“Yoshaa!!”
Jonatan langsung berteriak usai pukulannya itu bisa menembus lapangan lawan. Selain itu, tepuk tangan dari penonton juga langsung bergemuruh usai bola itu tidak bisa dikembalikan oleh lawan. Di sisi lain, anak-anak tim voli Universitas Harapan Jaya hanya bisa melongo saat melihat Jonatan akhirnya bisa menghasilkan poin dari jump smash-nya. Usai beberapa detik masih tercengang dengan kemampuan Jonatan, mereka semua akhirnya tersadar kembali. Setelah memenangi set kedua, mereka kemudian bersiap untuk set selanjutnya.
“Akhirnya Jonatan yang sangar itu kembali,” gumam Satrio dengan puas usai ia melihat bagaimana Jonatan mencetak poin terakhir itu. Sepertinya ia sekarang sudah bisa mengandalkan Jonatan setelah sebelumnya anak itu hampir selalu mengacau ketika diberikan umpan untuk smash.
“Jonatan? Lo gak apa?”
Saat anak-anak sedang sibuk sendiri untuk mengembalikan staminanya, Yosua memandang kembali anggota timnya. Tidak ada instruksi tambahan karena pelatih mereka kini ikut bermain bersama. Tapi, Yosua menjadi panik saat melihat Jonatan tengah mengurut lututnya. Takut jika cedera Jonatan kambuh kembali jika anak itu terus memaksakan dirinya, apalagi anak itu sudah bersemangat kembali setelah berhasil mencetak poin berharga untuk timnya itu.
“Gak apa harusnya,” jawab Jonatan sambil membuka pelindung lututnya. Ia kemudian mengambil semprotan dari tasnya, lalu ia menyemprotkan itu pada lututnya. Baru dua set udah kayak gini. Semoga gua bisa bertahan sampai akhir, batin Jonatan ketika ia mengurut kembali lututnya. Untungnya mereka berhasil memenangi set kedua dengan skor 25-21. Masih ada harapan untuk menyelesaikannya dalam dua set ke depan. Setelah yakin persiapannya sudah normal, Jonatan mengenakan kembali pelindung lututnya itu.
“Kalo berdasarkan poin terakhir tadi, apa lo udah bisa jump smash lagi, Jonatan?” Satrio akhirnya bertanya kepada Jonatan mengenai kelanjutan permainan anak itu. Jika saja Jonatan sudah berani untuk mengeluarkan senjatanya, Satrio kini bisa bergantung pada lebih banyak orang. Terlebih lagi, kemampuan Jonatan masih belum terbaca oleh pihak lawan. Karena jump smash dari Jonatan yang menghasilkan poin baru saja terjadi, bisa saja mereka menganggap Jonatan hanya beruntung saja. Jadi, bisa saja tim mereka mengecoh lawan dengan kembali memberikan umpan kepada Jonatan.
Anggukan kepala dari Jonatan membuat senyuman Satrio melebar. “Tapi, karena gua udah lama gak berhasil ngelakuin hal tadi, bisa aja gua gagal lagi kayak sebelum-sebelumnya,” tambah Jonatan agar Satrio bisa memahami mengenai kondisinya.
“Tenang aja. Feel bermain lo udah mendingan dibandingin set pertama, gua rasa beberapa umpan lagi dari gua, lo bakalan balik lagi jadi sangar.”
“Kalo gitu, kita coba lagi di set ketiga.”
Jonatan juga tidak lupa untuk memberikan instruksi singkat lagi sebelum permainan dimulai. Tidak ada perubahan dalam rotasi permainan, susunan pemain tetap sama seperti set kedua.
Set ketiga berjalan lebih baik dibanding set kedua. Berkat penampilan Jonatan yang sudah membaik, tim Universtias Harapan Jaya mampu tampil lebih dominan. Terus unggul dalam perolehan poin, kini timnya Jonatan berhasil memenangkan set ketiga dengan skor 25-18.
*****
“Anak-anak pertandingannya gimana ya?”
Saat menatap jam di ruang inapnya, Alvito menjadi sedikit cemas. Tertera pukul 14.40, tanda sudah satu jam empat puluh menit anak-anak klubnya sudah bertanding. “Kalo tiga set langsung, harusnya udah selesai. Tapi kalo lanjut ke set empat atau lima, berarti mereka masih tanding. Semoga menang, biar gua masih ada kesempatan buat main sama anak-anak lagi,” harap Alvito sambil mengambil handphone-nya.
Ketika melihat kembali chat antara dirinya dengan Jonatan, Alvito jadi teringat dengan kejadian tadi pagi. Jonatan tiba-tiba datang menjenguknya dan membawakan beberapa buah-buahan untuknya. Saat itu, Alvito tengah sibuk dengan pikirannya sendiri akibat tidak bisa datang ke pertandingan.
“Kalo mereka gagal, pasti kesalahan ada di gua. Seharusnya gua bisa bantu mereka sumbang poin, tapi gua malah harus istirahat di sini,” omel Alvito kepada dirinya sendiri. “Andai saja waktu itu gua gak berlebihan nge-push buat latihan berlebihan,” gumam Alvito lagi, masih menyesali apa yang sudah ia perbuat dulu.
“Masih aja ya nyalahin diri sendiri.”