KEPERGIAN ITU SULIT. Tapi, kehilangan lebih sulit lagi.Di judul sebelumnya, saya mengajukan pertanyaan: mengapa orang-orang harus saling meninggalkan? Jawabannya membawa saya ke sejumlah kesadaran dan perjuangan yang terdalam. Pertanyaan itu juga membuat saya bertanya-tanya: setelah orang-orang pergi, apakah mereka akan kembali? Setelah sesuatu yang kita cintai direnggut dari kita, apakah itu akan kembali? Apakah kehilangan itu bersifat permanen—atau sekadar sarana untuk tujuan yang lebih tinggi? Apakah kehilangan adalah Akhir itu sendiri—ataukah kesembuhan sementara untuk penyakit hati kita?
Ada sesuatu yang menakjubkan tentang kehidupan ini. Atribut duniawi yang sama yang menyebabkan kita terluka juga memberi kita kelegaan: tak ada yang abadi. Apa artinya itu? Artinya, mawar indah dalam jambangan akan melayu be- sok. Itu berarti kemudaan akan meninggalkan diri kita. Itu juga berarti kesedihan yang kita rasakan hari ini akan berubah esok hari. Penderitaan kita akan lenyap. Tawa takkan bertahan sela- manya—tapi begitu pula dengan air mata. Kita berkata bahwa hidup ini tidak sempurna. Hidup memang tidak sempurna. Hidup tidak sepenuhnya baik, tapi juga tidak sepenuhnya buruk.
Allah berfirman dalam ayatnya yang sangat mendalam: “Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Alam Nasyrah [94]: 5). Saya pikir saya tumbuh besar dengan keliru memaknai ayat ini. Awalnya saya pikir artinya adalah: setelah kesulitan akan datang kemudahan. Dengan kata lain, tadinya saya pikir kehidupan terdiri atas masa-masa baik dan masa-masa buruk. Setelah masa-masa yang buruk, akan datang masa-masa yang baik. Saya berpikir seperti ini seolah-olah entah hidup sepenuhnya baik atau sepenuhnya buruk. Tapi bukan itu yang dikatakan ayat tersebut. Ayatnya berkata bahwa BERSAMA setiap kesulitan ada kemudahan. Kemudahan hadir bersamaan dengan kesulitan. Berarti tak ada apa pun di dunia ini yang sepenuhnya baik (atau buruk). Dalam setiap situasi yang kita hadapi, senantiasa ada sesuatu yang patut kita syukuri. Bersama setiap kesulitan, Allah memberi kita kekuatan dan kesabaran untuk menanggungnya.
Jika mengkaji masa-masa sulit dalam hidup kita, kita akan melihat bahwa masa-masa itu diisi dengan banyak kebaikan. Pertanyaannya adalah: mana yang akan kita pilih untuk kita fokuskan? Saya rasa kita telah terjerumus ke dalam perangkap yang berakar dari keyakinan keliru bahwa hidup bisa jadi sem- purna—sempurna baiknya atau sempurna buruknya. Meskipun itu bukan sifat dari dunya (kehidupan ini). Itu adalah sifat dari akhirat. Di akhirat bisa dicapai berbagai tingkat kesempurnaan. Jannah (surga) itu sempurna baiknya. Tak ada keburukan di dalamnya. Dan jahannam (neraka—semoga Allah melindungi kita) itu sempurna buruknya. Tak ada kebaikan di dalamnya.
Dengan tidak sepenuhnya memahami realitas ini, saya sendiri akan dikuasai oleh keadaan fana kehidupan saya (entah itu baik atau buruk). Saya mengalami setiap situasi dalam intensitasnya yang penuh—seolah-olah itu adalah akhir atau justru takkan pernah berakhir. Apa yang saya rasakan pada saat itu mengubah seluruh dunia dan segala isinya. Jika saya merasa senang pada saat itu, masa lalu maupun masa kini, dekat dan jauh, seluruh semesta akan terasa baik pula pada saat itu. Seolah-olah kesempurnaan bisa diraih di sini. Hal yang sama pun berlaku pada hal yang buruk. Kondisi negatif menguasai segalanya. Rasanya seluruh dunia, masa lalu dan masa kini, seluruh semesta akan terasa buruk pada saat itu. Karena hal itu menjadi seluruh semesta saya, saya tak bisa melihat apa pun yang ada di luarnya. Tak ada apa pun yang eksis pada saat itu. Bila Anda memperlakukan saya dengan buruk pada hari ini, itu karena Anda tak lagi peduli kepada saya—bukan karena ini adalah salah satu momen dari momen tak terhingga banyaknya yang kebetulan terwarnai seperti itu, atau bukan karena Anda dan saya dan kehidupan ini tidaklah sempurna. Apa yang saya alami atau saya rasakan pada saat itu menggantikan konteks, karena itu menggantikan seluruh visi saya tentang dunia.
Menurut saya, sehubungan dengan pembawaan yang ekspe- riensif, sebagian dari kita mungkin sangat rentan dengan hal ini. Itulah sebabnya kita menjadi mangsa dari fenomena “Aku belum pernah melihat sedikit pun kebaikan darimu” sebagaima- na yang dirujuk oleh Rasulullah dalam hadisnya. Mungkin se- bagian dari kita berkata atau merasa seperti ini karena pada saat itu kita memang benar-benar tidak melihat kebaikan karena perasaan kita pada detik itu menggantikan, menentukan, dan menjadi segalanya. Masa lalu dan masa kini tergulung menjadi satu dalam momen eksperiensif tersebut.
Namun, kesadaran sejati bahwa tak ada yang utuh dalam kehidupan ini mengubah pengalaman kita soal itu. Sekonyong- konyong, kita tidak lagi dikuasai oleh momen tersebut. Dengan memahami bahwa tak ada yang tidak terbatas di sini, bahwa tidak ada sesuatu pun di sini yang bersifat kamil (sempurna, lengkap), Allah memungkinkan kita untuk melangkah keluar dari momen dan melihat mereka sebagaimana apa adanya: bu- kan semesta, bukan realitas, masa lalu dan masa kini, hanya suatu momen—satu momen tunggal dari serangkaian momen tak terhingga yang juga akan segera berlalu.
Ketika saya menangis, kehilangan, atau terluka, selama saya masih hidup, tak ada yang namanya penghabisan. Selama masih ada hari esok, masih ada momen selanjutnya, senantiasa ada harapan, ada perubahan, dan ada penebusan. Apa yang telah hilang takkan hilang selamanya.