Selama hidupnya, Miya dikenal sebagai gadis penurut. Sejak masih anak-anak, saat diminta duduk dia akan segera mencari kursi terdekat. Saat diminta makan dia segera mengambil makanan yang tersedia. Saat diminta diam dia tidak mengeluarkan suara. Bahkan saat dia dan ibunya pergi dan dia diminta tinggal di rumah nenek dia hanya mengangguk.
Sudah 14 taun sejak saat itu. Saat dimana dia berjalan keluar menggenggam tangan sang ibu sembari membawa boneka beruang putih kesayangannya, meninggalkan rumah yang sudah dia tinggali sejak bayi. Saat dimana dia menengok ke belakang melihat untuk terakhir kalinya kenangan yang akan sulit untuk diingat oleh anak berusia 6 tahun. Saat dimana terakhir kalinya dia melihat sesosok lelaki yang hanya melihat kepergiannya dari jendela tanpa berusaha untuk mencegah. Sesosok lelaki yang dulu dia panggil ayah.
Sejak kejadian itu, Miya belajar untuk tidak menunjukkan emosi. Si kecil Miya dibawa oleh sang ibu untuk tinggal bersama neneknya. Ibu Miya pergi bekerja ke luar kota, berusaha untuk mencukupi kebutuhan mereka. Miya dan ibunya sangat jarang bertemu, mungkin hanya saat ada hari libur nasional. Saat-saat lainnya, hanya ada Miya dan sang nenek.
Miya sangat meyanyangi neneknya. Neneknya adalah satu-satunya keluarga bagi Miya di dunia ini. Pengguat, penghibur dan pelindung Miya saat dia berada pada masa-masa sulit di sekolah dan saat menghadapi masa pubertas. Oleh sebab itu saat Miya mendengar kabar dari rumah sakit bahwa sang nenek tercinta telah tiada, dunia serasa rubuh, sebab sang nenek adalah dunianya.
~
“Turut berduka cita”
Kalimat. Sebuah kalimat yang sangat Miya benci. Kalimat yang sudah berjam-jam dia dengarkan. Kalimat yang hanya memperlihatkan simpati tanpa memiliki makna asli di dalamnya.
Sudah ber jam-jam Miya berada di rumah duka. Sudah ber jam-jam dia mematung, memandang peti dimana di dalamnya tertidur dengan damai seorang wanita yang sangat berharga baginya. Di samping Miya terdapat saudara-saudaranya. Tante, om dan beberapa sepupu yang terlihat sedang bercengkrama membicarakan hal yang tidak penting bagi Miya. Tante Miya sudah memberi kabar pada mama Miya, namun mama Miya tidak bisa pulang sebab kerja yang sangat menumpuk dan berjanji akan kembali minggu depan.
“Miy”
Ujar seorang gadis yang membuyarkan lamunan Miya. Gadis itu menggunakan pakaian hitam dengan sepatu hitam dan rambut yang diikat satu tanpa menggunakan make-up. Dia duduk di samping Miya meraih tangan Miya dengan tujuan memberikan penguatan.
“Alexis” ujar Miya lirih
“Yang tabah Miy. Nenek sudah tenang disana” ujar Alexis.
Jika ada teman-teman yang melihat interaksi mereka mungkin mereka akan sangat terkejut sebab sepengetahuan mereka, Miya dan Alexis tidak berteman. Memang bukan. Mereka bukan merupakan teman, mereka adalah tetangga. Alexis dan Miya sudah bertetangga sejak Miya pindah untuk tinggal bersama sang nenek. Saat itu Miya kecil sedang berjalan pulang dari sekolah bertemu dengan seorang anak perempuan yang sedang menanggis karena diganggu oleh anak-anak lainnya. Tanpa ragu, Miya kecil segera menarik tangan anak perempuan itu dan mereka berlari bersama. Sejak saat itu mereka menjadi teman kecil.
Mereka tidak sekolah di SD yang sama. Miya bersekolah di sekolah swasta dan Alexis merupakan anak homeschooling. Saat siang tiba, Alexis kecil sengaja menunggu Miya di luar rumah untuk bertemu dan mengajak bermain bersama. Tak jarang Alexis datang ke rumah Miya dan memakan kue lezat buatan nenek Miya. Masa-masa kecil yang bisa dibilang sangat menyenangkan, masa sebelum SMP tiba.
Saat itu dia memasuki SMP yang sama dengan Miya. Sejak memasuki SMP, Alexis menjadi semakin menjauh. Di sekolah, dia lebih suka berkumpul dengan teman-teman lain yang lebih populer, mengikuti trend dan ikut-ikutan menjahili teman lainnya. Sejak saat itu Miya dan Alexis tidak lagi berteman. Miya tidak masalah dengan perubahan Alexis, toh dia sudah terbiasa ditinggalkan sejak kecil.
Namun berbeda saat di luar sekolah. Alexis masih mau berkunjung ke rumah Miya, membuat kue bersama nenek Miya dan berteman dengan Miya seolah dia masih tetap Alexis yang lama. Pernah suatu ketika Miya muak dan menanyakan kepada Alexis kenapa dia berbeda di sekolah dan di rumah. Alexis menjelaskan dengan perasaan bersalah bahwa dia tidak sungguh-sungguh ingin berlaku seperti itu. Dia hanya ingin diakui keberadannya sehingga berusaha untuk mengikuti kumpulan temannya di sekolah menjadi populer. Miya tidak mau ambil pusing dengan drama itu sehingga setuju untuk mengikuti permainan Alexis.
Hal tersebut terus berlanjut. Sikap Alexis kepada Miya berubah total di sekolah hingga masa SMA dan kuliah. Dimana suatu saat pada jam istirahat SMA saat Miya sedang dikerjai oleh Alexis dan kawan-kawannya, Miya bertemu Amal. Amal yang saat itu mau ikut repot membantu membela Miya walaupun Miya terlihat cuek dan tidak mau ambil pusing membela dirinya sendiri. Amal dan Alexis memiliki sifat yang mirip namun Amal terlihat lebih santai, lucu dan tidak mempedulikan ketenaran dan pengakuan orang lain. Sejak saat itulah Miya dan Amal menjadi teman baik.
~
‘Ruangan berapa miy?’ – Ayu
‘B3’ – Miya
Hari sudah sore saat Ayu datang ke rumah duka untuk melayat. Tentu saja Ayu datang sendiri, sebab Dewi dan Amal sedang dalam perjalanan KKL saat itu. Ruangan itu terlihat tidak begitu ramai. Ayu melihat Miya duduk termenung sendirian. Beberapa kursi dari Miya terlihat wajah – wajah yang berhubungan dengan Miya tapi tidak dekat, keluarga besar Miya. Ayu bersalaman dengan keluarga Miya sebelum akhirnya menempatkan diri duduk disamping miya. “Jangan” ujar Miya singkat sesaat sebelum Ayu akan mengucapkan bela sungkawa. Ayu langsung terdiam. Dia tidak tau akan masalah kehidupan keluarga Miya, namun setelah hampir 1 semester mereka berteman dia paham jika Miya hanya tinggal bersama neneknya dan amat sangat menyayangi neneknya.
“Ehm… jadi kamu mau cerita? Aku siap dengerin” ujar Ayu
“Sakit tua. Memang sudah waktunya.” Dengan nada sedikit sedih Miya berujar.
“Yang tabah Miy”
Ayu tetap di rumah duka menunggu dengan Miya selama beberapa waktu. Terkadang mereka berbincang sedikit, namun seringkali mereka hanya diam dengan Miya yang terlihat termenung. Ayu sadar bahwa temannya itu sedang bersedih dan kehadirannya disana untuk sekedar duduk menemani saja sudah cukup untuk membuat Miya sedikit terhibur.
Hari sudah berganti malam. Ayu berpamitan kepada Miya untuk pulang. Tetapi dia akan kembali lagi esok hari untuk ikut mengantarkan ke pemakaman. Setelah Ayu pulang, saudara Miya menyuruh Miya untuk pulang dan istirahat. Awalnya Miya menolak, sebab untuk apa pulang toh tidak ada lagi yang menunggu dia tiba di rumah. Saudara Miya memaksa sebab mereka merasa takut kesehatan Miya terganggu. Akhirnya Miya setuju dan pulang ke rumah.
~