KITA PULANG.
Dan kita berada jauh dari rumah. Dipisahkan dari asal kita, kita melintasi waktu dan ruang menuju dunia lain. Dunia yang lebih rendah. Tetapi dalam pemisahan itu, terjadilah sesuatu yang menyakitkan. Kita tak lagi bersama Tuhan di dalam ruang fisik. Kita tak lagi bisa melihatnya dengan mata fisik kita atau berbicara dengan-Nya dengan suara fisik kita. Tidak seperti bapak manusia Adam a.s., kita tak lagi bisa merasakan kedamaian yang sama.
Begitulah. Kita pun turun. Kita tercabik dari-Nya. Akibat rasa sakit dari perpisahan itu, kita berdarah. Untuk kali perta- manya, kita berdarah. Robekan yang terjadi saat kita terpisah dari Sang Pencipta meninggalkan luka menganga. Luka menda- lam yang terlahir bersama kita. Saat kita bertambah dewasa, rasa sakit dari luka tersebut juga bertambah besar; lukanya se- makin dalam dan terus semakin dalam. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, kita bergerak lebih jauh dan semakin jauh lagi dari obat penawarnya, yang sudah berada dalam fitrah (sifat) kita: untuk berada di dekat-Nya, hati, jiwa, dan pikiran.
Bersama setiap tahun yang berlalu, kita semakin bertekad untuk mengisi ruang kosong tersebut. Tapi, justru pada penca- rian untuk mengisi lubang jiwa itulah kita sering kali tersandung. Kita masing-masing tersandung oleh hal-hal yang berlainan. Sebagian besar berusaha mematikan kekosongan tersebut. Begitulah, sebagian manusia tersandung pada obat-obatan atau alkohol, sementara yang lain mencari sebentuk penenang lain. Sebagian tersandung pada pemujaan kesenangan secara fisik, berupa status atau uang. Sebagian tersesat di dalam karier.
Kemudian, sebagian manusia tersandung pada orang-orang. Sebagian tersesat di sana.
Tapi, bagaimana jika setiap keterpurukan, setiap tantangan, setiap pengalaman dalam hidup kita hanya dimaksudkan untuk satu tujuan: untuk mengembalikan kita ke asal? Bagaimana jika setiap kemenangan, setiap kekalahan, setiap keindahan, setiap kejatuhan, setiap kekejaman, dan setiap senyuman hanya di- maksudkan untuk menyingkap penghalang lain antara kita dan Allah? Antara kita dan tempat kita memulai serta tempat yang sangat ingin kita tuju kembali?
Bagaimana jika segalanya hanya tentang menemui-Nya?
Kita harus mengetahui bahwa segala yang kita alami di dalam kehidupan ini memiliki tujuan. Kita jugalah yang bisa memilih untuk menyadari tujuan tersebut atau tidak. Contoh- nya adalah keindahan. Beberapa orang bahkan tidak menyadari keindahan yang dihadirkan tepat di hadapan mereka. Mereka bisa begitu saja melewati matahari terbenam atau pepohonan jeruk yang cemerlang, bahkan tanpa sedikit pun menyadarinya.
Orang lain dapat melihat keindahan itu dan menghargai- nya. Mereka akan berhenti dan memperhatikannya. Mereka mungkin bahkan merasa kewalahan oleh itu. Tapi, perasaan tersebut hanya berakhir sampai di situ. Orang seperti itu sama seperti orang yang menghargai karya seni, tapi tidak pernah bertanya tentang seniman yang membuatnya. Karya seni itu sendiri dimaksudkan untuk menyampaikan pesan dari sang se- niman; tapi jika pencinta seni tersesat dalam suatu lukisan— tapi tak pernah melihat pesannya, maka karya seni itu belum memenuhi tujuan sejatinya.
Matahari yang megah, salju pertama yang turun, bulan sabit, dan samudra yang menakjubkan bukan sekadar untuk menghiasi planet yang kesepian ini. Tujuannya lebih dalam dari itu. Mereka memiliki tujuan seperti yang digariskan Allah dalam firman-Nya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda tanda bagi orangorang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata):` “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Mahasuci Engkau, maka peli haralah kami dari siksa neraka. (QS Ali ‘Imran [3]: 190–191).