“Ini adalah hari yang sudah ditentukan. Saatnya kita menunjukkan apa yang sudah kita latih selama beberapa bulan ini.”
Di hadapan anak-anak klub voli, Jonatan berusaha menaikkan kembali semangat anggota klub sebelum mereka pergi ke tempat pertandingan. Persiapan mereka sudah dilakukan selama beberapa minggu terakhir, kini saatnya mereka menunjukkan hasil latihan yang sudah mereka jalani di turnamen.
“Kalian sebelumnya udah pernah melawan tim dengan kualitas nasional. Kalian sudah bisa bermain dengan ketat saat melawan mereka. Jadi, sekarang kalian seharusnya sudah siap untuk melawan tim ini.”
Jonatan menjelaskan singkat mengenai calon lawannya itu. Tidak terlalu panjang lebar, tapi cukup untuk membuat anak-anak paham mengenai gambaran permainan yang akan mereka jalani hari ini. Setelah semuanya selesai, Jonatan lalu meminta anak-anak untuk membuat lingkaran. Tidak lupa mereka berdoa terlebih dahulu agar pertandingan hari ini dapat berjalan lancar. Setelah itu, mereka berteriak semangat, tanda siap untuk pergi menuju tempat pertandingan.
“Universitas Harapan Jaya?”
“Let’s go!”
*****
Ketika memasuki venue pertandingan, semangat membara yang anak-anak rasakan sebelum berangkat seolah lenyap. Mereka menjadi sedikit nervous ketika sudah tiba di venue. Suasana yang berbeda, lalu juga kumpulan mahasiswa dari universitas lain, membuat anak-anak menjadi gugup. Di sisi lain, Jonatan yang mendampingi mereka juga ikut nervous. Tapi, Jonatan berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkan rasa gugupnya itu. Bisa bahaya jika anak-anak lain malah tambah gugup karena melihat dirinya tidak tampil tenang. Berusaha menyingkirkan pikirannya itu, Jonatan akhirnya kembali fokus pada pekerjaannya itu.
“Kalian ke ruang tunggu pemain aja dulu. Gua mau ke panitia sebentar buat mastiin berapa lama lagi kita main,” sahut Jonatan kepada anak-anak setibanya mereka di dekat ruang pemain. Yosua kemudian mengambil alih komando dan memandu anak-anak lainnya ke ruang pemain, sementara Jonatan pergi menuju lapangan pertandingan.
Sepeninggal Jonatan, Yosua mengajak anak-anak untuk masuk ke ruang pemain. Setelah itu, Yosua membebaskan anak-anak untuk mengisi waktu masing-masing. Mereka kemudian berpencar, namun masih berada di area yang berdekatan. Sementara itu, Jonatan pergi sejenak untuk melihat lapangan voli yang akan digunakan untuk bertanding. Setelah mengamati sejenak tempat pertandingan mereka, Jonatan pergi menuju ke wilayah administrasi untuk mengonfirmasi kedatangan anggota timnya dan juga memastikan kembali mengenai jadwal pertandingan mereka.
*****
“Kaki gua kok kayaknya agak lemas ya?” sahut Calvin ketika mereka berada di ruang pemain. Saat tengah mengisi waktu sambil menunggu giliran bertanding, Calvin merasa dirinya sedikit berbeda. Terasa aneh, jadinya Calvin mencoba memberitahu kondisinya itu kepada anak-anak lainnya.
Namun, mendengar kondisi Calvin tidak begitu baik, beberapa anak lain jadi ikut-ikutan mengalami apa yang dirasakan oleh Calvin. Contohnya, James ikut merasakan mulas pada perutnya dan Vincent merasa sedikit mual. Meskipun ini adalah pertandingan kedua bagi James dan Vincent selama menjadi anggota klub voli Universitas Harapan Jaya, tetap saja dua anak itu mengalami gejala tidak nyaman sebelum bertanding.
“Gak perlu ada yang perlu di-khawatirkan. Tenang aja. Yang penting kita percaya dengan kemampuan kita dan enjoy aja permainannya nanti,” sahut Yosua mencoba menenangkan anak-anak klubnya. Yosua tahu bahwa gejala yang adik tingkatnya rasakan itu adalah nervous, jadi bukanlah penyakit fisik yang perlu sampai dirawat di ruang medis. Karena itu, Yosua mencoba menenangkan anak-anak yang tengah bermasalah. Tapi, sepertinya ucapan dari Yosua belum begitu berdampak karena kali ini giliran Alvito yang meminta izin untuk menyendiri di pojok ruangan.
Melihat kelakuan anak-anak klubnya, Yosua hanya bisa menarik napasnya berat. Ya sudahlah, kayaknya mereka emang lagi butuh waktu dengan pikiran mereka, jadinya pada nervous, pikir Yosua. Setelah itu, Yosua kemudian membiarkan anak-anak larut dalam kegelisahannya, tetapi mereka harus bisa mengendalikan diri mereka lagi jika waktu untuk bertanding sudah hampir tiba. Kini, Yosua memilih untuk menghabiskan waktu dengan mengobrol bersama Bryan sambil tetap memperhatikan kelakuan anggota timnya itu.
*****
Eh, ini anak-anak pada kenapa? Suasananya begini banget, batin Jonatan sedikit kaget usai ia kembali lagi dari ruang panitia. Tidak terlalu ramai, tapi aura yang Jonatan rasakan sedikit suram. Beberapa saat kemudian, Jonatan tersadar bahwa ini adalah pertandingan resmi bagi anak-anak setelah tahun kemarin dikalahkan dengan telak. Jadinya, Jonatan memaklumi apa yang mereka rasakan.
Jonatan kemudian menatap sekeliling, mencoba mencari keberadaan ketua klubnya itu. Namun, pandangan Jonatan langsung terfokus pada salah satu pojok ruangan. Itu karena Jonatan melihat Alvito duduk diam di pojok ruangan sambil memeluk kedua kakinya. Alvito juga mengepalkan kedua tangannya dan tangannya itu didekatkan pada mulut. Melihat tingkah laku temannya itu, Jonatan bisa tahu bahwa Alvito sedang gugup dan berusaha untuk menenangkan diri. Jonatan ingin ke tempat Alvito, namun karena ia harus melaporkan situasi yang ada di lapangan terlebih dahulu pada Yosua, jadinya Jonatan baru menghampiri sahabatnya itu beberapa saat kemudian.
“Kurang lebih begitu,” ucap Jonatan menjelaskan bahwa jadwal pertandingan mereka masih diperkirakan satu hingga dua jam lagi, jadi anak-anak masih ada waktu cukup untuk menenangkan diri. Jonatan paham bahwa ini adalah saatnya bagi anak-anak untuk fokus pada dirinya sendiri. Jadinya, Jonatan merasa membicarakan strategi permainan nanti saja saat waktunya sudah tiba. Setelah itu, Jonatan meminta Yosua ikut membantu anak-anak lain menghadapi rasa gugupnya karena Jonatan ingin fokus pada Alvito yang masih menyendiri di pojok ruangan. Yosua menyanggupi, lalu Jonatan pergi menghampiri temannya itu.
“Lo masih bisa nervous? Padahal lo udah wara-wiri ikut turnamen dari SMP?”
“Jonatan?” sahut Alvito terkejut. Ia tidak menyangka bahwa sahabatnya itu akan tiba-tiba datang menghampiri dirinya. “Nervous? Ah, nggak kok. Kata siapa?” lanjut Alvito lagi berusaha menutupi rasa gugupnya itu. Tapi, karena ucapannya sedikit bergetar, Jonatan langsung tertawa.
“Suara bergetar kayak gitu bisa-bisanya lo bilang gak nervous,” ledek Jonatan. Anak itu juga langsung meraih telapak tangan Alvito. Terasa dingin dan juga berkeringat. “Yang kayak gini kalo bukan nervous apa dong?” lanjut Jonatan lagi, berusaha meminta Alvito untuk jujur saja kepada dirinya.
“Iya, iya. Gua emang lagi nervous. Terus kenapa? Gak boleh?” balas Alvito dengan cepat. Akhirnya mengakui kegugupannya itu di depan Jonatan, tapi disampaikan dengan nada sedikit kesal.
Jonatan sedikit terkejut saat melihat temannya itu sedikit emosional. “Eh, kalem aja, kalem. Gua gak maksud kenapa-kenapa kok,” ucap Jonatan sedikit kaget. Tidak menyangka bahwa ledekannya itu ternyata bisa menyebabkan Alvito sedikit kesal. Jadinya, Jonatan akhirnya meminta maaf karena ucapannya itu.
“Maaf kalo udah buat lo gak nyaman. Habisnya lo gak kayak biasanya, jadi gua mau coba mencairkan suasana biar lo gak tegang-tegang banget.”
Alvito hanya diam saja, membuat Jonatan sedikit takut juga jika temannya itu kenapa-kenapa. Sesaat kemudian, Alvito akhirnya memilih untuk menceritakan kegelisahannya itu kepada Jonatan.
“Sejujurnya, kalo bukan karena turnamen ini bakalan jadi turnamen penentu nasib klub, gua gak bakal se-tegang ini. Benar kata lo, gua udah sering ikut turnamen, bahkan kita udah beberapa kali merasakan final yang pressure-nya lebih parah. Tapi, kalo boleh jujur, dulu gua bisa gak nervous karena ketolong sama keberadaan lo di klub. Pas lo gak ada di SMA, gua juga masih kebantu sama anak-anak lain yang bisa diandalkan. Lalu, pas tahun kemarin gua tanding dengan tim ini, gua masih bisa kalem karena gua cuma pengen enjoy the show. Tapi, begitu dibilang kalo turnamen kali ini bakalan jadi penentu nasib klub, gua jadi nervous. Gua takut kalo jadi penyebab kekalahan seandainya gua main gak benar kali ini.”
Penjelasan panjang lebar dari Alvito membuat Jonatan mengerti. Anak itu sepertinya masih memikirkan apa yang waktu itu Jonatan katakan mengenai peluang mereka di turnamen kali ini. Jonatan merasa ia perlu mengingatkan kembali kepada Alvito mengenai esensi pertandingan hari ini agar anak itu tidak terlalu kepikiran. Bahaya juga jika nervous-nya Alvito berpengaruh pada permainan mereka di klub dan ketakutan Alvito malah benar-benar menjadi kenyataan.