Senin, 14 Januari 2008
Ada banyak pertanyaan yang tidak ingin kujawab di dunia ini, dan kapan aku punya pacar adalah salah satunya.
“Kapan sih, Sof? Lo mau sendirian terus main piano? Lagian, emang guru les lo nggak punya kenalan anak cowok pemain piano yang cakep gitu, mungkin?” tanya Jihan sambil meniup-niup kuah soto pesanannya untuk istirahat makan siang hari ini.
“Sofia tuh les piano, tapi milihnya kelas individu. Kenapa lo nggak ambil yang barengan sama anak-anak lain, sih?” tanya Sarah kembali sambil mengunyah keripik kentang yang ia jadikan camilan siangnya itu.
Sarah dan Jihan adalah sahabat-sahabatku sejak kami melewati masa orientasi sekolah. Selain sama-sama memilih jurusan IPA, kami selalu sekelas sejak dua tahun lalu. Tapi, jumlah kelas tiga SMA Tirtacahya memang terlalu banyak. Ada tiga kelas IPA dan tiga kelas IPS dalam angkatan kami. Dalam satu kelas, bisa terdiri atas empat puluh orang murid. Dengan jumlah murid sebanyak itu, jumlah pertemanan dalam kelompok-kelompok kecil malah menjadi semakin kuat. Posisi duduk kami yang selalu berdekatan semakin menambah kedekatan kami bertiga. Tepatnya kami berlima, jika ditambah dengan Dimas, pacar Sarah, dan Gilang, pacar Jihan.
“Yah, nggak fokus juga kali, Sar, kalau Sofia harus belajar rame-rame,” jawab Dimas sambil menaik-turunkan alisnya ke arahku.
“Makasih, Dimas, sudah mau membantu menjawab,” jawabku sambil melengos dan mendorong sebungkus bolu kukus yang kubeli ke arahnya. Aku tahu, ia membelaku dan mengangkat-angkat alisnya ke arahku untuk satu hal: bolu kukus kantin SMA Tirtacahya yang sangat enak itu.
“Tapi, sebenarnya, emang kenapa sih, lo nggak mau punya pacar? Serius nih, gue nanya.” Gilang meletakkan ponselnya di atas meja kantin, sambil meluruskan letak kacamatanya dan melihat ke arahku.
Kantin SMA Tirtacahya benar-benar besar. Jumlah murid yang terlampau banyak membuat kantin ini selalu penuh sesak. Namun, kami berlima sering sekali berhasil duduk di meja kantin yang sama, meja yang paling dekat dengan kulkas penjualan minuman dingin.
Kebiasaan makan siang bareng ini selalu kami lakukan, terutama di tahun-tahun terakhir kami sebagai murid SMA. Karena kami tidak sekelas (Gilang adalah murid kelas 3 IPA 1 dan Dimas adalah murid kelas 3 IPA 2) maka kami selalu bersama tiap jam istirahat. Di kantin, aku akan duduk di samping Gilang dan Jihan, dan di hadapan kami bertiga ada Dimas dan Sarah. Formatnya selalu seperti ini, tak pernah berubah.
“Kata siapa, sih, gue nggak mau punya pacar?” tanyaku kembali dengan nada tinggi. Menandakan bahwa aku sewot, bahwa aku merasa risi ditanya pertanyaan ini kembali.
“Nih, ya, yang taruh perhatian ke lo itu bukannya nggak ada, lho, Sof. Ada. Tahun lalu, misalnya, Herman deketin lo. Dia sok-sok tanya piano segala ke lo. Padahal, tuh anak hobinya wall climbing, lho. Bukan piano.” Gilang berbicara panjang lebar sambil menyikut Jihan pelan, membuat pacarnya ikut mengangguk-angguk setuju.
“Kasihan Herman. Emang dia nggak cute, ya?” tanya Jihan kembali sambil melihat ke arahku dengan jarak yang lebih dekat.
Aku hanya terdiam. Aku tahu, Herman memang mendekatiku saat aku duduk di kelas dua SMA. Dan menurutku, Herman sangat cute, jika itu istilah yang Jihan pakai. Ia memulai pendekatannya dengan sangat mulus. Ia menanyakan rekomendasi guru piano untuk adiknya yang masih duduk di bangku SD kepadaku. Percakapan kami berlanjut. Sering kali ia menanyakan piece piano klasik yang terkenal dan rekomendasi pianis yang harus ia dengar. Ia bahkan mengajakku ke pertunjukan piano yang diadakan beberapa kedutaan dan pusat kebudayaan.
Akan tetapi, aku tahu Herman bukan orang yang seperti itu. Dan bagiku, itu tampak dibuat-buat. Aku bahkan merasa ia tak jujur dengan dirinya sendiri. Jadi, untuk apa pacaran dengan orang yang tidak pernah jujur sejak awal? Bukankah sudah ketahuan hasil akhirnya?
“Ya, bukannya gitu, sih. Tapi, gue nggak merasa dia harus menyamakan minat sama gue untuk bisa deketin gue. Dan, entah gimana, jadi off aja gitu gue sama dia.”
Sarah menggeleng-geleng sambil tertawa kecil. “Ya, sekarang kalau mau deketin lo caranya gimana dong? Lo aja jarang ngobrol sama anak-anak lain selain kita .…”
“Lo tahu, nggak, Sof? Gue tahu lo nggak mau sama Herman karena dia kesannya nggak jujur di awal. Karena itu, lo jadi khawatir kalau dia bohong-bohongin lo lagi. Tapi, menurut gue, itu bukan karena Herman nggak jujur. Herman cuma mau nemuin kesamaan sama lo. Udah itu aja, kok.”