Recalling The Memory

Bentang Pustaka
Chapter #2

Part 1: Sofia dan Romi, 2008

11 Januari 2008

Kutukan rupanya bisa datang dengan berbagai cara. Dia bahkan bisa datang dalam satu hari, dengan wujud yang berbeda-beda.

Kutukan pertama: aku lupa membawa buku cetak Kimia-ku sehingga aku harus nongkrong di meja piket pada jam mata pelajaran pertama. Pak Kris, guru Budi Pekerti-ku yang berjaga di meja piket, tampak senang karena hari ini ada banyak murid yang harus bersila di lantai. Ia senang melihat wajah-wajah murid yang berusaha menahan kaki yang kesemutan sepertiku, sementara ia sibuk mengisi teka-teki silang di surat kabar.

Belum cukup ditambah dengan kedua kaki yang kesemutan, muncullah kutukan kedua: aku lupa menuliskan adanya kuis Kimia di agendaku.

Pak Bangkit, guru Kimia-ku, sedang tidak ada ampun-ampunnya hari itu. Kuis yang ia berikan berisi 40 soal, dan aku hanya sanggup mengerjakan 20 soal. Rambut panjangku yang biasanya kubiarkan tergerai mendadak langsung kucepol asal-asalan. Kuharap, dengan mengamankan helai-helai rambut dengan kuciran, dapat mengecilkan kadar stres yang mulai memuncak karena ada dua kutukan yang terjadi hari ini.

“Heran deh, gue. Ini kenapa gue jadi lupa semua begini, sih?” tanyaku gemas kepada diri sendiri di depan Sarah dan Jihan, kedua sahabatku. Mereka sedang asyik makan bakso di kantin sekolah.

“Ya, udahlah. Nggak apa-apa kuis Kimia gagal. Kita belum try out Ujian Nasional juga, kok. Santai ajalah,” ujar Jihan santai sambil meniup-niup kuah baksonya.

Aku selalu kesal dengan balasan Jihan yang supersantai. Jelas saja ia bisa komentar seperti itu. Otaknya sangat encer. Ia bisa mengerjakan kuis Kimia barusan dengan waktu 30 menit lebih cepat daripada murid yang lain.

“Tapi, tadi sayang sih, pas pelajaran Kimia lo keluar. Materinya lumayan susah,” timpal Sarah lagi sambil membuka sebungkus kerupuk yang ada di atas meja kantin. Wajah Sarah yang juga sangat santai saat mengatakan “susah”, membuatku semakin ketar-ketir.

“Lo pada tahu kan, gue itu anak IPA palsu. Gue nggak bisa paham Fisika dan Kimia kalau nggak belajar. Duh, gimana nih.” Aku membenturkan kepalaku pelan di atas meja kantin.

Aku tahu aku bukan anak IPA yang paling unggul. Maka aku selalu belajar menyiapkan semuanya terlebih dahulu: belajar semua ujian dua hari sebelumnya dan mencatat semua materi. Hanya saja, aku sering lupa mencatat pengumuman tambahan di buku agendaku. Kesalahan kecil, tapi penting. Kesalahan yang akhirnya membawaku pada kutukan ketiga: aku lupa mencatat pengumuman baru. Mulai bulan Januari ini, akan ada satu jam pelajaran tambahan Matematika setiap Jumat untuk persiapan Ujian Nasional. Kepalaku rasanya seperti dihantam palu berkali-kali.

Otakku sudah tidak lagi berfungsi pada jam mata pelajaran tambahan itu. Semua soal kukerjakan dengan setengah hati.

Mataku sempat teralihkan dengan sebuah formulir yang ada di dalam tasku. Aku mengeluarkan map itu, membaca formulir di dalamnya dan melengos, menyesali apa yang kulakukan. Mengeluarkan map itu membuat pikiran dan tanganku semakin kesemutan.

Aku berharap waktu segera berputar menuju pukul 17.00, waktuku untuk les piano. Les piano adalah satu-satunya kesenangan yang kupunya hari ini. Maka, persis ketika bel berbunyi, aku segera mengemas seluruh isi tasku. Tetapi, apa yang kulihat berikutnya membuatku terdiam sejenak.

Gerimis yang tadi turun sudah berganti menjadi hujan deras. Kutukan keempat.

Ya Tuhan, apa lagi ini ...? pikirku. Aku mendecak kesal melihat hujan yang semakin deras turun dari jendela kelasku. Tanganku sudah kesemutan, tapi aku masih berharap bisa melakukan “pemanasan” di atas tuts piano. Maka, aku mencangklongkan tas dan berjalan menuju ruang yang senang kukunjungi di koridor lain lantai ini: Ruang Musik.

Aku menggeser pintu Ruang Musik, membuka sedikit jendela untuk membiarkan hawa sejuk hujan memenuhi ruangan. Aku membuka Bleki, sebutanku untuk piano hitam di tengah Ruang Musik itu, dan melakukan arpeggio1rentetan nada cepat untuk “pemanasan”. Kemudian, aku memainkan piece2 klasik dan beberapa lagu yang kusuka dari sebuah serial Jepang yang ditonton ibuku, yang berjudul Long Vacation. Lagu itu berjudul “Close to You” yang dimainkan sebuah grup bernama Cagnet.

Memainkan piano sendirian di Ruang Musik dengan iringan hujan, membuatku lupa pada rentetan kutukan yang terjadi padaku hari ini. Hanya ada aku, piano, dan rasa tenang.

Dan, suara tepuk tangan.

Siapa?

Aku menoleh ke sumber suara itu dan melihat sosok laki-laki berseragam batik khas SMA Tirtacahya. Kaki kirinya menginjak sebuah bola futsal. Seragamnya basah karena kehujanan.

Sejujurnya, aku pikir semua anak kelas 3 lain sudah turun ke Lantai 1, bersiap untuk menyambut akhir hari Jumat. Beberapa di antara mereka pasti menerobos air hujan demi bisa pulang lebih cepat ke rumah atau untuk bisa nongkrong di tempat lain. Aku pikir koridor Lantai 3 yang diperuntukkan bagi siswa kelas 3 SMA Tirtacahya itu sudah sepi. Tidak akan ada orang lain, atau kutukan lain yang mungkin datang menghampiriku di Ruang Musik ini.

Sebaliknya, aku malah mendapat kejutan.

Aku tidak pernah sekelas dengan laki-laki itu. Namun, aku mengenali figurnya yang tinggi, kulit sawo matang, dan tawa yang seolah juga membuat orang lain ikut tersenyum.

Lihat selengkapnya