Rebuild The Club!

William Oktavius
Chapter #19

We're Still Have Hope in This Tournament

“Kita berhasil lolos dari babak pertama.”

Calvin masih tidak menyangka bahwa dengan segala macam keterbatasan yang ada, timnya berhasil melalui rintangan pertama di turnamen ini. Jadinya, ketika ia pulang dari tempat pertandingan, Calvin tidak kunjung berhenti mengucapkan kegembiraannya itu kepada Alexander.

“Bayangin. Tahun kemarin kita kalah di babak pertama. Terus latihan ala kadarnya. Eh, sekarang kita bisa selamat dari babak pertama. Kan berarti kita ada peningkatan,” lanjut Calvin lagi dengan semangat. Perkiraan dirinya bahwa tim Universitas Harapan Jaya akan kesulitan melewati babak pertama sudah terjawab, sekarang saatnya untuk fokus di babak berikutnya.

“Berarti itu berkat pertolongan Jonatan juga di klub,” balas Alexander sambil tidak lupa juga mengingatkan bahwa ada orang lain yang ikut membantu perkembangan klub mereka hingga titik ini.

Calvin terdiam. “Benar juga sih. Kalo misalkan gak ada dia, kayaknya kita masih kayak tahun kemarin deh. Bisa-bisa kita kalah lagi di babak pertama,” timpal Calvin ikut setuju dengan ucapan Alexander. Memang, kehadiran Jonatan masih cukup sebentar, jadi anak itu baru bisa melatih dalam durasi singkat saja. Tapi, mereka setidaknya sudah lebih baik dalam beberapa hal dasar voli, ditambah mereka juga sudah punya strategi dalam bermain, jadi setidaknya mereka sudah lebih baik jika dibandingkan tahun sebelumnya.

“Meskipun begitu, jangan lupa juga kalo lawan setiap babaknya akan semakin susah. Kita emang udah bisa lewatin rintangan pertama. Tapi, dengan kemampuan kita, bisa sampai berapa jauh nanti kita di turnamen ini?”

Meskipun ucapan Alexander terdengar seperti seseorang yang tengah pesimis, tapi Calvin jadi bersemangat ketika membalas ucapan anak itu. “Karena itu gua bakal berusaha untuk bermain sebaik mungkin biar kita semua bisa melaju jauh di turnamen kali ini,” ucapnya sambil mengepalkan tangan.

Sementara itu, Alexander hanya tersenyum saja mendengar balasan dari Calvin. Bagus jika anak itu tetap bersemangat, jadinya mereka tidak perlu mendapatkan aura suram sebelum bertanding besok. Jadinya, Alexander lalu menepuk bahu temannya itu, meminta agar Calvin bisa terus mempertahankan semangatnya untuk pertandingan mereka.

“Saatnya lo memanfaatkan semangat lo itu untuk pertandingan besok, Calvin.”

*****

“Gua kira kita bakalan kalah lagi kayak tahun kemarin di babak pertama.”

Seusai tim mereka dibubarkan setelah bertanding, James dan Vincent kembali pulang bersama. Vincent mengira bahwa pertandingan hari ini akan berakhir sama seperti tahun kemarin karena menurut anak itu, tim mereka butuh pelatih yang benar-benar bisa menuntun mereka, bukan dari Jonatan yang sama-sama mahasiswa seperti dirinya. Tapi, begitu permainan berakhir, Vincent tidak menyangka bahwa strategi yang diberikan dari Jonatan cukup efektif sehingga mereka bisa menang di pertandingan hari ini.

“Selain itu, beberapa saran dari Jonatan ternyata cukup bagus sih. Beberapa pukulan gua jadi lebih terarah setelah Jonatan kasih tahu kekurangan dan kelebihan gua waktu itu. Jadinya, gua bisa lebih fokus juga memperbaiki apa yang seharusnya gua perbaiki,” sahut James saat mengingat kembali mengenai latihannya dengan Jonatan. Menurutnya, memang Jonatan masih belum begitu baik untuk melatih. Tapi, setidaknya itu lebih baik jika dibandingkan tidak ada yang menuntunnya sama sekali.

“Iya juga sih. Beberapa pukulan gua terasa lebih baik setelah dikasih tahu Jonatan pas latihan. Untungnya kepakai juga tadi pas tanding karena udah kebiasaan diocehin sama Jonatan selagi latihan,” balas Vincent sedikit malu-malu karena ia harus mengakui kemampuan Jonatan, pelatih yang ia kesali itu.

Tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan, Vincent langsung menggelengkan kepalanya dengan cepat. Tangannya juga beberapa kali menepuk bibirnya, seolah mulut anak itu sudah mengucapkan sesuatu yang tabu. “Gak ada. Gua bisa kayak gini juga karena terus berlatih kok, bukan karena anak itu doang.”

James hanya tertawa mendengar sanggahan dari Vincent. Memang, anak itu masih belum mau mengakui kemampuan Jonatan. Itu karena Vincent merasa Jonatan adalah mahasiswa dengan tingkat kuliah di bawahnya dan memiliki kemampuan voli yang tidak berbeda jauh dengannya. Jadi, Vincent masih belum bisa menerima jika Jonatan yang seperti itu adalah pelatihnya di klub saat ini. Hasilnya, Vincent masih belum mau mengakui bahwa ia bisa sampai di titik ini berkat adanya bantuan Jonatan juga dalam latihannya itu.

“Ya, terserah lo sih maunya gimana. Asalkan permainan lo bisa membaik dan membawa tim kita melaju lebih jauh, gua gak bakal banyak protes kok,” sahut James. Menurutnya, untuk saat ini, memang lebih baik untuk tetap menjaga semangat Vincent agar tidak menurun sehingga anak itu bisa tetap bermain dengan baik. Jadinya, James tidak berniat menyanggah anak itu, melainkan ikut setuju agar Vincent tetap merasa senang.

Sementara itu, mendengar James ikut setuju dengan pemikirannya, Vincent menjadi bersemangat kembali. Memang sudah seharusnya James setuju pada perkataan gua tadi, pikir Vincent lagi. Hasilnya, Vincent menjadi tidak sabar untuk menghadapi pertandingan selanjutnya.

Lihat selengkapnya