“Alvito! Lo masih bisa denger gua kan?”
Jonatan berusaha membuat Alvito tetap sadar. Untungnya, Alvito tidak pingsan, hanya saja badannya terasa begitu lemas. Jonatan lalu mencoba memegang dahi Alvito, terasa begitu panas di telapak tangannya. “Kayaknya lo demam,” sahut Jonatan. Ia kemudian berusaha memapah Alvito menuju kursi pemain. Setelah itu, Jonatan meminta Alvito untuk berbaring, lalu Jonatan berjongkok di dekat anak itu.
“Kak Yosua, tolong urus tim dulu sebentar. Untuk strategi set ketiga masih sama, rotasi pemain ganti sedikit. Posisi Alvito digantikan dengan Kak Alex, itu aja. Nanti lo ikutin apa yang udah gua tulis aja. Gua mau fokus ke Alvito dulu, jadi mohon bantuannya ya.”
Jonatan lalu menulis dengan cepat mengenai posisi pemain untuk set ketiga, lalu ia menyerahkan kertas itu kepada Yosua, untuk selanjutnya kertas itu diberikan kepada wasit. Sebenarnya, Jonatan hendak mengubah sedikit strategi untuk set berikutnya. Namun, karena Alvito sedang tidak fit, konsentrasi Jonatan menjadi buyar, dan akhirnya Jonatan memilih untuk menggunakan strategi yang sama untuk set berikutnya. Setelah menyerahkan urusan tim kepada Yosua, Jonatan kemudian berfokus pada Alvito.
“Bentar lagi lo bakal dibawa ke ruang medis. Lo bakal dirawat di sana, jadi gak perlu pikirin dengan apa yang ada di lapangan ya. Biar gua dan anak-anak yang lain aja yang ngelakuin itu.”
“Gua masih bisa main kok, Jonatan. Ini cuma lagi agak pusing aja.”
“Agak pusing? Setelah lo hampir pingsan gini? Gak ada, lo harus istirahat. Badan lo juga panas, lo pasti lagi sakit.”
“Tapi, permainan belom selesai, gua harus ….”
Jonatan langsung menutup mulut Alvito dengan jarinya. “Gua gak terima protes. Gak usah banyak ngomong dulu biar energi lo gak makin habis.”
Alvito akhirnya menyerah karena kepalanya terasa semakin pusing. Selain itu, Alvito merasa sedikit lelah juga jika harus mengeluarkan tenaga untuk berbicara. Jadinya, Alvito kemudian memilih untuk mengikuti keinginan dari Jonatan.
Tidak lama kemudian, tim medis pun tiba. Jonatan menghembuskan napasnya lega. Tapi, ia tiba-tiba teringat sesuatu. Harus ada yang menemani Alvito di ruang medis agar anak itu tidak sendirian. Jonatan pun sedikit mengumpat di dalam hatinya. Sial. Gua gak bisa tinggalin lapangan karena mereka perlu pendamping. Tapi, gak mungkin juga gua suruh salah satu dari mereka buat temenin Alvito. Jumlah anggota kita terlalu sedikit, batin Jonatan sedikit panik. Dalam waktu yang singkat ini, ia harus memutuskan bagaimana sebaiknya mengenai Alvito dan juga kelanjutan pertandingan tim mereka.
“Tolong rawat Alvito dulu di ruang medis. Jika ada hal yang gawat, tolong kabari saya lagi di sini. Sekarang tim kami kekurangan anggota, jadi tidak ada yang bisa menemani Alvito di ruang medis. Jadi, mohon bantuannya ya.”
Tim medis mengangguk usai Jonatan meminta seperti itu. Namun, Alvito menggelengkan kepalanya. Seolah ia tidak setuju dengan ucapan Jonatan, Alvito masih bersikeras untuk tidak dibawa ke ruang medis.
“Gua masih kuat, Jonatan. Gua gak usah main kalo gitu, tapi gua tetap tungguin kalian di sini,” pinta Alvito dengan lemah. Tapi, ucapan Alvito terasa tidak meyakinkan di telinga Jonatan. Suaranya saja sudah terdengar pelan, bagaimana kondisi fisik Alvito bisa memungkinkan untuk tetap berada lapangan? Jadinya, Jonatan tetap meminta Alvito untuk pergi ke ruang medis.
“Udah, gak usah banyak protes. Kali ini ikutin kata-kata gua dulu ya. Demi kesembuhan lo juga. Please, Alvito,” pinta Jonatan akhirnya. Berusaha meyakinkan Alvito dengan nada lembutnya itu. Untungnya, Alvito memilih untuk menyerah. Kepalanya terasa semakin sakit. Akhirnya, Alvito bersedia untuk dibawa ke ruang medis. Dengan dibantu tim medis, Alvito dibawa ke luar lapangan. Setelah merasa urusan dengan Alvito sudah beres, kini Jonatan mengembalikan fokusnya ke lapangan. Kebetulan waktu istirahat sudah habis, kini saatnya set ketiga dimulai.
Pertandingan berjalan sedikit ketat. Mengandalkan rally dan berusaha memperkuat pertahanan, tim Universitas Harapan Jaya sedikit kesulitan. Itu karena beberapa peluang mereka untuk menyerang menjadi sedikit berkurang karena ketiadaan Alvito. Walaupun masih ada spiker lainnya, tapi terkadang smash mereka belum bisa langsung mematikan bola.
Tim Universitas Harapan Jaya tertinggal 4-8, saatnya time break pertama. Jonatan kembali meminta anak-anak untuk menjaga konsentrasi dan fokus pada setiap pergerakan bola. Selain itu, jika ada kesempatan untuk menyerang bisa langsung dilakukan, lalu defend tetap juga harus dikuatkan.
Beberapa saat kemudian, permainan dilanjutkan kembali. Tidak lama setelah time break, tim medis datang menghampiri Jonatan. Sambil meminta maaf karena menganggu perhatian Jonatan, tim medis lalu menyampaikan sesuatu kepada anak itu.
“Harus dibawa ke rumah sakit?” seru Jonatan sedikit keras. Untungnya, posisi Jonatan sedikit jauh dari anak-anak, dan juga kondisi venue cukup ramai. Jadinya, tidak ada yang mendengar seruan Jonatan tadi. Setelah menengok sejenak ke arah anak-anak dan memastikan mereka tetap bermain dengan baik, Jonatan lalu mengalihkan fokusnya lagi kepada tim medis itu.
“Iya. Dokter di sini menyarankan bahwa Alvito sebaiknya dibawa ke rumah sakit untuk diinfus. Tapi, kami memerlukan persetujuan dari timnya terlebih dahulu sebelum itu. Selain itu, kami juga menyarankan untuk mengirimkan satu orang agar bisa menemani Alvito ke rumah sakit.”