-turut dalam satu poin. Meskipun jika sedang turnamen pelatih itu menjadi baik, karena tidak mau memberikan pressure berlebih selama pertandingan, tapi ketika evaluasi sudah dilaksanakan, siap-siap saja untuk dimarahi habis-habisan jika si pemain itu berbuat banyak kesalahan. Bagaikan sedang mengikuti sesi penghakiman terakhir, semua kesalahan akan disebutkan satu per satu oleh si pelatih di hadapan seluruh anggota tim.
“Benar juga sih. Apalagi kalo lagi gagal servis. Langsung diteriakin kayaknya deh,” kekeh Alvito ketika mengingat lagi kenangan lama.
“Tapi, kemampuan lo masih tetap sama padahal lo gabung sama tim yang kayak gitu. Keren juga lo,” puji Jonatan saat menyadari kemampuan Alvito masih cukup baik, sekalipun partner bermainnya tidak terlalu baik.
“Ah, masa sih?” balas Alvito sambil terkekeh pelan. Meski begitu, ia senang juga karena Jonatan mengakui kemampuannya masih cukup baik. “Soalnya gua selalu ikutin apa yang dulu Pak Heru ajarin. Sama ditambah saran lo, jadinya gua masih bisa main dengan baik deh,” lanjut Alvito lagi.
“Walaupun begitu, dengan permainan anak-anak kayak tadi, bisa aja nanti lo ikut terpengaruh sih. Jadi, sebaiknya lo pindah klub aja deh biar potensi lo gak tertutup gitu aja.”
“Ya gimana ya. Kan gak mungkin juga gua pindah kampus demi klub voli. Jadi, gua bakal memanfaatkan setiap kesempatan aja selagi masih bisa bermain voli.”
“Kalo begitu, minta mereka buat membenarkan permainan mereka deh. Biar setidaknya lo bisa main di turnamen sedikit lebih lama, gak kalah di babak pertama lagi.”
“Kalo itu kan tugas lo sebagai pelatih.”
“Benar juga.” Jonatan terdiam sejenak. Sesaat, ia menyadari masih banyak sekali yang harus diperbaiki agar permainan klub mereka bisa membaik. Sambil menarik napas dengan berat, Jonatan berharap agar ia bisa segera menemukan menu latihan terbaik untuk anak-anak klubnya itu.
“Semoga gua bisa membuat permainan kalian lebih baik lagi deh ya.”
*****
“Gua kesal banget sama Jonatan.”
Di sisi lain, Vincent ikut mengeluarkan uneg-uneg-nya kepada James. Mereka berdua memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu restoran cepat saji seusai pulang dari latihan hari ini. Sambil mengonsumsi makanan mereka, Vincent mengutarakan betapa tidak sukanya ia dengan pelatih klub volinya itu.
“Heran gua sama anak-anak yang lain. Kok mau-mau aja disuruh ini-itu sama Jonatan? Padahal dia kan anak baru. Pas di SMA juga dia gak kedengaran kan namanya? Mana bisa dia melatih kita.”